Mohon tunggu...
Kamalia fadilaaa
Kamalia fadilaaa Mohon Tunggu... Mahasiswa - cewe penyuka apapun yang berbau coklat

suka fotografi

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Kisah Dibalik Rumah dan Senja

7 November 2024   08:29 Diperbarui: 7 November 2024   08:31 54
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Bukan kisah seorang badgril yang bertemu dengan cowonya, bukan kisah benci yang menjadi cinta, bahkan bukan kisah sahabat kecil yang menjadi teman pendamping sehidup semati. Kisah ini tentang seorang anak perempuan yang ditinggal orang tua nya sejak kecil.

 Aruna Putri Aditama, anak pertama dari 3 bersaudara. Seorang anak perempuan yang tinggal di desa kecil bersama Mbah, Mbah Ibu. Dibesarkan di rumah sederhana yang dikelilingi dengan kebun sayur dan tanaman bunga cantik. Kehidupan kami tenang, namun penuh warna.

Mbah Ibu adalah sosok yang penuh akan kasih sayang. Dia selalu bangun lebih pagi dari aku, menyiapkan sarapan dengan sepenuh hati. Setiap hari, aroma nasi goreng  yang menggoda mengisi udara pagi di rumah kami. Aku ingat betul, betapa bahagianya aku ketika menyantap sarapan sambil bercerita dengan Mbah Ibu tentang mimpiku.

Mbah Ibu suka bercerita. Dalam setiap kisahnya, aku seolah dibawa ke dunia yang jauh, penuh petualangan. Dia sering menceritakan tentang masa mudanya, dan bagaimana ia pernah bertemu dengan banyak orang dari berbagai tempat. Cerita-cerita itu membuatku merasa seolah memiliki dunia yang lebih luas meski hanya tinggal di desa.

Suatu sore, saat matahari mulai tenggelam, aku dan Mbah Ibu duduk di teras rumah. Langit berwarna jingga keemasan, dan burung-burung kembali ke sarangnya. Mbah Ibu menatapku dengan senyuman, lalu berkata, "Arun, kamu tahu tidak, setiap senja ada cerita yang harus kita tangkap."

"Apa itu, Mbah?" tanyaku penasaran.

"Setiap senja adalah waktu yang tepat untuk mengingat semua hal yang kita syukuri. Hari ini, kamu bisa ceritakan padaku hal yang paling kamu syukuri," katanya sambil mengusap kepalaku lembut.

Aku berpikir sejenak. Banyak hal yang membuatku bahagia, tetapi ada satu yang paling mendalam. "Aku bersyukur karena memiliki Mbah Ibu. Mbah selalu ada untukku, mendengarkan semua ceritaku," jawabku tulus.

Mbah Ibu tersenyum lebar. "Itu adalah hal yang indah, Arun. Mbah juga bersyukur memiliki kamu di sini. Kamu adalah cahaya dalam hidup Mbah."

Kami terdiam sejenak, menikmati kehangatan saat senja. Tiba-tiba, aku teringat pada temanku di sekolah yang sering berbagi cerita tentang orang tuanya. Aku pun penasaran. "Mbah, kenapa aku tidak tinggal bersama Ayah dan Ibu?"

Mbah Ibu menatapku dengan lembut. "Kadang, hidup membawa kita ke jalan yang berbeda. Mereka bekerja di kota agar bisa memberikan yang terbaik untukmu. Tapi di sini, Mbah ingin kamu tahu, cinta dan kasih sayang Mbah tidak kalah besar. Kamu selalu ada di hati mereka."

Aku mengangguk, meski masih merasa sepi di dalam hati. Namun, saat Mbah Ibu bercerita tentang kisah hidupnya, rasa sepi itu perlahan-lahan hilang. Mbah Ibu adalah sahabatku, guru hidupku, dan tempatku kembali ketika rindu datang.

Seiring waktu, aku mulai mengerti arti rumah bukan hanya tentang bangunan, tetapi tentang cinta yang ada di dalamnya. Mbah Ibu mengajarkanku banyak hal, dari berkebun dan bertanam hingga menghargai setiap momen kecil. Dia tidak hanya menjadi mbah bagiku, tetapi juga sosok yang menuntun dan mengajarkan makna kehidupan.

Suatu hari, ketika aku beranjak remaja, Mbah Ibu jatuh sakit. Aku merasakan ketakutan yang mendalam. Kesedihan melanda ketika melihatnya lemah. Aku berusaha untuk membuatnya tersenyum, mengingat semua cerita indah yang kami bagi. Dengan penuh kasih, aku merawatnya sebaik mungkin, berusaha mengembalikan senyum di wajahnya.

Di saat-saat sulit itu, Mbah Ibu selalu berpesan, "Arun, ingatlah, hidup itu indah meski kadang penuh rintangan. Teruslah bermimpi dan bersyukur."

Kini, meski Mbah Ibu tidak lagi ada, kenangan bersamanya akan selalu hidup dalam hatiku. Setiap senja, aku menatap langit dan mengingat semua pelajaran berharga yang dia ajarkan. Rumah kami, meskipun sederhana, adalah tempat di mana cinta dan kenangan abadi terukir. Dan saat senja tiba, aku merasakan hangatnya cinta Mbah Ibu di setiap jengkal hidupku.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun