Mohon tunggu...
Kamelia Desi
Kamelia Desi Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa

Semangat!!

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Implikasi Kekerasan pada Anak terhadap Pelaku dan Korban Bullying

20 Januari 2021   07:10 Diperbarui: 20 Januari 2021   07:39 1095
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kekerasan Pada Anak Terhadap Pelaku Bullying 

Modelling merupakan kegiatan belajar melalui observasi dengan menambahkan atau mengurangi tingkah laku yang teramati, menggeneralisir berbagai pengamatan sekaligus dan melibatkan proses kognitif (Komalasari, G., & Wahyuni E., 2011). Feist dan Feist (2011) menuliskan bahwa Bandura menjelaskan modelling juga melibatkan proses kognitif sehingga tidak hanya meniru dan lebih dari sekedar menyesuaikan diri dengan tindakan orang lain karena sudah melibatkan presentasi informasi secara simbolis dan menyimpannya untuk digunakan di masa depan.

            Menurut Bandura (1974) ada tiga model dasar pembelajaran melalui pengamatan, yaitu melalui model hidup (live model) yang memberi contoh perilaku secara demonstratif, melalui model instruksional verbal (verbal instructional model) yang mendeskripsikan dan menjelaskan suatu perilaku, dan melalui model simbolik (symbolic model) yang menggunakan tokoh nyata atau fiktif yang menampilkan perilaku tertentu dalam buku, film, program televisi.

            Bandura (1986) juga menyebutkan terdapat empat proses yang mempengaruhi belajar observasional yaitu proses atensi, retensi, reproduksi dan motivasi. Hergenhahn dan Olson (2015) kemudian menjelaskan empat tahapan yang mempengaruhi belajar observasional tersebut ialah pertama, proses atensional, pada tahap ini dalam mempelajari sesuatu maka harus memperhatikan dengan seksama. Kedua, proses retensional, pada tahap ini informasi yang diperoleh harus disimpan. Ketiga, proses reproduksi, pada tahap ini menunjukkan kemampuan menghasilkan sesuatu yang disimpan dalam bentuk tingkah laku. Keempat, proses motivasi, pada tahap ini diperlukan motivasi untuk terus meniru perilaku yang telah dimodelkan.

            Dalam hal ini, orang tua dan lingkungan tempat anak tumbuh memiliki peranan yang sangat penting. Sebagaimana yang dijelaskan oleh Slameto (2015) cara orang tua mendidik anaknya sangat berpengaruh terhadap proses belajar anak dan hasil yang dicapai. Sejalan dengan hal tersebut, pendapat lain menyebutkan bahwa masa depan anak tergantung dari pengalaman yang diterima oleh anak baik di lingkungan keluarga maupun lingkungan sosialnya (Achmad, et al., 2010).

            Seorang anak yang memiliki pengalaman sebagai korban maupun saksi kekerasan akan mempelajari dan meniru apa yang menjadi atensi atau perhatiannya, dalam hal ini kekerasan. Akibat tidak adanya bimbingan yang tepat mengenai perbuatan baik dan buruk membuat anak tersebut beranggapan bahwa apa yang ia rasakan atau lihat merupakan sesuatu yang biasa dan lumrah dilakukan. 

Tindak kekerasan tersebut menarik perhatian anak-anak sebab memberikan rasa sakit, takut, dan trauma yang nyata pada mereka, apalagi jika dilakukan oleh orang tuanya secara langsung. Dengan memperhatikan seperti apa perilaku atau tindakan-tindakan yang dilakukan oleh pelaku kekerasan, mereka belajar mengenai kekerasan dan mempraktikan hal tersebut pada orang lain dikemudian hari. Ketika proses praktik itulah, seorang anak melakukan tindakan bullying.

