Mohon tunggu...
kamelia nurul arifah
kamelia nurul arifah Mohon Tunggu... Mahasiswa - mahasiswa

hemat.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

UUD 1945 sebagai Dasar Konstitusi Pemerintahan di indonesia

7 November 2022   22:59 Diperbarui: 8 November 2022   00:17 242
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUDNRI Tahun 1945) merupakan norma dasar bernegara (staatsfundamentalnorm) yang menggambarkan citacita negara bangsa yang di dalamnya juga terdapat pernyataan Kemerdekaan. Pembukaan UUDNRI TAHUN 1945 yang dirumuskan dan ditetapkan oleh para founding fathers menjadi sumber dan dasar bagi penyusunan berupa pasal-pasal dan ayat dalam UUDNRI TAHUN 1945.

Dalam kenyataannya masih ada norma-norma dasar yang harus dituangkan dalam pasal-pasal namun belum dituangkan dalam pasal-pasal. Hal tersebut adalah wajar mengingat pada saat persidangan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) mayoritas anggota menghendaki segera merdeka. Soekarno sebagai ketua PPKI mengatakan sifat sementara UUDNRI TAHUN 1945, karena disadari kurang lengkap dan kurang sempurnanya (UUD) bersifat sementara.

Jika keadaan ingin berubah, dalam arti produk hukum benar-benar bisa memberikan keadilan bagi seluruh rakyat, konfigurasi politik harus diubah dari otoriter ke demokrasi. Ide negara demokrasi bukanlah hal yang baru bagi Indonesia karena sejak negara ini berdiri, ide utama yang diajukan dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pola hubungan pemerintah-rakyat sudah didasarkan pada konsep demokrasi. 

Namun demokrasi yang dimaksud ialah sebuah model demokrasi yang bukan liberal, melainkan terikat dengan nilai bangsa. Dengan demikian, akan dihasilkan produk hukum yang berkarakter responsif. Oleh karena itu, gelombang tuntutan perubahan di tahun 1998 merupakan salah satu bentuk tuntutan zaman agar Indonesia melakukan berbagai penyesuaian-penyesuaian secara konstitusi. 

Untuk menghasilkan produk hukum yang berkarakter responsif dan tidak otoriter, tentu sesuai atas keinginan rakyat diperlukan adanya peningkatan peranan Lembaga Negara seperti Dewan Perwakilan  Rakyat (DPR). Secara mendasar kekuasaan lazimnya dipetakan ke dalam beberapa fungsi yang berkaitan satu sama lain. 

John Locke dalam bukunya “Two Treatises of Government”, membagi kekuasaan negara dalam tiga fungsi, tetapi berbeda isinya. Menurut Locke fungsi-fungsi kekuasaan negara terdiri dari; fungsi legislatif, fungsi eksekutif, dan fungsi federatif. 

Dengan mengikuti jalan pikiran John Locke, Montesquieu dalam bukunya “L’Espirit des Lois” yang ditulis tahun 1784 atau versi bahasa Inggris-nya dikenal “The Spirit of The Laws“, mengklasifikasikan kekuasaan negara ke dalam tiga cabang, yaitu:

1.    Kekuasaan legislatif sebagai pembuat undang-undang;

2.    Kekuasaan eksekutif untuk melaksanakan undang-undang; dan

3.    Kekuasaan untuk menghakimi atau yudikatif.

Hal ini sejalan dengan penegakan prinsipprinsip kedaulatan rakyat, prinsip checks and balances. Istilah checks and balances adalah prinsip saling mengimbangi dan mengawasi antarcabang kekuasaan, biasanya dalam konteks kekuasaan Negara,6 maka Presiden harus memperhatikan sungguh-sungguh suara DPR dalam hal fungsi legislasi, fungsi pengawasan terhadap jalannya pemerintahan dan fungsi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Untuk itu perlu ada mekanisme hubungan yang lebih jelas antara lembaga Kepresidenan (eksekutif) dan DPR (legislatif) maupun dengan lembaga-lembaga Negara lainnya.

