Sampai detik ini, aku juga tak tahu lubang itu mengarah ke mana. Sebab, belum tertulis dalam buku sejarah. Konon katanya, mereka tak akan bisa kembali lagi pada dimensi lain. Dan, aku juga tak terlalu peduli. Soalnya, aku sendiri tak suka kegelapan yang hakekat. Ih! Bergidik ngeri, jika membayangkannya.
Dalam perjalananku dengan kekosongan, pikiran rancu kembali menghantui otakku saat menatap kembali rentetan waktu yang tengah berjalan. Sejenak terlintas dalam benakku, akankah rentetan waktu itu berjalan mundur? Setidaknya menganalisis peta yang sudah mereka jajaki.Â
Aku pun mulai membuka percakapan dengan kekosongan. Teman setiaku pada dimensi ini. Lalu, kekosongan dengan terkekeh menjawabku. "Mereka itu orang yang taat dan juga tak miliki hawa nafsu, pikiran dan hati layaknya manusia," begitu katanya. Aku terdiam bingung. Lalu, aku mencoba mengutarakan pertanyaan sensitif pada kekosongan. "Lalu, kalau kamu itu makhluk seperti apa?"
Benar saja dugaanku. Pasti pertanyaan ini terlalu menyudutkan. Dia lama menjawabku. "Kalau kamu tak mampu menjawab, aku tak apa," ujarku padanya. Lalu, kekosongan kembali sumringah. "Sungguh, kau tak mau tahu pasal diriku?" tanyanya dengan nada bercanda. Sontak aku pun merasa tertipu. Atas perihal apa, hingga aku dibodohi oleh sosok tak berakal seperti kekosongan.Â
Aku tersenyum sinis. "Aku juga tak terlalu peduli denganmu tuh!" ujarku. Biar tahu rasa dia. Enak saja, main tipu-tipu begitu. Kekosongan makin meledekku dengan picingan mata yang mencekik. Ahh! Apa sih dia? "Aku ini tipikal manusia yang tak mau peduli, jika pikiran tak ingin meneliti. Terserah, apa maumu!" jawabku lagi.Â
Kekosongan makin tertawa keras. Setelah, ku biarkan ia dengan kebahagiaan anehnya itu. Akhirnya ia kalap juga. Sosok aneh ini ternyata punya humor yang aneh juga. Tak seperti di duniaku.
"Maaf, aku hanya bercanda!" jawabnya. "Jadi, maksudmu aku itu hanya buah senda gurau saja!" ujarku agak ketus. "Kan, aku sudah minta maaf tadi! Masa kamu tidak mau memaafkan?" tanyanya memelas. Lalu, aku pun tersenyum meliriknya. "Aku, juga bercanda! Ha..ha..ha!"Â
Yah, apa sih guyonan kita berdua ini?
"Aku itu bentuk dari kesia-siaan." Kata kekosongan mulai tegas. Aku pun jadi mulai serius, sejak kata pertama itu diucapkan oleh kekosongan.Â
"Kesia-siaan seperti apa yang kau maksud? Apakah kau juga sama dengan waktu yang tak miliki perasaan, akal, dan hawa nafsu?" Kekosongan menggelengkan kepalanya. "Bukan seperti itu," jawabnya. "Lalu apa?" tanyaku mulai penasaran.
Ia terdiam sejenak. "Aku ini hanya omong kosong dari kesia-siaan waktu. Aku ini makhluk yang kurang taat pasal berbaris pada dimensi yang tengah kau jalani!" jawabnya, mulai menghanyutkan emosi. "Aku tahu," ujarku lirih.