Ini, sekelumit kisahku kala kelana,
Di sebuah rentetan waktu yang bertebaran, terduduk aku di pelamunan hampa tak bernyawa. Berusaha untuk tak terjerat dari belenggu pikiran ini dan itu. Aku keluar dari jalur barisan disana. Iya, barisan para manusia yang mengekor pada jarum detik hingga menit. Yang tak tau letak ujung apa akan menuju.Â
Saat itu, sepertinya adalah hari terberani yang pernah kulakukan. Mau bagaimana lagi? Yang terjadi biarlah terjadi. Padahal Raja dari segala makhluk sudah menatap sinis padaku dari atas singgasananya. Ah, biarkan saja. Toh, aku tahu pasti dia tak akan menghampiriku disini. Karena dimensi antara kita berbeda.Â
Para manusia yang kukenal pun juga bertanya perihal kelakuan aneh ku ini? Jawabku dengan sekenanya, "Biarin biar beda sendiri!" Aku sedang ingin menghilang dari jeratan waktu. Mungkin hanya sebentar, sebelum cahaya kilat menghampiri dan menghukumku nanti.
Iya, memang sudah beratus tahun lamanya tidak ada yang melakukan hal ini seumur hidup. Yang tertulis di buku sejarah yang pernah kubaca, ada seseorang bernama Dia yang berani menerobos masa dari barisan seperti aku. Disana, tercatat bahwa Dia sedang dalam kondisi kartasis. Sedang ingin meluapkan emosi terdalam yang terkungkung lama di relung jiwa. Suatu waktu, akhirnya Dia tak bisa menahannya lagi. Lalu, pada akhirnya Dia malah diseret cahaya kilat menuju kematian. Akhir yang tragis memang.
Aku juga ingin mencatat sejarah baru. Tapi alasan antara Aku dan Dia berbeda. Sejujurnya, tak ada alasan yang mengharuskan aku lari dari jeratan waktu. Sebenarnya, hanya ingin bersenang-senang saja pada dimensi yang tak banyak diketahui sebagian orang. Dan, satu hal lagi. Aku sedang tertarik pada eksperimennya Dia, tentang penemuan terhadap sesuatu. Layaknya harta karun yang masih belum terjamah tangan manusia.
Tulis Dia dalam catatan sejarah, Dia telah menemukan sesuatu yang dianggapnya dapat menyenangkan diri dan tergolong abadi. Sayang. Belum selesai ia hampiri, malah sudah ketangkap sama cahaya kilat. Kasihan. Aku tak mau seperti Dia.
Tepat saat aku membuka jeratan waktu, tiada sosok yang menghampiri. Namun ada satu yang berani mendekat. Hanya kekosongan kala itu yang mau menghampiri diriku disini, di dalam pengasingan ini. Bukan waktu, bukan asa, bukan pula kasih, dan juga bukan kau. Setidaknya dalam persinggahan waktu ini, kekosongan masih menemaniku.Â
"Kamu akan melakukan apa dalam dimensi pengasingan tak berujung ini?" tanya kekosongan padaku. Sesaat, aku juga bertanya dalam hati kecil. Untuk apa aku melakukan hal aneh ini? Oh iya, bukankah untuk harta karun itu? Tapi kalau aku kasih tahu kepadanya, nanti malah bisa-bisa ia merebutnya dariku. Tidak. Aku tak boleh memberitahunya.Â
"Sekedar untuk menatap waktu-waktu yang tiada hentinya berjalan maju," jawabku dengan guyonan jayus yang pernah kuserap dulu ketika masih di dunia waktu. Untung saja, kekosongan hanya mengangguk dan tak bertanya lagi. Kemudian kami menyusuri dimensi ini. Lalu terduduk di salah satu sudutnya. Yang tak sempat ku hitung berapa banyak sudut disini. Nanti kelamaan lagi. Biar kuhabiskan sisa hampa ini dengan kekosongan. Berharap ia cepat pergi. Lalu, aku bisa melanjutkan misi.
