"Tidak ada contoh negara yang diuntungkan dari perang yang berkepanjangan." Sun Tzu.
"Bg syeh, nasi goreng kampung 2, 1 pake telur mata sapi + ayam goreng, jangan pake acar, banyakin kerupuk, nasinya sedang. 1 lagi pake telur dadar + ikan, banyakin acar, kerupuk sedang, nasi agak banyak, tambahin saos," pesan Bilal dalam satu tarikan nafas.
Senin malam, 16 Agustus 2021, saya bersama dua sahabat, Bilal Faranov dan Soraya Balkis, memutuskan untuk makan malam di nasi goreng 'Pak Syeh' yang berada di Pusat Pedagang Kaki Lima di Kawasan Darussalam, Banda Aceh. Berhubung Soraya sudah makan, dia hanya memesan lemon tea hangat tanpa gula.
Kursi plastik Napolly warna kuning tersusun rapi di belakang gerobak nasi goreng 'Pak Syeh'. "Silahkan duduk," Pak Syeh mempersilahkan.
Aroma smoky nasi goreng menembus indra penciuman yang sedari pagi tadi sumbat. Lalu lalang kendaraan hilir melintasi jalanan. Klakson dan sorot lampu mobil saling memberi isyarat ketika berpapasan. Lalu lintas malam itu tak terlalu padat, terkesan enggan masyarakat keluar, karena baru-baru ini Kota Banda Aceh kembali ke zona merah.
"Katrok lom Corona, barosa kagadoh siat, nyo katrok ilom (sudah datang lagi Corona, kemarin sudah hilang sebentar, ini udah datang lagi," keluh Pak Syeh kental dengan logat Acehnya berbarengan dengan bunyi wajan, pertanda pesanan kami sedang dalam diproses.
Modal Bahasa Inggris dan Peluang Hebat
Sementara itu, kami yang sedang menunggu pesanan, mulai larut dalam obrolan. Bilal mulai bercerita, tadi sore dia berkesempatan masuk ke Istana Wali Nangroe Aceh di Jalan Soekarno Hatta, Lampeuneurut, Aceh Besar, setelah mendapat undangan via WhatsApp dari salah seorang dosen, ini pertama kali dia masuk ke kompleks Meuligoe Wali Nanggroe yang dibangun di atas tanah seluas 11 hektare.
"Sangat luas, saya sangat berkesan, arsitekturnya pun hampir mirip dengan gedung putih," ucap Bilal takjub.
Disana, kata Bilal, mereka terpaksa harus menunggu di luar, karena ada pertemuan orang penting. "Sepertinya pembahasan di dalam itu berkaitan dengan ekonomi di Aceh, khususnya investasi," celetuk Bilal menduga.
Setelah dua jam menunggu, Bilal akhirnya bertemu dengan dosen yang mengundangnya ke Istana kebanggaan masyarakat Aceh itu. Lalu, terjadilah perbincangan panjang, seperti halnya seorang anak dan ayah, yang sudah lama tidak bertemu. Nama beliau Teuku Cut Mahmud Azis akrab disapa Pak Poncut. Dosen favorit Bilal.
"Pak Poncut kasih informasi lowongan kerja, dengan kualifikasi, khusus perempuan dan kemampuan bahasa Inggris yang bagus dengan TOEFL minimal 600," ujar Bilal kesal. Karena, seandainya kualifikasi lowongan kerja itu tidak khusus untuk perempuan, artinya bisa juga untuk pria, Bilal mungkin akan langsung mengiyakan tanpa ragu, lowongan kerja itu sangat relate dengannya, ditambah dia juga mampu berkomunikasi menggunakan tiga bahasa asing yakni, Inggris, Jepang dan Prancis.
Bilal merupakan mahasiswa berprestasi di Universitas Al-Muslim Bireuen jurusan Hubungan Internasional. Dia pernah mengenyam pendidikan di Negeri Matahari Terbit, Jepang, selama setahun, lewat program pertukaran pelajar. Ia memiliki pengetahuan yang luas, terutama yang berhubungan dengan dunia internasional. Minggu depan Bilal akan mengikuti ujian tugas akhir.
"Itulah Din, Bok (panggilan akrab Soraya Balkis), bahasa Inggris memang modal utama sekarang, mereka yang bisa bahasa Inggris kerap sekali mendapat peluang hebat. Bahkan bahasa Inggris mampu mengalahkan kemampuan yang lain. Seolah seseorang yang bisa bahasa Inggris adalah orang yang cerdas, padahal tidak semua," tutur Bilal memberikan petuah.
Bilal juga berharap saya dan Bok serius dalam belajar bahasa. "Kalian punya akses yang sangat dekat, kita bisa belajar bersama," tutup Bilal. Kedatangan Pak Syeh dengan dua hidangan nasi goreng mampu mengganggu fokus kami.
Melakukan food plating bukan hanya untuk sajian di restoran. Warung Pak Syeh juga mempraktikkan hal serupa, meskipun tidak sesempurna di restoran. Di atas piring ceper plastik, Pak Syeh menata rapi nasi yang di bentuk bulat, lauk melingkari nasi dan pelengkap seperti timun, kerupuk dan daun selada melintang pada bagian tengah piring.