            Selanjutnya, pada proses retensional atau pengendapan, anak-anak yang mengalami kekerasan cenderung tidak bisa melupakan dan terus menyimpan rasa sakit di dalam dirinya. Rasa sakit dan stres yang tersembunyi tersebut, dari waktu ke waktu akan terus terendap dan semakin parah jika tidak segera ditangani dengan baik. Apabila suatu saat ada orang ataupun hal yang mematik emosi akan perasaanya, anak tersebut akan mengeluarkan ingatan mengenai kekerasan yang pernah ia peroleh dan melakukan tindakan bullying pada orang lain sebagai pelampiasan dari ledakan perasaan yang selama ini dipendamnya serta tiruan dari apa yang pernah dialaminya.

            Kemampuan menghasilkan sesuatu yang disimpan dalam bentuk tingkah laku atau proses reproduksi digambarkan dengan seorang pelaku bullying yang melakukan tindakan tersebut karena sering melihat atau bahkan mengalami kekerasan terhadap anak di masa lalunya. Ia mencontoh tingkah laku tersebut pada saat melakukan bullying, seperti memukul, menendang, merendahkan atau tindakan lainnya di bagian yang sama dengan yang pernah dirasakannya.

            Pada proses terakhir, yaitu motivasi dimana terdapat hal yang menjadi penguatan dari anak untuk terus meniru perilaku yang telah dimodelkan ialah karena kebiasaan dan perasaan ingin membalas dendam. Tindakan bullying yang dilakukan merupakan proyeksi dari kekerasan terhadap anak yang dulu sering didapatkan dan mungkin masih dirasakan oleh pelaku. Karena tidak bisa membalas pada pelaku orang yang melakukan kekerasan padanya, pelaku bullying cenderung melampiaskan dendamnya pada orang lain yang dianggap lebih lemah.

            Modelling atau peniruan ini terbagi menjadi beberapa jenis, yakni pertama, peniruan langsung yang berarti meniru tingkah laku yang ditunjukkan oleh model melalui proses perhatian dengan contoh meniru secara persis tindakan kekerasan yang menjadi modelnya. Kedua, peniruan tidak langsung yaitu melalui imajinasi atau perhatian secara tidak langsung, contohnya melakukan bullying karena model dari media tertentu seperti televisi atau buku. Ketiga, peniruan gabungan yaitu peniruan yang mengambil model secara langsung dan tidak langsung, contohnya pernah dianiaya saat kecil dan melihat film tentang perundungan. 

Keempat, peniruan sesaat yaitu tingkah laku yang ditiru hanya sesuai untuk situasi tertentu saja, contohnya melakukan kekerasan saat keadaan terdesak. Kelima, peniruan berkelanjutan yaitu peniruan dari orang lain dan dijadikan sebagai identitas diri, contohnya korban kekerasan terhadap anak yang setelah dewasa menjadi seorang pelaku bullying.

Kekerasan Pada Anak Terhadap Korban Bullying 

            Masa anak-anak merupakan waktu yang penting dalam pertumbuhan serta pembentukan kepribadian anak, terutama di usia 6 tahun pertama (Lidia, 2020). Mengingat hal tersebut, anak-anak seharusnya mendapatkan perlakuan yang baik dan dijauhkan dari segala jenis kekerasan, karena dampak yang dirasakan oleh anak-anak ketika mengalami kekerasan dapat mempengaruhi kondisi fisik maupun psikisnya hingga dewasa.

            Dampak dari kekerasan pada anak ini sangat bervariasi, tergantung pada tahap tumbuh kembang anak tersebut. WHO menggambarkan dampak dari kekerasan pada anak sebagai berikut:

