Jeep yang membawa saya melintasi jalan tanah berbatu akhirnya berhenti di depan gerbang kayu besar Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS), salah satu situs warisan dunia UNESCO yang terletak di Sumatera. Udara segar bercampur aroma tanah basah menyambut kedatangan saya. Taman nasional ini terkenal sebagai habitat bagi Harimau Sumatera, Badak Sumatera, dan Gajah Sumatera, serta rumah bagi berbagai flora langka seperti bunga Rafflesia Arnoldii.Â
Di pusat informasi taman nasional, saya disambut oleh seorang ranger yang mengenakan seragam hijau tua dengan senyum ramah. Setelah memperkenalkan diri, ia segera mengajak saya ke area briefing. "Hari ini kami akan menunjukkan bagaimana teknologi membantu pekerjaan kami di sini," katanya. Kami memulai dengan perencanaan patroli harian, meliputi pengecekan kamera jebak, pengoperasian drone, dan evaluasi data GPS satwa yang telah dikumpulkan sebelumnya. Peralatan seperti laptop, drone, dan perangkat GPS tertata rapi di meja briefing, memberikan gambaran jelas bahwa ini bukan sekadar patroli biasa.Â
Langkah pertama kami adalah menuju lokasi tempat beberapa kamera jebak dipasang di jalur yang sering dilalui satwa liar. Sepanjang perjalanan, suara burung-burung liar mengiringi langkah kami. Ranger tiba-tiba mengangkat tangannya memberi isyarat untuk berhenti. "Lihat ini," katanya sambil menunjuk jejak kaki besar di tanah. "Jejak Harimau Sumatera," jelasnya. Saya membungkuk untuk melihat lebih dekat. Rasanya sulit dipercaya bahwa satwa megah seperti ini masih bertahan di tengah ancaman deforestasi dan perburuan liar.Â
Kami melanjutkan perjalanan menuju pos pemantauan. Di sana, saya diperkenalkan dengan drone kecil yang sudah dipersiapkan untuk melayang di udara. Dengan hati-hati, saya mengarahkan perangkat itu melewati kanopi hutan. Dari layar monitor, tampak jelas area yang terkena dampak deforestasi. "Drone ini mempermudah kami memantau aktivitas ilegal," ujar ranger. "Ini jauh lebih cepat dan efisien dibandingkan patroli biasa." Saya kagum, menyadari bahwa alat kecil ini memiliki dampak besar bagi perlindungan hutan.Â
Di pos berikutnya, kami memeriksa hasil data dari GPS yang dipasang pada satwa liar. Salah satu data menunjukkan pergerakan harimau yang baru saja melintasi wilayah perbatasan taman nasional. Informasi ini digunakan untuk menentukan jalur patroli selanjutnya, memastikan bahwa habitat mereka tetap aman dari ancaman luar. Selain itu, ranger menceritakan bagaimana teknologi ini membantu mencegah konflik antara satwa dan penduduk lokal. "Kami sering menggunakan data ini untuk memberi tahu warga tentang keberadaan gajah liar agar mereka bisa mengamankan ladang mereka," tambahnya.Â
Sambil beristirahat di salah satu pos, saya teringat diskusi yang saya hadiri beberapa hari sebelumnya di Forum Bumi yang diselenggarakan Yayasan KEHATI dan National Geographic Indonesia. Dalam forum itu, Prof. Satyawan Pudyatmoko menjelaskan tantangan besar yang dihadapi Indonesia: polusi, perubahan iklim, dan hilangnya keanekaragaman hayati. "Ketiga krisis ini saling terkait dan berdampak besar pada ekosistem kita," ujarnya. "Polusi udara menyebabkan degradasi habitat, perubahan iklim memengaruhi pola migrasi satwa, dan hilangnya keanekaragaman hayati mengancam keseimbangan alam."Â
Pernyataan ini menjadi sangat nyata ketika saya menyaksikan langsung bagaimana teknologi membantu mengatasi sebagian dari tantangan tersebut. Drone, misalnya, tidak hanya digunakan untuk mendeteksi aktivitas ilegal tetapi juga membantu memantau perubahan lanskap hutan akibat perubahan iklim. Kamera jebak memberikan wawasan tentang pola perilaku satwa yang terganggu oleh aktivitas manusia, sementara GPS pada satwa liar membantu mencegah konflik dengan manusia, memberikan peluang hidup lebih baik bagi spesies yang terancam punah.Â
Keberadaan spesies-spesies seperti Harimau Sumatera, Orangutan, dan Pesut Mahakam bukan hanya soal estetika alam, tetapi juga keseimbangan ekosistem yang menopang kehidupan manusia. Jika salah satu elemen ini hilang, dampaknya akan merembet ke seluruh ekosistem. Saya semakin menyadari bahwa "Triple Planetary Crisis" bukan hanya istilah ilmiah, tetapi kenyataan yang harus kita hadapi bersama. Di balik setiap data yang dikumpulkan oleh teknologi, ada cerita tentang keberlangsungan hidup satwa yang harus kita perjuangkan.Â
Hari semakin siang ketika kami memeriksa kamera jebak yang telah dipasang beberapa minggu sebelumnya. Saat membuka hasil rekaman, saya melihat gambar seekor Gajah Sumatera yang sedang melintasi jalur di hutan. Satwa itu tampak besar dan penuh wibawa. "Satwa ini sering menjadi simbol konservasi kami," kata ranger. "Gambar seperti ini sangat membantu kami dalam memahami pola pergerakan mereka dan area habitat yang perlu dilindungi."Â
