Aspek Membaca
Iman tanpa ilmu, bagaikan lentera di tangan bayi.
Ilmu tanpa iman, bagaikan lentera di tangan
pencuri.
Buya Hamka
Iman tanpa ilmu tidak berarti dan cenderung berbahaya, sementara ilmu tanpa iman juga tidak berguna dan berpotensi disalahgunakan. Itulah mungkin yang dimaksud dari kutipan seorang tokoh terkemuka, Buya Hamka.
Ilmu bisa didapatkan dari mana saja dan dari apa saja. Dari pendidikan formal maupun informal. Sebagian juga dari pengetahuan. Dalam ruangan yang sumpek, di luar ruangan, di dalam kaset, di gawai (peranti elektronik, gadget, acang. Sebut saja telepon genggam). smartphone saja bisa smart, masa penggunanya tidak smart?! Di video, di dalam radio, dan semacamnya. Seluruh alam semesta tinggal ambil saja kebijaksanaannya. Dan itu akan datang dari mana saja, seperti pepatah Arab bilang yang jika diartikan ialah:Â
Ambillah kebijaksanaan, meskipun keluar dari pantat ayam
Ilmu bisa didapatkan dari mana saja, dari arah selatan, utara, timur, dan barat. Ketika hidup di era milenium baru akan kemodernitasnya. Apa yang modernitas?! Melihat paradigma dan sudut pandang yang minim sekali dan terabaikan Ilmu Pengetahuan. Tentu saja saya tidak meremeh-temeh kan tentang keilmuan atau pengetahuan mereka, maupun dari pengalaman masing-masing, apalagi kita tidak bijak mengatakan bahwa kita lebih berilmu atau mereka lebih berilmu (karena harus kompeten). Hanya saja sering terabaikan tentang ilmu an sich (itu sendiri).
Hidup di era serba-serbi digital ini, ketika sebuah informasi mudah diakses dan didapatkan di mana saja. Sesuatu yang menyenangkan bagi setiap individu. Beberapa atau sebagian orang, dimulai dari kalangan senja, menginjak usia dewasa dan usia belia atau remaja. Dan itu sangatlah mudah untuk mengaksesnya, meskipun tidak sedikit yang gaptek atau gagap teknologi. Tapi semua itu mudah jika ada keniatan untuk belajar.
Tidak sedikit yang menganggap bahwa ilmu dari barat itu adalah ilmu liberal, tidak cocok dengan kita sebagai warga Asia Timur dan tenggara termasuk Indonesia. Saya akan mengutip dari filsuf, penulis, tokoh revolusioner, sekaligus pejuang kemerdekaan Indonesia:
Belajar dari barat, namun tetap menjaga identitas sendiri.Â
Tan Malaka
Untuk komparasi atau perbandingan dari segi keilmuan barat itu sendiri sebenarnya dari timur sebagai gudang pengetahuan tak terbatas, yang mencakupi dan atau ter inklusi kehidupan manusia, secara signifikan bisa saja mengubah peradaban kuno ke modern. Peradaban kehidupan di bumi.
Dimulai dari membaca, memandang sekaligus menjadi individu di negara-negara maju dan dengan harapan juga desa harus maju, dan maju di sini bukan tentang infrastrukturnya atau pembangunannya saja, tapi dari segi berpikirnya. Jika memang terbentuk dari kultur atau budaya membaca, berargumentasi, dan bisa merumuskan pendapat pribadi.
Dari membaca setidaknya membentuk tiga sub konsep:
- Informatif (informasi)
- Formasi (formatif)
- Kontemplasi (kontemplatif)
- Informatif: Dengan kita membaca, mau dari artikel, koran, majalah, telepon genggam, dan atau buku-buku, kita segera mendapat informasi dari barisan-barisan tulisan.
- Formatif: Segera setelah mendapat informasi dari sekian tulisan-tulisan yang berpengetahuan, neuron pada otak akan mendorong untuk mengaktifkan pembentukan formasi. Formasi ini akan mempengaruhi dan atau memberi saran, bahwa bagaimanapun ke depannya seperti apa untuk sebuah pencarian. Kemudian, memahami segala bentuk gagasan yang tertulis dalam informasi dan pengetahuan.
- Kontemplasi: Setelah kita mendapatkan dari dua hal di atas yang tertulis, maka memang seharusnya ada fase atau waktu-waktu tertentu untuk bisa merenungkan atau kontemplasi, agar bisa lebih jauh lagi tentang sebuah pemikiran yang sudah terasupi gagasan dan informasi dari tulisan-tulisan yang sudah dibaca.
Dari artikel di atas kita berupaya untuk peka, tumbuh kesadaran, dan terkonsolidasi atau berusaha memiliki ikatan kesatuan supaya lebih maju dan modern lagi tentang sebuah pemikiran. Bahkan leluhur kita menyampaikan pesan seperti itu. Generasi ke generasi memiliki cara sudut pandang yang cenderung berbeda, dari sebuah pembelajaran hingga penerapannya.Â
Pada segi membaca bukan sekadar membaca, tapi berusaha untuk bisa memahami dari sebuah ilmu pengetahuan. Untuk membaca bukan hanya membaca tulisan-tulisan saja, tapi dari tulisan-tulisan yang sudah dibaca pun harus diseimbangi dengan membaca sekitar. Membaca lingkungan alam, aspek sosial, budaya, dan sejarah. Terus seperti itu agar menjadi siklus yang memiliki nilai positif.
Dari kita melihat ke arah belakang adalah sebuah ancang-ancang untuk berlari ke depan diikuti dengan pembelajaran-pembelajaran lainnya. Dengan seperti itu mencoba memaksimalkannya supaya memitigasi atau mengurangi ketidaktahuan tentang ilmu pengetahuan. Ilmu agama, sosial, politik, bertani, lingkungan (ini sangat penting) dan lain sebagainya. agar berguna kepada sesama manusia yang adil dan beradab.
Saya mengajak dan atau kita untuk saling berpikir dan tukar pikir, melanjutkan pesan-pesan leluhur kita dan berusaha juga untuk mengimplementasikan atau menerapkannya pada ke kehidupan sehari-hari, agar bisa terus hidup, terhidupi, dan menghidupi. Karena hidup bukan hanya mengisi perut saja.
Berilah ruang pada diri kita sendiri, berilah ruang pada manusia-manusia yang ingin belajar.
Ketika semuanya terlalu nyaman, maka dunia akan berhenti. Ketika semua bergerak, semua hidup.
Benda mati akan hidup, jika manusianya memiliki daya tangkas yang cemerlang atau mampu mengelolakannya.
Terima kasih sudah membaca. Tetap kritis!!!
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H