Seketika kami berdua terdiam. Iya, kami sedang asyik menerka ujung pangkal berakhirnya waktu. Namun, masih belum ketemu tuh! Sedari tadi, dengan teliti ku amati ribuan barisan waktu disana, yang sempat kutangkap. Tiba-tiba saja ada lubang hitam tepat di hadapan barisan. Lalu menelan waktu dan manusia dalam jeratannya. Aku memang sudah tahu pasal lubang hitam itu. Namun, belum kuketahui bentuknya seperti apa. Ternyata seperti itu toh! Yah, hanya kotak lubang persegi panjang mirip keranda tak berdimensi yang kedalamannya tak sempat kuhitung. Dan itu berwarna hitam pekat, yang menelan bagai vacuum cleaner.
Sampai detik ini, aku juga tak tahu lubang itu mengarah ke mana. Sebab, belum tertulis dalam buku sejarah. Konon katanya, mereka tak akan bisa kembali lagi pada dimensi lain. Dan, aku juga tak terlalu peduli. Soalnya, aku sendiri tak suka kegelapan yang hakekat. Ih! Bergidik ngeri, jika membayangkannya.
Dalam perjalananku dengan kekosongan, pikiran rancu kembali menghantui otakku saat menatap kembali rentetan waktu yang tengah berjalan. Sejenak terlintas dalam benakku, akankah rentetan waktu itu berjalan mundur? Setidaknya menganalisis peta yang sudah mereka jajaki.Â
Aku pun mulai membuka percakapan dengan kekosongan. Teman setiaku pada dimensi ini. Lalu, kekosongan dengan terkekeh menjawabku. "Mereka itu orang yang taat dan juga tak miliki hawa nafsu, pikiran dan hati layaknya manusia," begitu katanya. Aku terdiam bingung. Lalu, aku mencoba mengutarakan pertanyaan sensitif pada kekosongan. "Lalu, kalau kamu itu makhluk seperti apa?"
Benar saja dugaanku. Pasti pertanyaan ini terlalu menyudutkan. Dia lama menjawabku. "Kalau kamu tak mampu menjawab, aku tak apa," ujarku padanya. Lalu, kekosongan kembali sumringah. "Sungguh, kau tak mau tahu pasal diriku?" tanyanya dengan nada bercanda. Sontak aku pun merasa tertipu. Atas perihal apa, hingga aku dibodohi oleh sosok tak berakal seperti kekosongan.Â
Aku tersenyum sinis. "Aku juga tak terlalu peduli denganmu tuh!" ujarku. Biar tahu rasa dia. Enak saja, main tipu-tipu begitu. Kekosongan makin meledekku dengan picingan mata yang mencekik. Ahh! Apa sih dia? "Aku ini tipikal manusia yang tak mau peduli, jika pikiran tak ingin meneliti. Terserah, apa maumu!" jawabku lagi.Â
Kekosongan makin tertawa keras. Setelah, ku biarkan ia dengan kebahagiaan anehnya itu. Akhirnya ia kalap juga. Sosok aneh ini ternyata punya humor yang aneh juga. Tak seperti di duniaku.
"Maaf, aku hanya bercanda!" jawabnya. "Jadi, maksudmu aku itu hanya buah senda gurau saja!" ujarku agak ketus. "Kan, aku sudah minta maaf tadi! Masa kamu tidak mau memaafkan?" tanyanya memelas. Lalu, aku pun tersenyum meliriknya. "Aku, juga bercanda! Ha..ha..ha!"Â
Yah, apa sih guyonan kita berdua ini?
"Aku itu bentuk dari kesia-siaan." Kata kekosongan mulai tegas. Aku pun jadi mulai serius, sejak kata pertama itu diucapkan oleh kekosongan.Â
"Kesia-siaan seperti apa yang kau maksud? Apakah kau juga sama dengan waktu yang tak miliki perasaan, akal, dan hawa nafsu?" Kekosongan menggelengkan kepalanya. "Bukan seperti itu," jawabnya. "Lalu apa?" tanyaku mulai penasaran.