Sri Seomantri menyatakan bahwa Sistem Pemerintahan adalah hubungan antara lembaga legislatif dan eksekutif  terdapat perbedaan yang jelas antara sistem pemerintahan presidensiil dan sistem pemerintahan parlementer. Masing-masing memiliki ciri-ciri sebagaimana diungkapkan dalam kutipan berikut. 

Pertama, masalah sistem pemerintahan yang dianut oleh UUD. Memang di kalangan kita ini ada dua pendapat bahkan tiga mungkin. Pertama, mengatakan bahwa yang berlaku sekarang ini sistem pemerintahan presidensiil. Kedua, mengatakan itu bukan, bahkan ini dikatakan ada semacam campuran, dan ketiga ini mencari solusi, itu yang dikemukan oleh almarhum Prof. Padmo Wahyono yang mengatakan sistem MPR.

Distribusi kekuasaan merupakan suatu hal yang penting dalam membangun system ketatanegaraan. Distribusi kekuasaan yang baik diharapkan akan terwujud keseimbangan kekuasaan antara satu lembaga dengan lembaga lainnya dan terdapatnya saling kontrol untuk menghindari terjadinya penyimpangan. 

Sejarah ketatanegaraan di Indonesia sebelumnya telah menunjukkan adanya ketidakseimbangan kekuasaan dalam pemerintahan, dimana terlihat kekuasaan yang terpusat pada satu tangan atau satu lembaga saja, sehingga menimbulkan penyimpangan dalam praktek ketatanegaraan. Presiden sebagai pemegang kekuasaan eksekutif memiliki kekuasaan yang sedemikian besar. 

Hal itu menjadikan lembaga-lembaga Negara lainnya tidak dapat berfungsi dengan baik, karena ”terkooptasi” oleh kekuasaan eksekutif. Lembaga legislatif yang seharusnya melakukan kontrol atau pengawasan terhadap kekuasaan eksekutif, tetapi pengawasan itu tidak dapat berjalan sebagaimana mestinya, sehingga Presiden sebagai pemegang kekuasaan eksekutif dapat mengambil tindakan dengan kehendaknya. Sehingga lembaga-lembaga negara lainnya sperti kehilangan independensinya karena pengaruh kekuasaan eksekutif. 

Menurut Mahfud MD, salah satu kelemahan dari UUDNRI TAHUN 1945 sebelum amandemen adalah tidak adanya mekanisme checks and balances. Presiden menjadi pusat kekuasaan dengan berbagai hak prerogatif. Selain menguasai bidang eksekutif, Presiden memiliki setengah dari kekuasaan legislatif yang dalam prakteknya Presiden juga menjadi ketua legislative. 

Presiden dalam kegentingan yang memaksa juga berhak mengeluarkan PERPU, tanpa kriteria yang jelas tentang apa yang dimaksud “kegentingan yang memaksa” tersebut. UUDNRI TAHUN 1945 juga tidak mengatur mekanisme judicial review, padahal seringkali lahir produk legislative yang dipersoalkan konsistensinya dengan UUD karena lebih banyak didominasi oleh keinginan-keinginan politik dari pemerintah.

Salah satu yang menilai perluanya perubahan UUDNRI TAHUN 1945 adalah hasil penelitian yang dilaksanakan oleh LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia) pada tahun 1999 menyimpulkan perlunya perubahan terhadap UUDNRI TAHUN 1945.

LIPI menganggap adanya cacat bawaan dalam UUDNRI TAHUN 1945, seperti minimnya pengaturan terhadap muatan Pasal menyangkut HAM, tiadanya mekanisme check and balance, lemahnya sistem distribution of power antara lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif, bahkan UUDNRI TAHUN 1945 menempatkan eksekutif sebagai pengendali utama jalannya pemerintahan atau executive heavy dan UUDNRI TAHUN 1945 selama diberlakukan oleh dua pemerintahan sebelumnya (Order Lama dan Order Baru) tidak pernah melahirkan pemerintahan yang demokratis.

MPR yang ditetapkan terdiri atas DPR dan DPD yang masing-masing dipilih oleh rakyat melalui pemilihan umum. Selain itu, Presiden dan Wakil Presiden dipilih sebagai satu pasangan secara langsung oleh rakyat dan dicalonkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta Pemilu. 