Perang Afghanistan dan Sejarah Taliban
Untuk beberapa menit setelah hidangan tiba, kami masih tenggelam dalam kelezatan nasi goreng kampung Pak Syeh. Dalam suapan yang hampir habis setengah piring, muncul di layar hp saya notifikasi berita dengan judul 'Perang Afghanistan dan Sejarah Taliban yang Kembali Berkuasa'. Karena penasaran, saya mencoba klik link berita itu, lalu membaca, tidak sampai selesai. Kemudian saya melihat ke arah Bilal, saya berpikir untuk bertanya ke Bilal. Sepengetahuan saya Bilal sangat paham dengan isu Internasional, apalagi di Timur Tengah. "Sepertinya mendapatkan pengetahuan secara langsung lebih mudah, ketimbang membaca," pikir saya.
Bilal juga pernah merekomendasikan saya beberapa bacaan yang berhubungan dengan perang Afghanistan, salah satunya buku berjudul 'Kite Runner' karya Khaled Hosseini. Namun saya sedang menunggu versi terjemahan.
"Lal, gimana melihat situasi di Afghanistan hari ini? Taliban kembali berhasil menguasai Ibukota Kabul," tanya saya singkat.
Tidak salah lagi, saya bertanya pada orang yang tepat, pertanyaan itu berhasil membuat Bilal menjauhkan piring nasinya untuk sementara waktu, dia antusias. Dia langsung paham dengan pertanyaan yang saya ajukan. Bilal menjelaskan, sejarah Taliban di Afghanistan sudah dimulai sejak lama. Pada tahun 1990 an, kelompok ultrakonservatif ini mulai berkembang memanfaatkan ketidakstabilan situasi politik dan runtuhnya rezim Soviet. Saat itu, masyarakat disana sudah lelah dengan ekses mujahidin dan pertikaian hebat setelah Soviet terusir. Oleh karena itu, masyarakat menyambut kemunculan Taliban.
"Taliban itu tidak akan pernah habis, mereka telah menyebar ke seluruh dunia. Hanya saja tidak terlihat pergerakannya," jelas Bilal mengawali.
Bilal melanjutkan, lima tahun kemudian tepatnya tahun 1995, mereka berhasil menguasai Provinsi Herat, di perbatasan Iran. Setahun setelahnya pada 1996, untuk pertama kalinya, Taliban berhasil menguasai Ibukota Kabul, Afghanistan. Empat tahun berkuasa, pada tahun 2001, kekuasaan Taliban digulingkan oleh pasukan yang dipimpin Amerika Serikat (AS).
"Masyarakat disana sangat ketakutan, mereka di kekang, makanya ada kejadian kayak kemarin, presiden dan petinggi-petinggi meninggalkan negara mereka," ungkap Bilal.
Bahkan, kata Bilal, masyarakat sipil juga berusaha meninggalkan Afghanistan, mereka naik ke pesawat militer milik Amerika Serikat (AS) C-17 yang akan lepas landas. "Ada liatkan sebuah video yang tersebar di media sosial, menunjukkan kerumunan orang yang sedang berlari dan nekat duduk di bagian roda pendaratan pesawat," ujarnya.
"Di bawah kekuasaan Taliban, hukum Islam sangat ketat, perempuan tidak dibolehkan keluar rumah, secara brutal mereka mewajibkan perempuan menggunakan burka yang menutup seluruh tubuh, pria diharuskan berjanggut, tidak ada ruang untuk bergerak, khususnya perempuan dan masih sangat banyak lagi aturan yang mereka buat, tentunya membuat masyarakat sipil ketakutan," tambah Bilal, yang sesekali memegang kendali piring nasi gorengnya. Saya dan Bok antusias mendengar kelanjutannya.
Bilal melanjutkan, kata dia, dulu pengaruh Russia dan Amerika Serikat sangat kuat di Afghanistan. Namun, beberapa tahun terakhir Amerika Serikat menarik seluruh personel tentaranya dari Afghanistan.Â
"Karena mungkin mereka merasa tidak ada kepentingan lagi disana, Amerika juga. Amerika juga sudah menggelontorkan triliunan uang, baik untuk militer maupun proyek rekonstruksi. Meski Amerika sudah bertahun-tahun membantu militer Afghanistan, tetap saja Afghanistan belum bisa berkutik, mungkin pengaruh SDM juga," imbuh Bilal.
"Gitu Din sekilas yang aku pahami tentang Taliban dan Afghanistan, beruntung kita hidup di negara yang aman, paling masalahnya cuma hal-hal sepele. Permasalahan kata Anjay, munculnya Aldi Thaher, munculnya babi ngepet di Depok dan terakhir prank Rp2 triliun," celetukan lucu Bilal mengakhiri cerita singkat malam itu.
Saya jadi teringat sebuah quotes. "Tidak ada contoh negara yang diuntungkan dari perang yang berkepanjangan." Sun Tzu.
Saya menyebut pertemuan malam itu dengan sebutan 'Sepiring Inspirasi di Nasi Goreng Pak Syeh'. Selain mendapat asupan makanan, saya juga mendapat asupan ilmu. Nasi goreng kampung Pak Syeh di meja kami hanya sisa tulang belulang. Malam pun semakin sepi, suara nyaring knalpot tidak semerdu ketika kami baru tiba, kami pun pulang dengan tenang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H