Ia terdiam sejenak. "Aku ini hanya omong kosong dari kesia-siaan waktu. Aku ini makhluk yang kurang taat pasal berbaris pada dimensi yang tengah kau jalani!" jawabnya, mulai menghanyutkan emosi. "Aku tahu," ujarku lirih.
Kali ini, kekosongan mulai menatapku aneh, dengan kedua alis yang menaut dan dahi yang berkenyit. Kekosongan mulai menghentikkan perjalanan tak berujung dalam pengasingan ini.Â
"Apakah pertemuan kita merupakan skenario masa? Atau hanya masa pendukung yang tak memiliki makna? Sekiranya, tak ada sirat arti. Lalu, mengapa kau berusaha untuk mengejar dan tertarik akan omong kosongku? Jika, ini memang memiliki arti. Lalu, mengapa kau patahkan asa yang mulai mematri penuh harap. Andai kau tak serumit itu!"
Jujur, aku belum pernah disuguhkan kata-kata sedemikian rupa. Kekosongan benar-benar menggerakkan hati dalam sanubariku. Aku terdiam menatap ke arahnya, tak tahu harus berkata dan berbuat apa? Karena aku pun tak tahu pasal adanya skenario itu?
"Kalau begitu sepertinya, pertemuan kita usai disini," ujar kekosongan lirih. Sejujurnya, aku masih ingin kekosongan berada di sisiku. Menemaniku, agar kami bisa menemukan harta karun bersama. Oh iya, kekosongan belum tahu pasal ini. Namun, aku juga takut. Jika ia tahu, apakah nantinya kami akan bertengkar hebat? Dan menjadi musuh abadi? Jujur, aku tak mau seperti itu.
Tidak, untuk sosok yang sudah kuanggap sahabat ini. Sosok tergila yang pernah kutemui. Tak akan pernah lupa, akan perbincangan hangat kita saat ini. Akan kupatri dalam-dalam di lubuk hati.
"Terima kasih, sudah menemaniku sejauh ini." ujarku juga lirih mengakhiri sebuah perpisahan antara aku dan kekosongan.
Kini, kekosongan sudah berjalan menjauhiku. Hanya tersisa punggung kekosongan yang dapat kulihat dari kejauhan. Semakin lama, ia pun hilang dalam masa dimensi. Mungkin, sudah beralih ke portal dimensi lain. Menemui mereka yang sedang dalam waktu senggang. Agar kekosongan tak merasa kesepian dalam kehampaan fana ini.
Ya sudah, aku harus melanjutkan misi.
Tiba-tiba dalam perjalanan mengembara mencari sesuatu yang kusebut "harta karun", cahaya kilat mulai datang menghampiriku. Ah, sialan! Belum sempat ketemu sudah akan tertangkap.
Tidak, aku tak boleh melakukan kesalahan yang sama seperti Dia. Aku harus merubah catatan sejarah. Agar namaku dapat dikenang abadi. Dan menjadi motivasi bagi para penerus masa depan. Biar kita sebagai manusia tak perlu menjadi makhluk yang kaku pada aturan. Fleksibel dikit lah!
Berusaha kuat, aku berlari dari kilatan cahaya yang makin mendekat dari kejauhan fana sana. Aku kerahkan segala kekuatanku pada pengembaraan ini. Biarkan energi dalam tubuh habis termakan masa yang makin menggerogoti tenaga tubuh. Tenang saja, semangat api dalam jiwaku ini masih membara. Karena, aku ini masih muda. Bukan tua renta yang tak cukup memiliki tenaga tuk berlari atau anak-anak yang masih buta akan kehidupan.
Pada pengejaran ini, cahaya kilat makin berlari berkilat-kilat. Hendak menyerbuku dengan segudang jeruji kilatan. Aku pun sudah tak mau lagi melihat ke arah belakang. Tuk mengetahui sudah sampai mana cahaya kilatan menghampiri. Tatap ke depan saja, tak usah mengulik ke belakang. Agar tak berasa penat.
Dalam pandangan jauh menatap oasis di tengah perlarian, ada pintu portal yang terbuat dari emas. Saat aku berusaha fokus padanya, pintu itu makin mengeluarkan sinarnya. Seperti magnet yang tengah menarikku. Ah, sepertinya itu yang dibicarakan oleh Dia pada buku catatan sejarah. Aku semakin yakin, bahwa pintu itu adalah portal dimensi sesuatu yang dibicarakan Dia. Aku yakin, benar-benar yakin!
Dari arah belakang, derap langkah cahaya makin kuat berkilat-kilat. Bagai petir yang ingin menyambar. Diikuti dengan suara hembusan angin yang makin memekakkan telinga. Ingin rasanya kuakhiri saja. Namun sungguh sayang. Perjuangan ini tak boleh sia-sia belaka. Biarkan saja tubuh ini terkikis perihnya cahaya kilatan yang berkilat-kilat. Setidaknya, jasadku ini bisa jadi abu. Abu dari saksi bisu perjalananku. Agar terbang bersama angin dan terhirup ke dalam saluran pernapasan manusia di ujung rentetan waktu sana. Lalu, berbaur menjadi satu dalam aliran darah. Hingga pada akhirnya, aku berhasil merangsang seluruh manusia untuk menurut pada tujuan yang belum ku selesaikan.
Semakin lama ku berlari, semakin dekat jarak antara Aku dan sesuatu itu. Dan juga, cahaya kilatan yang makin mengikis tubuhku diikuti tiupan angin dahsyat dari arah belakang. Ah, aku tak boleh menyerah!
Hiyaaa!
Akhirnya, pintu portal itu terbuka. Sebab ku langsung melesak masuk dalam masa cepat yang tak bisa kuperkirakan. Tak ku kira, hembusan angin dari cahaya kilatan malah, turut membantuku untuk mendorong pintu itu. Dalam masa singkat, langsung saja ku tutup pintu itu rapat-rapat. Agar, kilatannya tak berhasil melesak masuk ke dalam.
Fiuhh! Akhirnya terlepas juga dari pengejaran tak berkepanjangan itu. Dari arah luar, kudengar sumpah serapah dari cahaya kilat. Semuanya dirapal secara asal menurut pada emosi yang dirasakan, karena tak berhasil menangkap sasaran. Aku pun terkekeh remeh. Kucoba, mengecek kondisi pintu kembali. Sudah terkunci rapat. Biar tahu rasa!
Kemudian aku membalikkan badan, ingin tahu dimana posisiku berada sekarang. Sebuah portal yang belum terjamah oleh tangan manusia. Dan akulah yang pertama berhasil masuk ke dalam sini. Alam masa mungkin membantu segala skenario ini. Aku turut berterima kasih dalam-dalam. Khususnya untuk diriku sendiri.
Sebuah kemegahan senja kemerahan dari bulatan sinar yang terang benderang di atas dimensi terpampang jelas dalam pandanganku. Selain itu savana pasir putih, samudera biru laut dengan desiran ombak putih membentang luas di dalam dimensi. Tak pernah ku bayangkan, pemandangan semegah ini.
Begitu menakjubkan mata. Aku termenung memandanginya. Betapa ciptaan itu sungguh membuatku mabuk kepayang. Rasa penasaran akan dimensi ini, semakin membuncah dalam diri. Kutinggalkan tepian pintu portal yang sempat kulewati untuk menembus kedalam sini.
Aku pun mulai menjelajahi dimensi tak bernama ini. Sesuatu "harta karun" yang berhasil ku jumpai. Begitu luas, hingga ku tak bisa memperkirakan ujungnya. Tak ada pembeda antar satu tempat dengan tempat lain. Begitu luas hingga, ku tak tahu sedang berada dimana. Kemudian kucoba, berlari ke belakang. Sesuai dengan arah yang tadi sempat kujajaki. Lantas, saat ku menoleh, tapak jejak kaki pada pasir putih disini tak membekas sedikit pun. Walau, agak bingung. Kucoba kembali berjalan melewati jalan yang kurasa sama.Â
Aku berlari terus berlari. Mencari ujung pintu yang sempat kulewati. Semakin lama, semakin terasa mencekat. Pekatnya begitu menyesakkan jiwa. Begitu merenggut relung sukma. Hingga, berada pada titik kekacauan dalam pikiran yang menderu melesak keluar.
