"2024 tinggal hitung hari, sebagai peserta pemilu, keterwakilan perempuan target kita 30 persen, mohon semua partai membantu kader perempuannya, agar tercapai 30 persen," ucap Ismaniar.
Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A), Nevi Ariyani, SE, menjelaskan kebijakan pemerintah dalam mendukung partisipasi kepemimpinan perempuan, dalam regulasi tingkat nasional UU 45 ayat 28 ayat 3. Khususnya di Aceh juga ada regulasi dalam Qanun 3/2008 tentang partai lokal yang menyebutkan keterwakilan perempuan 30 persen.
"Pemerintah sudah memberikan ruang untuk partisipasi, kalau sekarang bisa diilustrasikan keterwakilan perempuan legislatif hanya 14 persen, tapi lumayan dibanding tahun tahun lalu," tegas Nevi.
Dari kabupaten/kota, kata Nevi, hanya Aceh Tamiang yang melebihi 30 persen. Artinya, partisipasi perempuan masih sangat rendah, tidak hanya di parlemen, tapi juga di birokrasi dari 56 SKPA, hanya empat orang perempuan. Ini perlu didorong bersama, agar partisipasi perempuan lebih banyak, apalagi di parlemen agar kebutuhan perempuan bisa diakomodir.
"Ini tanggungjawab kita semua, berharap dari forum ini KPPI ini terus dilakukan pendampingan, bagaimana dengan penguatan kapasitas bisa duduk di legislatif dan eksekutif," tegasnya.
Ia menjelaskan pemerintah dalam dukungan finansial untuk perempuan ada. Â Di DPPPA memiliki unit layanan UPTD PPA. Untuk korban terlapor kita fasilitasi, pemerintah turun tangan, negara ikut dalam perlindungan perempuan dan anak
"Saat ini sudah dianggarkan Rp5 M untuk pembangunan rumah aman, karena seluruh kab/kota kita punya unit layanan, namun Ibu menteri PP berharap nanti tahun kedepan kab/kota sudah membentuk unit layanan," tegas Nevi.
Ia berharap kedepannya banyak perempuan terpilih, dan ikut terlibat dalam politik. Dalam Paripurna, hampir semua fraksi mengharapkan pemerintah agar alokasikan anggaran maksimal untuk perlindungan perempuan dan anak, sehingga kenapa pentingnya perempuan berada di parlemen.
Â
Jurnalis Serambi Indonesia, Yarmen Dinamika, mengatakan sebelum damai Aceh saja perempuan sudah berkiprah dalam Duek Pakat Inong Aceh (DPIA) dengan rekomendasi yang dikeluarkan, dalam proses perdamaian perempuan harus dilibatkan. Setelah damai, ruang politik diisi oleh perempuan hingga lobby ke nasional, sehingga perempuan terakomodir walaupun persentasenya belum memuaskan.
Aspek historis keterlibatan perempuan di ranah politik bukanlah hal yang baru. Kejayaan masa lalu sebagai kekuatan baru untuk mengisi ruang politik eksekutif dan legislatif.