Orang akhirnya jadi geger. Iya, bener rating mereka naik. Tapi lihatlah apa akibat baiknya? Informasi seperti itu bisa sampai lolos ke masyarakat, menunjukkan kalau mereka amatir.
Kasus lain yang saya geleng kepala, adalah kasus tentang Joshua Suherman. Ada media online yang wawancara. Terkait batalnya acara dia di Singapura karena ada bahaya Covid-19. Media online tanya, "kesel nggak?" Sebenarnya mas Jojo gak mau statemen apapun tentang virus. Bukan ahlinya. Tapi begitu ditanya bagaimana perasaan karena acaranya batal, apakah kesal? Diiyain.Â
Akhirnya media online bikin judul "Joshua Suherman kesal karena batal .... terkait virus Corona." Sebenarnya maksud mas Jojo bukan begitu. Saya tahu. Tapi akhirnya komentar netizen jadi salah paham. Mengira mas Jojo tidak punya simpati. Komentar lain yang penting malah diabaikan. Cuma memotong di bagian yang memicu salah paham.
Kasus dokter Terawan juga hampir sama. Sekedar contoh saja, saat awal-awal Covid-19 merebak, Pak Terawan ditanya bagaimana tanggapan sebagai Menkes. Beliau jelasin panjang lebar, dari imunitas, cukup makan, olahraga dll plus ada kalimat "enjoy aja.." Tebak lah headline judul berita media online.Â
Judulnya "Corona merebak, Menkes bilang enjoy aja." Masalah imunitas, cukup makan, dan pentingnya olahraga malah tidak disinggung sebagai judul yang mengedukasi. Padahal maksud beliau "enjoy aja" saya yakin gak senegatif itu. Tentunya beliau ingin agar kita tak perlu takut, cukup jaga kesehatan dan hidup seperti biasa.Â
Lalu ketika sudah heboh dan Indonesia belum terkena, komentar Menkes adalah sebenarnya bernada gak serius. "Selain imunitas, juga karena doa." Lalu media membelokkan dengan judul "Belum ada Corona, Menkes jawab karena doa". Apakah mereka salah? Tidak. Tapi apakah mereka jahat? Mungkin saja. Diksinya kurang tepat.
Tentu saja berita menghebohkan dan hoax itu menguntungkan. Iya menguntungkan secara ekonomi. Ada artis yang sebenarnya gak laku, tapi karena ada kontroversi akhirnya diundang kemana-mana. Followers naik secara instan. Banyak endorse. Ngisi acara kemana-mana. Media online juga jadi banyak bahan buat ditulis.
Saya seneng dengan saran kiai Ulil Abshar Abdalla. Media seharusnya menautkan nama terang penulis. Biar orang kalau kritik bisa ke penulis. Tapi orang biasanya hanya lihat ke nama perusahaan. Gak peduli penulisnya. Tentunya juga karena tak kenal. Ini penting seperti saat seleksi hadis maudhu'. Dari rawi yang dhaif. Kalau A pernah nulis hoax, berita selanjutnya dari A itu harus terus diteliti. Jangan-jangan dia nulis hoax lagi. Ini bukan suudhon atau curiga. Tapi waspada. Kita menutup pintu rumah bukan karena suudhon sama tetangga yang mau maling, tapi pencegahan. Waspada demi kebaikan bersama.
Ini baru masalah berita. Kalau sudah sampai kajian sejarah lebih sulit lagi. Contoh saja kisah keruntuhan Majapahit. Pertama kali belum teliti saya curiga. Mana mungkin seorang Raden Patah menghkianati ayah sendiri. Terlebih di Demak ada sesepuh dan majelis ulama. Ceritanya saja sudah tidak logis. Kalau didukung dengan penelitian tahun, mungkin akan segera ketahuan. Ini sebenarnya pembahasan yang sensitif dan rawan dinarasikan oleh golongan yang berkepentingan. Saya pingin bahas Tom Pires, tapi lain waktu saja.
Jadi penulis itu memang enak, bisa menggiring pembaca dalam opini. Memotong sebagian narasi. Pemahaman yang didapat pembaca jadi gak utuh. Dan akhirnya pemahaman pembaca sesuai dengan kemauan penulis.
Contoh kecil menggiring opini. Bahasa itu mempengaruhi psikologis. Kalau seseorang menulis harga barang 1.999.000 atau harga barang adalah 2.000.000. Orang akan lebih memilih harga kedua. Barang ini mengandung lemak 20 persen. Sedangkan ini bebas lemak 80 persen.Â