Penulis : Okky Madasari
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Hal : 231
Mata dan Manusia Laut merupakan serial ketiga dari cerita petualangan Matara. Novel dengan genre middle grade ini cukup ringan dan mengajak kita aktif berimajinasi. Kita akan diajak berpetualang seru menyusuri kampung Sama di Kaledupa dan kehidupan baharinya. Kita akan dibuat merasa campur aduk, terkadang tegang, takut, miris, berani bahkan ngakak terpingkal-pingkal.
Adalah Bambulo, anak kecil 8 tahun yang tinggal di rumah panggung di atas laut. Di usianya yang cukup muda itu Bambulo telah mahir berenang serta mengemudikan sampan dan katingting.
Sampan adalah perahu kayu yang dijalankan dengan cara didayung, sedangkan katingting adalah perahu kayu yang ukurannya lebih besar dari sampan dan dijalankan dengan mesin. Bambulo juga sudah bisa mencari ikan sendiri dengan menombak dan seringkali ikut ayahnya mencari ikan ke atol, sebuah cincin karang yang menjadi habitat banyak spesies ikan.
Bambulo tidak rajin bersekolah karena ia belum mendapat jawaban atas pertanyaan "Untuk apa sekolah?, Kenapa di sekolah tidak belajar tentang cara bertahan hidup di laut?, Kenapa di sekolah guru tidak mengajarkan cara menangkap ikan agar mendapat hasil yang banyak?", karena bagi Bambulo kehidupannya selalu terikat dengan laut, kenapa tidak belajar hal yang berkaitan dengan laut?.
Mata dengan nama lengkap Matara adalah perempuan muda 12 tahun yang mendengar berita dari surat kabar Amerika tentang manusia ikan yang hidup di pulau Sama, sebuah pulau yang mengapung sendirian di tengah laut dan terpisah dari daratan lainnya. Mata dan mamanya dari Jakarta berkunjung ke Kaledupa untuk melihat langsung manusia ikan yang dimaksud. Bagi Mata semua manusia adalah manusia darat, sebab manuia membutuhkan oksigen yang ada di darat.
Pertemuan Bambulo dan Mata terjadi di festival Karia, sebuah pesta besar tahunan yang dibuka langsung oleh bupati. Perkenalan mereka berawal dari cekcok kecil karena Bambulo menyerobot antrean Mata saat hendak membeli es.
Petulangan mereka dimulai setelahnya. Bambulo mengajak Mata ke kampung Sama, menunjukkan pada Mata bahwa mereka adalah manusia laut. Bambulo memandu perjalanan menggunakan katingting. Di Sama, semua rumah kosong lantaran sedang pergi ke Karia. Bambulo mengajak Mata melihat atol, tempat para nelayan menangkap ikan.
Tempat itu lumayan jauh dari Sama. Sore itu mereka berangkat, tak lama kemudian matahari tenggelam. Rembulan bulat terang benderang membuat takjub mereka. Sejenak mereka terdiam di tengah laut tenang, di bawah langit dengan bulan bulat sempurna itu. Seketika Bambulo sadar, ini malam purnama.
Malam yang diperingatkan berkali-kali secara turun temurun agar jangan pernah berlayar saat purnama jika tidak ingin mendapat murka dewa Laut. Malam dimana para ikan bertelur dan mengerami telurnya, menghadirkan banyak ikan untuk manusia. Angin kencang dan laut bergelombang tinggi. Dewa Laut marah kata Bambulo. Itu gravitasi laut kata Mata. Dengan susah payah mereka bertahan dibantu oleh lummu, lumba-lumba dalam bahasa orang Sama.
Akhirnya mereka sampai di atol. Mereka takjub dengan keindahan bawah laut di malam purnama. Ketakjuban mereka tidak bertahan lama sebab laut kembali bergejolak hebat. Seekor gurita besar muncul dan melilit tubuh Mata. Bambulo menombak kepala gurita. Mata terlepas dari gurita. Malam itu terjadi badai yang membuat Bambulo dan Mata terdampar ke pulau Masalembo, jauh sekali dari Kaledupa.
Mereka tinggal beberapa saat dengan orang yang sama-sama terdampar di pulau Masalembo. Mereka meyakini bahwa orang yang terdampar di Masalembo tidak dapat kembali pulang. Bambulo dan Mata memberanikan diri untuk pulang. Mereka masuk ke pusaran air yang mereka yakini dapat mengantarkan mereka. Mata dan Bambulo ditemukan mengapung di lautan oleh beberapa orang di sebuah kapal. Mereka menjadi teman di perjalanan. Kapal mereka berhadapan dengan kapal besar milik pemerintah. Seorang 'Polisi Laut', setidaknya begitu kata Bambulo mendatangi kapal mereka dan menerima sejumlah uang 'keamanan'. Setelahnya Bambulo tahu bahwa kapal ini adalah kapal yang memuat bahan untuk pembuatan bom ikan. Bom yang digunakan oleh beberapa oknum secara ilegal dan dilarang oleh pemerintah karena merusak habitat laut, demi keuntungan besar yang akan mereka dapatkan. Bambulo tidak sepakat atas mereka yang menangkap ikan dengan cara menngebom. Bagi Bambulo, mengebom ikan adalah hal yang dilarang sebab dapat membuat dewa Laut marah.
Selain petualangan tokoh utama yang menjadi perhatian penuh, banyak hal lain yang perlu menjadi sorotan. Seperti karya Okky Madasari lainnya, di novel ini ia juga aktif menyuarakan tentang kritik sosial. Okky menyuarakan bahwa di daerah terpencil seperti kampung Sama masih luput dari perhatian pemerintah. Mereka tetap terbatas akan akses listrik dan air tawar, bahkan yang mengulurkan tangan untuk memberikan akses listrik pada warga kampung Sama adalah orang-orang dari luar Indonesia, meskipun tujuan mereka adalah bisnis.
Kampung Sama juga masih terkungkung dengan keyakinan tradisional yang sesungguhnya merugikan mereka sendiri, dalam hal ini menyangkut kesehatan. Sanro, seorang pemuka yang sekaligus pemimpin upacara adat satu-satunya orang yang mereka percaya bisa membantu mereka. Seperti juru kunci, Sanro dapat berkomunikasi dengan dewa Laut yang mereka percaya. Warga kampung Sama tidak percaya dokter dan mengandalkan Sanro atas banyak hal. Ketika ponakan Bambulo yang masih bayi demam tinggi, mereka datang ke Sanro dan disarankan untuk segera melakukan Duata. Dengan beras dan beberapa persiapan lainnya, keluarga Bambulo membawa bayi itu ke tengah samudera di siang hari saat bayi itu sedang demam tinggi. Dipimpin oleh Sanro, Duata dimulai. Sanro berdoa dan kemudian menghanyutkan bahan-bahan ke laut, dengan keyakinan bahwa dewa Laut akan menerima seserahan mereka dan dapat menyembuhkan bayi itu. Namun bayi itu meniggal di malam harinya.
Kita juga dipertontonkan pada kenyataan bahwa tidak semua pejabat mematuhi undang-undang. Petugas keamanan laut bertugas mengamankan dan memeriksa agar dari jalur laut tidak ada yang membawa hal-hal yang dilarang pemerintah ternyata dengan mudahnya dapat disogok atas pelanggaran besar yang dilakukan oleh nelayan yang membawa bom ikan. Betapa uang membutakan mata hati sang petugas. Dari hal ini saya berefleksi bahwa sesungguhnya kampung Sama dan orang-orang di pelosok lain bisa saja lebih menjaga alam yang ditempati. 'Petugas Alam' meski tanpa pengakuan dan gelar, melebihi petugas pemerintah itu sendiri.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H