Kemudian, meski Pamor Taman Ratu Safiatuddin masih kalah dengan destinasi wisata lainnya di Aceh. Namun potensinya tidak bisa diabaikan. Taman ini kerap menjadi venue acara-acara maupun festival yang seru untuk dikunjungi. Seingat saya terakhir acara besar yang di selenggarakan adalah Aceh Culinary Festival (ACF) tahun 2019 yang menyajikan 1.000 jenis makanan dan minuman. Beruntung, saat itu saya menjadi bagian dari tim pembantu Event Organizer (EO).
Sekarang, hanya ada aktivitas olahraga disana, termasuk jogging. Biasanya, sebelum mulai jogging saya melakukan pemanasan dan peregangan terlebih dahulu. Pemanasan sangat penting ketika memulai segala jenis latihan, untuk menghindari kram otot. Baru setelah semuanya beres saya mengambil langkah pertama dan mulai berlari mengelilingi Taman Ratu Safiatuddin. Menarik, saya melintasi anjungan-anjungan rumah adat 23 Kabupaten/Kota di Aceh.
Sejarah Taman Ratu Safiatuddin
Dikutip tempatwisata.pro, pembangunan Taman Ratu Safiatuddin, diperuntukkan untuk mengenang jasa serta dedikasi beliau semasa memimpin Aceh. Taman ini dibangun ketika masa kepemimpinan Gubernur Abudullah Puteh dan diresmikan oleh Presiden Indonesia kala itu, Megawati Soekarnoputri.
Awalnya, hanya terdapat 20 rumah adat dari 20 kabupaten/kota di Aceh. Namun, seiring dengan pemekaran daerah, Taman Ratu Safiatuddin kini ditambah 3 rumah adat lagi dari Subulussalam, Nagan Raya dan Aceh Jaya. Disetiap anjungan rumah adat terdapat sebuah panggung utama yang biasanya digunakan untuk acara pentas seni dan pertunjukkan.
Sebelum mengenal lebih jauh, ada baiknya mengetahui siapa itu Ratu Safiatuddin yang diabadikan menjadi nama taman tersebut. Ratu Safiatuddin adalah salah satu Ratu yang sangat termasyhur dan disegani dari Kerajaan Aceh.
Sejarah Sultanah Ratu Safiatuddin
Sultanah Ratu Safiatuddin ialah putri dari Sultan Iskandar Muda. Ratu Safiatuddin yang lahir pada tahun 1612 dan meninggal dunia pada tahun 1675. Sultanah Ratu Safiatuddin dengan nama Putri Sri Alam merupakan istri dari Sultan Iskandar Tsani yang kala itu memimpin Kesultanan Aceh. Sultan Iskandar Tsani meninggal pada tahun 1641, saat itu Aceh sangat kesulitan mencari pengganti beliau.Â
Istrinya, Ratu Safiatuddin, muncul menjadi kandidat terkuat saat itu. Namun, saat itu terjadi keributan antara para Ulama dan Wujudiyah yang tidak setuju jika Aceh dipimpin oleh seorang perempuan. Mereka beranggapan bahwa Aceh akan kehilangan kewibawaannya dimata dunia jika dipimpin oleh wanita.