Sore itu, kami juga mencoba menggunakan aplikasi iNaturalist untuk mendokumentasikan flora yang kami temui sepanjang jalan. Dengan hanya mengambil foto tumbuhan di sekitar, aplikasi ini langsung mengidentifikasi spesiesnya dan memberikan informasi ekologi yang relevan. Saya mencoba mengarahkan kamera ponsel ke sebuah tanaman kecil dengan bunga berwarna ungu di tepi jalan setapak. Aplikasi iNaturalist segera mengidentifikasinya sebagai Strobilanthes cernua, salah satu spesies endemik yang umum ditemukan di hutan tropis Sumatera. Dari aplikasi, saya belajar bahwa tanaman ini sering digunakan sebagai indikator kesehatan tanah karena sifatnya yang sensitif terhadap perubahan lingkungan. Teknologi ini membuka peluang besar bagi masyarakat umum untuk berkontribusi dalam pelestarian alam, sekaligus membantu para ranger memperkaya data ekosistem.Â
Melangkah menelusuri jejak di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan, membawa saya pada wawasan baru tentang bagaimana teknologi telah menjadi bagian penting dalam konservasi. Dari melihat jejak Harimau Sumatera di tanah hingga mengarahkan drone melewati kanopi hutan, saya menyaksikan bagaimana alat-alat modern dapat membantu menjaga keanekaragaman hayati yang tak ternilai ini.Â
Malam itu, di bawah langit penuh bintang, saya merenungkan semua yang saya alami sepanjang hari. Pengalaman menggunakan aplikasi iNaturalist untuk mengidentifikasi tanaman memberi saya pelajaran bahwa pelestarian alam dimulai dari mengenal dan memahami apa yang ada di sekitar kita. Rekaman kamera jebak yang menangkap Gajah Sumatera melintas bukan hanya bukti keberadaan mereka, tetapi juga pengingat akan betapa rentannya satwa-satwa ini tanpa perlindungan yang memadai.Â
Namun, perjalanan ini juga mengajarkan saya bahwa teknologi hanyalah alat. Tanpa dukungan dan keterlibatan manusia, data dan alat secanggih apa pun tidak akan cukup untuk menghentikan laju kerusakan. Dibutuhkan kolaborasi antara pemerintah, masyarakat lokal, dan individu seperti kita untuk benar-benar membuat perubahan.Â
Sebagaimana disampaikan dalam Forum Bumi, "Konservasi bukan hanya tugas pemerintah atau ilmuwan. Setiap individu memiliki peran, mulai dari mengurangi konsumsi produk berbasis satwa liar hingga mendukung kampanye digital yang bertanggung jawab," tegas Prof. Satyawan Pudyatmoko.Â
Saya membayangkan kembali jejak harimau yang saya lihat di awal perjalanan. Jejak itu bukan hanya tanda keberadaan satwa yang megah, tetapi juga simbol harapan dan tanggung jawab yang kita emban bersama. Dalam setiap langkah, kita dapat memilih untuk menjaga atau merusak. Masa depan puspa dan satwa Indonesia bukanlah sesuatu yang jauh atau abstrak. Itu adalah hasil dari keputusan yang kita buat hari ini.Â
Kini, tugas kita adalah menjadikan langkah kecil itu menjadi gerakan besar. Unduh aplikasi konservasi, bagikan cerita ini, dan lebih dari itu, jadilah pelindung aktif bagi keajaiban alam Indonesia. Jejak yang kita tinggalkan hari ini akan menentukan apakah anak-anak kita masih dapat mendengar auman harimau di hutan atau hanya melihatnya di layar kaca. Bersama, kita bisa memastikan bahwa cerita tentang puspa dan satwa Indonesia akan terus ditulis, bukan sebagai kisah kepunahan, tetapi sebagai kisah kebangkitan dan harapan. Ketika saya menelusuri jejak di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan, setiap langkah membawa saya pada wawasan baru tentang bagaimana teknologi telah menjadi bagian penting dalam konservasi. Dari melihat jejak Harimau Sumatera di tanah hingga mengarahkan drone melewati kanopi hutan, saya menyaksikan bagaimana alat-alat modern dapat membantu menjaga keanekaragaman hayati yang tak ternilai ini.Â
Pengalaman menggunakan aplikasi iNaturalist untuk mengidentifikasi tanaman juga memberi saya pelajaran bahwa pelestarian alam dimulai dari mengenal dan memahami apa yang ada di sekitar kita. Rekaman kamera jebak yang menangkap Gajah Sumatera melintas bukan hanya bukti keberadaan mereka, tetapi juga pengingat akan betapa rentannya satwa-satwa ini tanpa perlindungan yang memadai.Â
Perjalanan ini meninggalkan jejak mendalam di hati saya. Masa depan puspa dan satwa Indonesia bukanlah sesuatu yang jauh atau abstrak. Itu adalah hasil dari keputusan yang kita buat hari ini. Apakah kita memilih untuk menjaga atau mengabaikan? Pilihan ada di tangan kita. Unduh aplikasi konservasi, bagikan cerita ini, dan lebih dari itu, jadilah pelindung aktif bagi keajaiban alam Indonesia. Jejak yang kita tinggalkan hari ini akan menentukan apakah anak-anak kita masih dapat mendengar auman harimau di hutan atau hanya melihatnya di layar kaca.Â
Kini, tugas kita adalah menjadikan langkah kecil itu menjadi gerakan besar. Bersama, kita bisa memastikan bahwa cerita tentang puspa dan satwa Indonesia akan terus ditulis, bukan sebagai kisah kepunahan, tetapi sebagai kisah kebangkitan dan harapan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H