Kemudian Kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh Mahkamah Agung dan badan peradilan dibawahnya dan oleh Mahkamah Konstitusi. Dengan demikian, secara struktural sistem pemerintahan secara ketatanegaraan sangat berbeda dengan UUDNRI TAHUN 1945 sebelum perubahan. 

Banyak perbaikan dan penegasan fungsi serta kewenangan dari lembaga tertentu, perubahan UUDNRI TAHUN 1945 juga melahirkan lembaga negara baru yang secara kelembagaan tergolong lembaga legislatif yaitu Dewan Perwakilan Daerah dan Mahkamah Konstitusi.

Posisi kedudukan MPR yang terdiri atas DPR dan DPD secara konseptual maupun struktural bukan lagi sebagai lembaga tertinggi negara setelah kewenangan dan komposisi keanggotaan MPR mengalami perubahan. MPR seperti sebuah forum, forum antara DPR dan DPD. 

Ketika DPD dan DPR itu berkumpul itu sebenarnya ada sebuah institusi yang berbentuk secara insidentil. Atas dasar itulah, kemudian bisa mengeluarkan suatu produk hukum, karena kalau tidak akhirnya tidak ada produk hukum. Meskipun masih mempertahankan eksistensi MPR. 

 Tetapi untuk memahami MPR itu bukan sebuah lembaga yang punya otoritas seperti masa yang lalu, untuk itulah kalau saya katakan ini adalah sebuah badan kenegaraan yang sifatnya sangat insidentil. Dengan demikian, perubahan MPR sejak perumusan, perubahan dan ke depan keberadaan MPR memerlukan pemikiran lebih modern dalam konsep yang akan datang.

Meskipun mengalami berbagai perubahan, untuk mencapai suatu tujuan negara modern secara konstitusi masih memerlukan berbagai perbaikan kembali untuk mencapai suatu kesempurnaan sistem pemerintahan baik secara konseptual maupun secara praktek ketatanegaraan. 

Bahkan seorang Adnan Buyung Nasution mensistematisasikan kelemahan-kelemahan tersebut menjadi dua jenis, yaitu kelemahan konseptual dan kelemahan dari segi konstruksi hukumnya. Kelemahan dari segi konseptual di antaranya adalah konsep Negara yang dipersepsikan oleh UUDNRI TAHUN 1945, yaitu konsep Negara integralistik sementara kelemahan dari segi konstruksi hukumnya adalah kesederhanaan UUDNRI TAHUN 1945.

Dengan adanya kesederhanaan ini, pelaksanaan dari UUDNRI TAHUN 1945 diatur lebih lanjut dengan undang-undang. Kondisi ini membuka peluang akan terjadinya penyelewenganpenyelewengan oleh pembuat undang-undang, sebagaimana yang terjadi selama pemerintahan Orde Baru.

Berdasarkan pada uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa pertama, secara konseptual atau teoritis kewenangan lembaga-lembaga negara dalam sistem pemerintahan yang diterapkan berdasarkan UUDNRI TAHUN 1945 diperlukan kembali upaya penyempurnaan, agar secara konsepsional dapat berjalan secara ideal.

Kedua, kemudian secara praktek dalam menjalankan fungsi dan kewenangan, lembaga negara tidak mencerminkan bahwa sistem pemerintahan Indonesia menganut pemisahan kekuasaan akan tetapi lebih dekat pada sistem pembagian kekuasaan. Secara kenegaraan sistem yang demikian lazim digunakan oleh negara dengan sistem pemerintahan yang bukan presidensiil seperti yang digunakan di Indonesia.

DAFTAR PUSTAKA

Taqiuddin, H. (2021). GAGASAN UUD 1945 SEBAGAI KONSTITUSI POLITIK, KONSTITUSI EKONOMI, DAN KONSTITUSI SOSIAL. Jurnal Econetica: Jurnal Ilmu Sosial, Ekonomi, dan Bisnis, 3(2), 38-55.

Saputra, Y. Sejarah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Sebagai Konstitusi di Indonesia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun