Di ruang IGD petugas medis dengan pakaian pelindung berlapis selalu stanby di ruangan 24 jam. Petugas medis di ruangan pula yang memberi kami makan, obat-obatan, hingga rutin selalu mengecek suhu tubuh dan tensi tekanan darah.
Di ruang IGD tersebut, saya dapat merasakan banyak pasien yang kondisinya lebih buruk dari saya. Saya ingat betul di samping kanan terdapat seorang ibu-ibu yang terus-terusan batuk parah, dan di depan bed saya terdapat juga seorang WNA yang selalu berteriak-teriak jika petugas hendak memberinya makan ataupun mengambil sampel darahnya untuk diperiksa.
Saya pun jadi takut, apalagi di ruang IGD tersebut hanya satu kamar mandi yang digunakan oleh semua pasien secara bergantian. Sebagai langkah preventif, setiap ke kamar mandi saya pun selalu membawa tisu yang sebelumnya sudah saya berikan antiseptic untuk membersihkan gagang pintu kamar mandi, ataupun juga untuk membersihkan dudukan toilet sebelum saya gunakan.
Di ruang IGD, obat-obatan antibiotic seperti Azyhtomicin, Methysoprinol, Vitamin C, Paracetamol dan beberapa antibiotic lainnya diberikan sekaligus untuk membantu meredakan keluhan yang saya alami.
Hampir setiap hari petugas rutin mengambil sampel darah saya untuk dikirim ke laboratorium, selain itu juga dilakukan tes swap, pengambilan sampel dahak melalui hidung dan tenggorokan.
Dahak dari tes Swap inilah yang kemudian dikirimkan ke Laboratorium Kementrian Kesehatan untuk mengetahui seorang pasien dinyatakan positif tidaknya terjangkit Virus Corona.
Sekitar 4 hari di ruang IGD, saya tidak diperkenankan bertemu siapapun termasuk keluarga. Namun saya tetap diijinkan untuk mengakses telepon seluler untuk memberitahu perkembangan kesehatan saya lewat telepon kepada keluarga dan kerabat.Â
Juga termasuk perkembangan jika sejak hari ketiga kaki kanan saya terasa sakit dan tak bisa digunakan untuk berjalan normal, penyebabnya entah karena efek obat-obatan atau mungkin makanan yang dikonsumsi.
Ruang Isolasi
Masuk hari kelima, saya pun kemudian dipindahkan ke ruang Isolasi khusus, di mana ruangan tersebut hanya diisi oleh saya sendiri. Di ruang isolasi tersebut saya merasa lebih nyaman, dikarenakan di ruang tersebut saya benar-benar dapat beristirahat tanpa adanya gangguan suara batuk atau suara-suara teriakan pasien lainnya seperti di ruang IGD.Â
Di ruang isolasi yang berukuran sekitar 4x6 meter ini pun terdapat kamar mandi sendiri, ranjang tempat tidur yang lebih nyaman, lemari untuk menaruh pakaian serta televisi untuk menemani kesunyian di ruang isolasi.