Mohon tunggu...
Amaliyah Kamil
Amaliyah Kamil Mohon Tunggu... Freelancer - Kamilatul Amaliyah

Traveler هو الذي جعل لكم الأرض ذلولا فامشوا في مناكبها وكلوا من رزقه

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Resensi Novel 'Mata dan Manusia Laut' Karya Okky Madasari

15 Juli 2024   08:34 Diperbarui: 15 Juli 2024   08:44 325
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokumentasi Pribadi (@bacaanmilmi)

            Pertemuan Bambulo dan Mata terjadi di festival Karia, sebuah pesta besar tahunan yang dibuka langsung oleh bupati. Perkenalan mereka berawal dari cekcok kecil karena Bambulo menyerobot  antrean Mata saat hendak membeli es. 

Petulangan mereka dimulai setelahnya. Bambulo mengajak Mata ke kampung Sama, menunjukkan pada Mata bahwa mereka adalah manusia laut. Bambulo memandu perjalanan menggunakan katingting. Di Sama, semua rumah kosong lantaran sedang pergi ke Karia. Bambulo mengajak Mata melihat atol, tempat para nelayan menangkap ikan. 

Tempat itu lumayan jauh dari Sama. Sore itu mereka berangkat, tak lama kemudian matahari tenggelam. Rembulan bulat terang benderang membuat takjub mereka. Sejenak mereka terdiam di tengah laut tenang, di bawah langit dengan bulan bulat sempurna itu. Seketika Bambulo sadar, ini malam purnama. 

Malam yang diperingatkan berkali-kali secara turun temurun agar jangan pernah berlayar saat purnama jika tidak ingin mendapat murka dewa Laut. Malam dimana para ikan bertelur dan mengerami telurnya, menghadirkan banyak  ikan untuk manusia. Angin kencang dan laut bergelombang tinggi. Dewa Laut marah kata Bambulo. Itu gravitasi laut kata Mata. Dengan susah payah mereka bertahan dibantu oleh lummu, lumba-lumba dalam bahasa orang Sama. 

Akhirnya mereka sampai di atol. Mereka takjub dengan keindahan bawah laut di malam purnama. Ketakjuban mereka tidak bertahan lama sebab laut kembali bergejolak hebat. Seekor gurita besar muncul dan melilit tubuh Mata. Bambulo menombak kepala gurita. Mata terlepas dari gurita.  Malam itu terjadi badai yang membuat Bambulo dan Mata terdampar ke pulau Masalembo, jauh sekali dari Kaledupa.     

            Mereka tinggal beberapa saat dengan orang yang sama-sama terdampar di pulau Masalembo. Mereka meyakini bahwa orang yang terdampar di Masalembo tidak dapat kembali pulang. Bambulo dan Mata memberanikan diri untuk pulang. Mereka masuk ke pusaran air yang mereka yakini dapat mengantarkan mereka. Mata dan Bambulo ditemukan mengapung di lautan oleh beberapa orang di sebuah kapal. Mereka menjadi teman  di perjalanan. Kapal mereka berhadapan dengan kapal besar milik pemerintah. Seorang 'Polisi Laut', setidaknya begitu kata Bambulo mendatangi kapal mereka dan menerima sejumlah uang 'keamanan'. Setelahnya Bambulo tahu bahwa kapal ini adalah kapal yang memuat bahan untuk pembuatan bom ikan. Bom yang digunakan oleh beberapa oknum secara ilegal dan dilarang oleh pemerintah karena merusak habitat laut, demi keuntungan besar yang akan mereka dapatkan. Bambulo tidak sepakat atas mereka yang menangkap ikan dengan cara menngebom. Bagi Bambulo, mengebom ikan adalah hal yang dilarang sebab dapat membuat dewa Laut marah.

            Selain petualangan tokoh utama yang menjadi perhatian penuh, banyak hal lain yang perlu menjadi sorotan. Seperti karya Okky Madasari lainnya, di novel ini ia juga aktif menyuarakan tentang kritik sosial. Okky menyuarakan bahwa di daerah terpencil seperti kampung Sama masih luput dari perhatian pemerintah. Mereka tetap terbatas akan akses listrik dan air tawar, bahkan yang mengulurkan tangan untuk memberikan akses listrik pada warga kampung Sama adalah orang-orang dari luar Indonesia, meskipun tujuan mereka adalah bisnis.

            Kampung Sama juga masih terkungkung dengan keyakinan tradisional yang sesungguhnya merugikan mereka sendiri, dalam hal ini menyangkut kesehatan. Sanro, seorang pemuka yang sekaligus pemimpin upacara adat satu-satunya orang yang mereka percaya bisa membantu mereka. Seperti juru kunci, Sanro dapat berkomunikasi dengan dewa Laut yang mereka percaya. Warga kampung Sama tidak percaya dokter dan mengandalkan Sanro atas banyak hal. Ketika ponakan Bambulo yang masih bayi demam tinggi, mereka datang ke Sanro dan disarankan untuk segera melakukan Duata. Dengan beras dan beberapa persiapan lainnya, keluarga Bambulo membawa bayi itu ke tengah samudera di siang hari saat bayi itu sedang demam tinggi. Dipimpin oleh Sanro, Duata dimulai. Sanro berdoa dan kemudian menghanyutkan bahan-bahan ke laut, dengan keyakinan bahwa dewa Laut akan menerima seserahan mereka dan dapat menyembuhkan bayi itu. Namun bayi itu meniggal di malam harinya.

            Kita juga dipertontonkan pada kenyataan bahwa tidak semua pejabat mematuhi undang-undang. Petugas keamanan laut bertugas mengamankan dan memeriksa agar dari jalur laut tidak ada yang membawa hal-hal yang dilarang pemerintah ternyata dengan mudahnya dapat disogok atas pelanggaran besar yang dilakukan oleh nelayan yang membawa bom ikan. Betapa uang membutakan mata hati sang petugas. Dari hal ini saya berefleksi bahwa sesungguhnya kampung Sama dan orang-orang di pelosok lain bisa saja lebih menjaga alam yang ditempati. 'Petugas Alam' meski tanpa pengakuan dan gelar, melebihi petugas pemerintah itu sendiri.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun