Jakarta, 7 Januari 2017
"PTSD?" gumam ibuku tidak percaya.
"Benar, Bu. Kemungkinan putra anda mengidap Post Traumatic Stressed Dissorder."
Ketika itu hujan turun sangat deras dan aku tidak berhenti menangis meraung-raung di kamarku. Aku terus bertanya-tanya di antara isak tangisku mengenai apa yang terjadi padaku. Aku tidak mengerti, setelah aku membaca jurnal itu, perasaan hancur terus membayang-bayangi aku. Aku merasa merindukan sesuatu atau mungkin seseorang. Aku tidak tahu. Aku hanya merasa rindu yang terlalu menyesakkan.
Ibuku mengangguk menanggapi ucapan dokter itu. Bagaimanapun, menurut keterangan ibuku, aku telah kehilangan wanita yang sangat berarti bagiku -- yang tidak aku ingat wajah dan namanya.
Â
Paris, 14 Februari 2017
"Excuse me!" aku mengangkat tangan kananku ke arah seorang pelayan berkemeja putih dan bercelana panjang hitam -- apron berwarna senada terlilit di pinggangnya. "Cappuccino hangat ya."
"That's all, sir?" katanya sambil mencatat cepat-cepat.
"Oui," aku menggangguk.
Aku menyandarkan tubuhku, menatap ke luar jendela yang diguyur oleh hujan yang tidak berhenti sejak pagi. Aku memejamkan mataku -- suara samar hujan dan wangi tanah basah yang dibawa masuk melalui pintu yang sesekali dibuka oleh pengunjung membuat waktu terasa seolah berhenti. Sebuah siluet seorang wanita melintas di benakku ketika aroma cappuccino yang kupesan tadi diletakkan di atas mejaku. Aku membuka mata lalu tersenyum sambil menggumamkan terima kasih. Aku rasa, aku hanya tidak cocok dengan hujan. Setiap kali mendung terlukis di langit, aku terbawa oleh perasaan sendu seketika. Entahlah, mungkin aku hanya laki-laki dramatis.
"Dasar mellow," sebuah suara bernada nyaring melintas di telingaku. Aku tertawa getir lalu menggapai cangkir kopi yang mengepul di mejaku. Aku memejamkan mataku, menikmati aromanya lalu menyesapnya. Rasa manis dan getir dari cappuccino itu, menari di ujung lidahku. Dering dari ponsel yang berada di saku mantelku membuatku meletakkan cangkir kopiku kembali ke atas meja.
"Sedang apa? Bagaimana cuaca di sana?" sebuah pesan singkat dari ibuku.
Aku tertawa kecil, "Aku sedang berada di cafe yang aku tulis di jurnalku. Di sini hujan. Dingin sekali," balasku lalu kembali meletakkan ponselku ke saku. Aku membuang nafas panjang lalu menyandarkan tubuhku sambil menatap ke luar jendela. Sesosok wanita yang berlari-lari kecil dengan raut wajah bahagia menarik perhatianku. Namun sosok itu lenyap begitu saja ketika aku mengedipkan mataku. Aku kembali memejamkan mataku, berusaha menyingkirkan berbagai tanda tanya di benakku.
Aku ingat, beberapa bulan yang lalu aku selalu saja menghentikan langkah kakiku di hadapan sebuah butik kecil yang aku rasa tidak pernah aku kunjungi sebelumnya. Aku bahkan bukan penggemar fashion. Aku juga ingat, aku tidak menghentikan langkahku karena terpesona pada pakaian yang terpajang di etalase toko itu. Aku hanya menatap kosong ke arah tempat itu, "Aku akan membuka butik dan membuat brand pakaianku sendiri," suara wanita yang mengatakan itu dengan nada antusias selalu melintas di benakku. Aku bahkan mulai menangis meraung-raung setiap kali hujan turun dengan sangat deras. Aku bahkan tidak tahu sejak kapan aku jadi lelaki secengeng itu.
"Paris?" gumamku ketika beberapa minggu yang lalu menemukan sebuah jurnal di atas meja di kamarku. Di dalam jurnal itu, aku menuliskan banyak kenangan dengan seorang wanita yang aku cintai yang bahkan tidak aku ingat wajah dan namanya. Banyak kenangan akan Kota Paris di dalam jurnal itu. "Aku bahkan tidak ingat aku pernah ke Paris,"Â gumamku lagi.
"Alex?" aku membuka mataku tiba-tiba ketika sebuah bisikan lembut terdengar dari hadapanku. Tidak ada siapapun di sana. Aku tidak mengerti, apa yang aku cari di tempat itu. Setetes air mata terjatuh di pipiku tanpa tertahankan. Aku tidak tahu mengapa, apakah Paris atau hujan yang mengguyur malam itu sementara aku duduk seorang diri di negeri asing tanpa merasa terasing ataukah secangkir cappuccino yang terasa pahit dan manis. Aku hanya merasa teramat rindu tanpa tahu kemana atau kepada siapa rindu itu tertuju.
Ah aku ingat.
Ketika itu, ibuku berkata, "Calon istrinya yang bersekolah di Perancis meninggal dalam kecelakaan pesawat ketika menuju ke Jakarta."
Calon istri yang tidak kuingat nama maupun wajahnya. Hanya saja, aku tetap merasa rindu dan sendu.
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H