Sri Seomantri menyatakan bahwa Sistem Pemerintahan adalah hubungan antara lembaga legislatif dan eksekutif terdapat perbedaan yang jelas antara sistem pemerintahan presidensiil dan sistem pemerintahan parlementer. Masing-masing memiliki ciri-ciri sebagaimana diungkapkan dalam kutipan berikut.
Pertama, masalah sistem pemerintahan yang dianut oleh UUD. Memang di kalangan kita ini ada dua pendapat bahkan tiga mungkin. Pertama, mengatakan bahwa yang berlaku sekarang ini sistem pemerintahan presidensiil. Kedua, mengatakan itu bukan, bahkan ini dikatakan ada semacam campuran, dan ketiga ini mencari solusi, itu yang dikemukan oleh almarhum Prof. Padmo Wahyono yang mengatakan sistem MPR.
Distribusi kekuasaan merupakan suatu hal yang penting dalam membangun system ketatanegaraan. Distribusi kekuasaan yang baik diharapkan akan terwujud keseimbangan kekuasaan antara satu lembaga dengan lembaga lainnya dan terdapatnya saling kontrol untuk menghindari terjadinya penyimpangan.
Sejarah ketatanegaraan di Indonesia sebelumnya telah menunjukkan adanya ketidakseimbangan kekuasaan dalam pemerintahan, dimana terlihat kekuasaan yang terpusat pada satu tangan atau satu lembaga saja, sehingga menimbulkan penyimpangan dalam praktek ketatanegaraan. Presiden sebagai pemegang kekuasaan eksekutif memiliki kekuasaan yang sedemikian besar.
Hal itu menjadikan lembaga-lembaga Negara lainnya tidak dapat berfungsi dengan baik, karena ”terkooptasi” oleh kekuasaan eksekutif. Lembaga legislatif yang seharusnya melakukan kontrol atau pengawasan terhadap kekuasaan eksekutif, tetapi pengawasan itu tidak dapat berjalan sebagaimana mestinya, sehingga Presiden sebagai pemegang kekuasaan eksekutif dapat mengambil tindakan dengan kehendaknya. Sehingga lembaga-lembaga negara lainnya sperti kehilangan independensinya karena pengaruh kekuasaan eksekutif.
Menurut Mahfud MD, salah satu kelemahan dari UUDNRI TAHUN 1945 sebelum amandemen adalah tidak adanya mekanisme checks and balances. Presiden menjadi pusat kekuasaan dengan berbagai hak prerogatif. Selain menguasai bidang eksekutif, Presiden memiliki setengah dari kekuasaan legislatif yang dalam prakteknya Presiden juga menjadi ketua legislative.
Presiden dalam kegentingan yang memaksa juga berhak mengeluarkan PERPU, tanpa kriteria yang jelas tentang apa yang dimaksud “kegentingan yang memaksa” tersebut. UUDNRI TAHUN 1945 juga tidak mengatur mekanisme judicial review, padahal seringkali lahir produk legislative yang dipersoalkan konsistensinya dengan UUD karena lebih banyak didominasi oleh keinginan-keinginan politik dari pemerintah.
Salah satu yang menilai perluanya perubahan UUDNRI TAHUN 1945 adalah hasil penelitian yang dilaksanakan oleh LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia) pada tahun 1999 menyimpulkan perlunya perubahan terhadap UUDNRI TAHUN 1945.
LIPI menganggap adanya cacat bawaan dalam UUDNRI TAHUN 1945, seperti minimnya pengaturan terhadap muatan Pasal menyangkut HAM, tiadanya mekanisme check and balance, lemahnya sistem distribution of power antara lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif, bahkan UUDNRI TAHUN 1945 menempatkan eksekutif sebagai pengendali utama jalannya pemerintahan atau executive heavy dan UUDNRI TAHUN 1945 selama diberlakukan oleh dua pemerintahan sebelumnya (Order Lama dan Order Baru) tidak pernah melahirkan pemerintahan yang demokratis.
MPR yang ditetapkan terdiri atas DPR dan DPD yang masing-masing dipilih oleh rakyat melalui pemilihan umum. Selain itu, Presiden dan Wakil Presiden dipilih sebagai satu pasangan secara langsung oleh rakyat dan dicalonkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta Pemilu.
Kemudian Kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh Mahkamah Agung dan badan peradilan dibawahnya dan oleh Mahkamah Konstitusi. Dengan demikian, secara struktural sistem pemerintahan secara ketatanegaraan sangat berbeda dengan UUDNRI TAHUN 1945 sebelum perubahan.