Aku mengangguk, meski masih merasa sepi di dalam hati. Namun, saat Mbah Ibu bercerita tentang kisah hidupnya, rasa sepi itu perlahan-lahan hilang. Mbah Ibu adalah sahabatku, guru hidupku, dan tempatku kembali ketika rindu datang.
Seiring waktu, aku mulai mengerti arti rumah bukan hanya tentang bangunan, tetapi tentang cinta yang ada di dalamnya. Mbah Ibu mengajarkanku banyak hal, dari berkebun dan bertanam hingga menghargai setiap momen kecil. Dia tidak hanya menjadi mbah bagiku, tetapi juga sosok yang menuntun dan mengajarkan makna kehidupan.
Suatu hari, ketika aku beranjak remaja, Mbah Ibu jatuh sakit. Aku merasakan ketakutan yang mendalam. Kesedihan melanda ketika melihatnya lemah. Aku berusaha untuk membuatnya tersenyum, mengingat semua cerita indah yang kami bagi. Dengan penuh kasih, aku merawatnya sebaik mungkin, berusaha mengembalikan senyum di wajahnya.
Di saat-saat sulit itu, Mbah Ibu selalu berpesan, "Arun, ingatlah, hidup itu indah meski kadang penuh rintangan. Teruslah bermimpi dan bersyukur."
Kini, meski Mbah Ibu tidak lagi ada, kenangan bersamanya akan selalu hidup dalam hatiku. Setiap senja, aku menatap langit dan mengingat semua pelajaran berharga yang dia ajarkan. Rumah kami, meskipun sederhana, adalah tempat di mana cinta dan kenangan abadi terukir. Dan saat senja tiba, aku merasakan hangatnya cinta Mbah Ibu di setiap jengkal hidupku.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H