Sumber: Wulansari, S., 2007
Sumber: Wulansari, S., 2007

Sedangkan, Barbara Coloroso (Yayasan Sejiwa, 2008) menyebutkan mengenai ciri-ciri korban bullying, yaitu anak baru di lingkungan itu, anak termuda atau paling kecil di sekolah, anak yang pernah mengalami trauma sehingga sering menghindar karena rasa takut, anak penurut karena cemas, kurang percaya diri, atau anak yang melakukan sesuatu karena takut dibenci atau ingin menyenangkan, anak yang perilakunya dianggap mengganggu orang lain, anak yang tidak mau berkelahi atau suka mengalah, anak yang pemalu, menyembunyikan perasaannya, pendiam atau tidak mau menarik perhatian orang lain, anak yang paling miskin atau paling kaya, anak yang ras atau etnisnya dipandang rendah, anak yang orientasi gender atau seksualnya dipandang rendah, anak yang agamanya dipandang rendah, anak yang cerdas, berbakat, memiliki kelebihan atau beda dari yang lain, anak yang merdeka atau liberal, tidak memedulikan status sosial, dan tidak berkompromi dengan norma-norma, anak yang siap mendemonstrasikan emosinya setiap waktu, anak yang gemuk atau kurus, pendek atau jangkung, anak yang memakai kawat gigi atau kacamata, anak yang berjerawat atau memiliki masalah kondisi kulit lainnya, anak yang memiliki kecacatan fisik atau keterbelakangan mental, dan anak yang berada di tempat yang keliru pada saat yang salah (bernasib buruk).

            Korban bullying sendiri menurut Coloroso (Yayasan Sejiwa, 2008) adalah pihak yang tidak mampu membela atau mempertahankan dirinya karena lemah secara fisik atau mental ketika mendapatkan perlakuan agresif dan manipulatif secara berulang-ulang. Dilihat dari gambar diatas anak-anak korban kekerasan memiliki ciri fisik serta mental yang lemah yang mana anak yang memiliki trauma, gangguan kecemasan, suka mengalah, pemalu, menyembunyikan perasaanya, cacat fisik, sampai keterbelakangan mental merupakan sasaran empuk bagi pelaku bullying. Dengan memiliki bekas luka fisik yang terlihat secara kasat mata karena kekerasan di masa lampau yang dialaminya atau gangguan perilaku yang diidap karena trauma akan kekerasan tersebut, bisa membuat seseorang dianggap aneh dan menjadi korban perilaku bullying.

            Sebuah studi yang membandingkan efek jangka panjang dari segi kesehatan mental akibat bullying pada masa sekolah dan efek kekerasan pada anak yang dilakukan oleh orang dewasa, yang dilakukan oleh beberapa peneliti dari University of Warwick dan Duke Medical Centre, di Inggris (Sean, I., 2019) menunjukkan bahwa anak-anak korban bully berisiko lima kali lipat menderita anxiety disorder daripada anak-anak korban kekerasan terhadap anak pada studi untuk kelompok Amerika Serikat. Sedangkan pada studi kelompok Inggris anak-anak korban bully lebih rentan menderita depresi dan usaha menyakiti diri sendiri dibandingkan kelompok anak yang mengalami kekerasan rumah tangga.

            Hasil dari kedua kelompok studi membuktikan, anak-anak yang masa kecilnya menjadi korban kekerasan orangtua dan juga menjadi target bullying di sekolahnya menunjukkan peningkatan risiko menderita gangguan mental, anxiety disorder, dan depresi jika dibandingkan dengan mereka yang tidak di-bully atau dianiaya. Pada anak-anak Inggris, khususnya, terdapat risiko menyakiti diri sendiri.

            Dalam mengatasi masalah kekerasan terhadap anak maupun bullying diperlukan kesadaran dan kerja sama dari semua pihak, baik pemerintah, keluarga, dan lingkungan sekitar. Perlunya sosialisasi mengenai Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) di semua kalangan masyarakat agar bisa mencegah terjadinya kasus kekerasan pada anak serta memberikan sanksi yang tegas saat terjadi pelanggaran. Kesadaran akan tanggung jawab terhadap anak pun perlu dikembangkan dalam jiwa setiap individu, agar bisa melindungi kesehatan fisik dan mental generasi yang akan datang. Seharusnya, kita bisa membantunya dan/ melaporkannya bila menjadi saksi kekerasan terhadap anak. Upaya-upaya tersebut dapat juga dilakukan sebagai cara untuk mencegah semakin bertambahnya jumlah kasus bullying di masa mendatang.

PENUTUP

            Dapat disimpulkan berdasarkan tinjauan dengan teori modelling diatas, bahwa kekerasan terhadap anak mampu menjadi penyebab seorang anak melakukan tindakan bullying dikemudian hari bila tidak adanya pendidikan yang menuntun anak tersebut secara baik dan perawatan intensif yang bisa menyembuhkan lukanya. Perilaku bullying yang dilakukan oleh pelaku merupakan bentuk peniruan terhadap kekerasan pada anak yang pernah ia rasakan atau lihat di masa kecil. Peniruan tersebut dilakukan setelah melakukan pengamatan dan menyimpan ingatan akan kekerasan tersebut dalam dirinya.

            Korban bullying juga berhubungan dengan kekerasan terhadap anak, dimana anak-anak yang lemah, cacat fisik, memiliki gangguan perilaku atau emosi, disabilitas, dan lainnya yang cenderung berbeda dari anak-anak kebanyakan menjadi sasaran bullying. Dan ciri tersebut beberapa diantaranya merupakan dampak yang disebabkan oleh kekerasan pada anak yang dulu pernah dialami oleh korban, baik secara fisik, seksual, emosional, penelantaran, maupun eksploitasi.

            Anak-anak yang pernah mengalami kekerasan dan akhirnya menjadi pelaku bullying merupakan bukti dari trauma yang membentuk kepribadian seseorang menjadi keras dan meledak-ledak. Sedangkan, pada korban bullying membentuk kepribadian anak tersebut menjadi pasrah dan tidak memiliki motivasi. Keduanya menunjukkan bahwa kekerasan terhadap anak memberikan dampak negatif bagi anak tersebut di masa depan, dan dibutuhkan kerja sama dari segala pihak dalam mencegah maupun mengatasi hal ini agar kasus-kasus kekerasan terhadap anak maupun bullying dapat terselesaikan dan hak anak-anak dalam memiliki penghidupan yang layak dapat terpenuhi.

REFERENSI

Achmad, et al. (2010). Hubungan tipe pola asuh orang tua dengan emotionalquotient (eq) pada anak usia dini prasekolah (3-5 tahun) di tk Islam al-fattah Sumampir Purwekerto Utara. Jurnal Keperawatan Soedirman (The Soedirman Journal of Nursing), 5(1).

Bandura, Albert. (1986). Social foundations of thought and action. Prentice Hall.

Bandura, Albert. (1974). Behavior theory and the models of man. American Psychologist, 29, 859-869. https://doi.org/10.1037/h0037514

Feist, J., & Gregory J. Feist. (2011). Teori kepribadian, theories of personality. Salemba Humanika.

Hergenhahn,  & Olson, M. H. (2015). Theories of learning = teori belajar. Prenamedia Group.

Komalasari, G., & Wahyuni E. (2011). Teori dan teknik konseling. Indeks.

Lidia, Irma. (2020, September 21). Mengenali bentuk dan dampak kekerasan pada anak. https://jovee.id/memahami-dampak-kekerasan-pada-anak-bagi-kesehatannya/

Sean, I. (2019, April 11). Korban bullying punya dampak lebih berbahaya dari kekerasan pada anak. https://covesia.com/lifestyle/baca/73097/korban-bullying-punya-dampak-lebih-berbahaya-dari-kekerasan-pada-anak

Slameto. (2015). Belajar dan faktor-faktor yang mempengaruhinya. Rineka Cipta.

Wulansari, S. (2007). Child abuse, fenomena dan kebijakan di Indonesia. Buletin Penelitian Sistem Kesehatan, 10(1), 63-70.

Yayasan Sejiwa. (2008). Bullying mengatasi kekerasan disekolah dan lingkungan sekitar anak. Grasindo.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun