Kemudian muncul nama seorang ulama besar bernama Nurrudin Al-Raniri yang menengahi kericuhan ini. Beliau pun menyanggah berbagai alasan yang dikeluarkan untuk menolak diangkatnya Ratu Safiatuddin sebagai pemimpin Aceh. Baru setelah itu, Ratu Safiatuddin berhasil memimpin Aceh selama 34 tahun, mulai 1641 hingga 1675.
Sebagai pemimpin baru Aceh, sang Ratu mendapat gelar Paduka Sri Sultanah Ratu Safiatuddin Tajul-'Alam Syah Johan Berdaulat Zillu'llahi fi'l-'Alam binti al-Marhum Sri Sultan Iskandar Muda Mahkota Alam Syah. Saat itu, dalam kepemimpinannya, Aceh mengalami perkembangan yang cukup pesat di berbagai bidang sastra, adat dan ilmu pengetahuan. Termasuk dibangunnya perpustakaan-perpustakaan sebagai upaya mencerdaskan rakyat.
Kajian dan literatur Islam berkembang pesat pada masa Sultanah Safiatuddin sehingga dianggap sebagai "zaman keemasan Islam dan Melayu di Aceh yang tak tertandingi hingga kini". Ratu Safiatuddin sendiri dikenal memiliki hobi menulis sajak dan syair. Tidak hanya itu, ekonomi dan perdagangan Aceh juga menggeliat pada masa kepemimpinan beliau dan hubungan diplomasi dengan negara lain terjalin dengan baik.
Sang Ratu Beliau juga dikenal merupakan pemimpin yang cakap, arif dan bijaksana. Ratu Safiatuddin membentuk sebuah pengawal istana yang beranggotakan perempuan. Pasukan ini juga ikut turun ke medan pertempuran ketika terjadi Perang Malaka pada tahun 1639. Beliau juga meneruskan tradisi dengan memberikan hadiah tanah kepada pahlawan perang.
Berikut 23 Anjungan Rumah Adat Kabupaten/Kota Aceh di Taman Ratu Safiatuddin
1. Aceh Besar
2. Aceh Selatan
3. Abdya