Akhirnya, tubuhku terkulai lemas pada hamparan pasir. Terbaring menatap ke atas dimensi. Rasanya sunyi tak berpenghuni. Lambat laun, memori kala dunia waktu yang menjerat mulai terputar dalam benak. Begitu pun pertemuan singkat dengan kekosongan beberapa masa lalu. Air mataku mulai menetes di pelupuk mata. Lalu, kemudian deras bersama rinai hujan yang membasahi pipi.Â
Kenang-kenang yang kukenang, lebih mengenang. Hasrat jiwa lebih hidup pada dimensi waktu. Dan dimensi pegasingan diri beberapa masa lalu. Bukan disini, di tempat yang tak kuketahui. Bukan disini, di tempat yang tak bernama ini. Bukan disini, di tempat keabadian ini. Rasanya, sunyi sepi kian mencekat dalam jiwa. Bingung ingin melakukan apa. Bingung ingin bercerita dan bertukar rasa dengan siapa?
Lalu, kurogoh saku bajuku. Kuambil secarik kertas dan pulpen untuk melampiaskan rasa yang mencekat. Biar kutuliskannya dengan himpunan kata-kata dari awal. Awal perjalanan yang terbilang nekat, yang akhirnya malah mencekat. Awal niat tuk bersenang-senang, malah melipur kenang-kenang.
Walau ku tak tahu, siapa yang nantinya akan menemukan kertas ini? Mungkin akan dikira sebagai kata-kata tak bernyawa. Walau, nantinya mungkin kata-kata ini juga akan jadi sampah. Tapi, niatku bercerita tak akan ku tepiskan. Biar saja, menjadi saksi bisu pada pengembaraan tak berujung yang telah ku jalani.
Pada kata-kata yang tertera secara rancu, biar kuberi pesan pada kertas kusut yang terlipat lumat dalam saku. Pada kata-kata yang mengandung butut, biar kuberi kau perlindungan agar kelak tak menjadi usang yang berkelut. Biar menjadi pesan bagi mereka yang sempat menemukan. Dan mau menghabiskan masa untuk membacamu.
"Egosentris dalam jiwaku sudah dalam penghujung hingga membelenggu pilihan. Pikiran logis yang tadinya jernih dalam otak menjadi kabur. Sebab, tiada sirat arti yang tercerna. Pada kata-kata basi yang kutulis dengan pena biru, jangan biarkan sang tuan lari dari kenyataan. Lari dari jerat waktu, hanya tuk mencari kesenangan. Yang kini, ku tahu, bahwa kesenangan yang abadi itu akan berujung pada kehampaan yang mencekat. Jika tak ada yang bisa diajak untuk bersenang-senang. Dan, hanya bisa dirasakan oleh diri sendiri. Itu hanya kesenangan sementara yang ujung-ujungnya tak memuaskan hati. Demikian kuceritakan pada sekelumit kata-kata yang tak memiliki nyawa! Namun, mampu memberi bekas jejak keberadaan tentang Aku. Aku Si Pengelana Bodoh!"
Kini, jasadku tak tahu sampai kapan akan bertahan. Pada dimensi yang tak berujung dan tak terikat waktu ini. Semuanya kuserahkan pada alam dimensi. Kini, diriku hanya melipur lara kepiluan dalam hati. Mengisi masa yang fana bersama hamparan pasir. Bersama dengan senja oranye bergaris merah pada cakrawala. Turut serta desiran ombak putih yang membisik pilu dalam kesepian. Bersama dengan ini, aku terus hidup terjerat bersama kenang-kenang yang mengenang. Keabadian yang tak berujung dan tak terbatas ini, hanya menjadi malapetaka bagi diriku yang tak miliki kuasa.Â
Ku sudahi sampai di sini!
tayang di penakota.id
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H