Mohon tunggu...
Kamaruddin
Kamaruddin Mohon Tunggu... Jurnalis - Mengingat bersama dengan cara menulis
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerpen: Cuka

9 Mei 2022   20:51 Diperbarui: 9 Mei 2022   20:54 270
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Botol Cuka | Istimewa

Kisah nyata, 2016

Setelah hujan lebat dini hari, suhu pagi begitu sejuk. Segala hal sepakat untuk berdamai, preman pasar berdamai dengan Satpol PP, awan berdamai dengan angin, dan penduduk keturunan Tionghoa di Pasar Peunayong, Banda Aceh, sudah lama berdamai dengan keturunan asli Aceh.

Yang masih ribut kung kang kong hanya anak-anak kodok bangkong dalam tong sampah. Tak terima bahwa hujan sudah pulang. Beriak-riak air dari parit pasar yang tadi sempat meluap. Mengalir deras melewati deretan toko di Pasar Peunayong termasuk toko kelontong 'Ganda Rasa'.

Hari ini adalah hari pertama aku bekerja di Toko Ganda Rasa. Sekaligus pengalaman pertama aku bekerja di perantauan. Segala persiapan sudah dipersiapkan dengan matang sejak semalam. Mulai dari memastikan stok hingga menghafal harga barang.

Seorang perempuan tua keturunan Tionghoa sebut saja namanya Cici, menjadi pelanggan pertamaku. Cici bersama seorang anak berseragam SMP tampak berjalan tergopoh-gopoh, menerobos Toko Ganda yang sengaja dibuka setengah, karena sedang bersih-bersih.

Cici menyusuri setiap sudut Toko Ganda, mencari tanpa bertanya sepatah katapun. Aku yang dari tadi memperhatikan tingkah Cici memutuskan untuk bertanya;

"Cari apa Ci," tanyaku.

"Cari Cuka untuk dia, ada praktek di sekolah," tuturnya sambil menunjuk ke arah anaknya.

"Oh itu di atas Ci," jawab saya sambil menunjukkan Cuka yang berada pada ketinggian yang sangat sulit dicapai Cici.

"Tolong diambilkan, sudah telat, dia ada praktek di sekolah," jawab Cici.

"Butuh berapa Ci," tanyaku lagi sambil menuju ke arah tempat Cuka itu diletakkan.

"Dua saja," tegas Cici.

Lalu aku mengambil dua Cuka menaruhnya di atas meja kasir, dan memasukkan ke dalam plastik.

"Harganya berapa," tanya Cici.

Dalam sekejap, aku membuka catatan harga yang telah aku catat semalam. Tak ada list harga Cuka, itu membuatku gagap, tak tahu cara menjelaskan harga Cuka ke Cici.

Pandanganku mengarah ke botol sirup cap patung. Botol Cuka tidak berbeda jauh dengan botol sirup cap patung. Hanya warna saja yang beda. Cuka berwarna putih, sirup cap patung berwarna merah.

Ide kreatifku muncul, dan menganggap harga Cuka hanya sedikit lebih murah dari sirup Cap Patung. Cap patung saat itu harganya 18 ribu. Aku memutuskan harga Cuka 15 ribu.

"15 ribu aja Ci, kalau dua 30 ribu," jelasku

Cici langsung menyodorkan uang Rp50 ribu, kembalian 20 ribu. Tanpa bertanya apapun, Cici langsung pergi meninggalkan toko Ganda Rasa.

Seorang kasir senior turun dari lantai dua, karena masih ragu dengan harga cuka aku bergegas menghampirinya dan bertanya;

"Bang semalam lupa catat harga Cuka,".

"Rp5 ribu satu botol Mar," jawabnya.

Aku terkejut bukan main, merasa berdosa sama Cici. Dari sini aku belajar, dalam hidup, kadang ada hal-hal yang terjadi di luar apa yang telah kita persiapkan. Sampai sekarang, aku tak pernah lagi bertemu dengan Cici, bahkan aku sudah lupa dengan wajahnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun