Tidak salah lagi, saya bertanya pada orang yang tepat, pertanyaan itu berhasil membuat Bilal menjauhkan piring nasinya untuk sementara waktu, dia antusias. Dia langsung paham dengan pertanyaan yang saya ajukan. Bilal menjelaskan, sejarah Taliban di Afghanistan sudah dimulai sejak lama. Pada tahun 1990 an, kelompok ultrakonservatif ini mulai berkembang memanfaatkan ketidakstabilan situasi politik dan runtuhnya rezim Soviet. Saat itu, masyarakat disana sudah lelah dengan ekses mujahidin dan pertikaian hebat setelah Soviet terusir. Oleh karena itu, masyarakat menyambut kemunculan Taliban.
"Taliban itu tidak akan pernah habis, mereka telah menyebar ke seluruh dunia. Hanya saja tidak terlihat pergerakannya," jelas Bilal mengawali.
Bilal melanjutkan, lima tahun kemudian tepatnya tahun 1995, mereka berhasil menguasai Provinsi Herat, di perbatasan Iran. Setahun setelahnya pada 1996, untuk pertama kalinya, Taliban berhasil menguasai Ibukota Kabul, Afghanistan. Empat tahun berkuasa, pada tahun 2001, kekuasaan Taliban digulingkan oleh pasukan yang dipimpin Amerika Serikat (AS).
"Masyarakat disana sangat ketakutan, mereka di kekang, makanya ada kejadian kayak kemarin, presiden dan petinggi-petinggi meninggalkan negara mereka," ungkap Bilal.
Bahkan, kata Bilal, masyarakat sipil juga berusaha meninggalkan Afghanistan, mereka naik ke pesawat militer milik Amerika Serikat (AS) C-17 yang akan lepas landas. "Ada liatkan sebuah video yang tersebar di media sosial, menunjukkan kerumunan orang yang sedang berlari dan nekat duduk di bagian roda pendaratan pesawat," ujarnya.
"Di bawah kekuasaan Taliban, hukum Islam sangat ketat, perempuan tidak dibolehkan keluar rumah, secara brutal mereka mewajibkan perempuan menggunakan burka yang menutup seluruh tubuh, pria diharuskan berjanggut, tidak ada ruang untuk bergerak, khususnya perempuan dan masih sangat banyak lagi aturan yang mereka buat, tentunya membuat masyarakat sipil ketakutan," tambah Bilal, yang sesekali memegang kendali piring nasi gorengnya. Saya dan Bok antusias mendengar kelanjutannya.
Bilal melanjutkan, kata dia, dulu pengaruh Russia dan Amerika Serikat sangat kuat di Afghanistan. Namun, beberapa tahun terakhir Amerika Serikat menarik seluruh personel tentaranya dari Afghanistan.Â
"Karena mungkin mereka merasa tidak ada kepentingan lagi disana, Amerika juga. Amerika juga sudah menggelontorkan triliunan uang, baik untuk militer maupun proyek rekonstruksi. Meski Amerika sudah bertahun-tahun membantu militer Afghanistan, tetap saja Afghanistan belum bisa berkutik, mungkin pengaruh SDM juga," imbuh Bilal.
"Gitu Din sekilas yang aku pahami tentang Taliban dan Afghanistan, beruntung kita hidup di negara yang aman, paling masalahnya cuma hal-hal sepele. Permasalahan kata Anjay, munculnya Aldi Thaher, munculnya babi ngepet di Depok dan terakhir prank Rp2 triliun," celetukan lucu Bilal mengakhiri cerita singkat malam itu.
Saya jadi teringat sebuah quotes. "Tidak ada contoh negara yang diuntungkan dari perang yang berkepanjangan." Sun Tzu.
Saya menyebut pertemuan malam itu dengan sebutan 'Sepiring Inspirasi di Nasi Goreng Pak Syeh'. Selain mendapat asupan makanan, saya juga mendapat asupan ilmu. Nasi goreng kampung Pak Syeh di meja kami hanya sisa tulang belulang. Malam pun semakin sepi, suara nyaring knalpot tidak semerdu ketika kami baru tiba, kami pun pulang dengan tenang.