Mohon tunggu...
Maria Kalista
Maria Kalista Mohon Tunggu... Administrasi - Seorang Amatir di Dunia Kepenulisan

Lahir dan tumbuh dewasa di Bekasi. Kini saya adalah seorang karyawan di perusahaan swasta dan menulis untuk menyalurkan kepenatan.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Secangkir Kopi Bersama Rindu

25 Februari 2017   15:24 Diperbarui: 1 April 2017   08:48 734
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

"Dasar mellow," sebuah suara bernada nyaring melintas di telingaku. Aku tertawa getir lalu menggapai cangkir kopi yang mengepul di mejaku. Aku memejamkan mataku, menikmati aromanya lalu menyesapnya. Rasa manis dan getir dari cappuccino itu, menari di ujung lidahku. Dering dari ponsel yang berada di saku mantelku membuatku meletakkan cangkir kopiku kembali ke atas meja.

"Sedang apa? Bagaimana cuaca di sana?" sebuah pesan singkat dari ibuku.

Aku tertawa kecil, "Aku sedang berada di cafe yang aku tulis di jurnalku. Di sini hujan. Dingin sekali," balasku lalu kembali meletakkan ponselku ke saku. Aku membuang nafas panjang lalu menyandarkan tubuhku sambil menatap ke luar jendela. Sesosok wanita yang berlari-lari kecil dengan raut wajah bahagia menarik perhatianku. Namun sosok itu lenyap begitu saja ketika aku mengedipkan mataku. Aku kembali memejamkan mataku, berusaha menyingkirkan berbagai tanda tanya di benakku.

Aku ingat, beberapa bulan yang lalu aku selalu saja menghentikan langkah kakiku di hadapan sebuah butik kecil yang aku rasa tidak pernah aku kunjungi sebelumnya. Aku bahkan bukan penggemar fashion. Aku juga ingat, aku tidak menghentikan langkahku karena terpesona pada pakaian yang terpajang di etalase toko itu. Aku hanya menatap kosong ke arah tempat itu, "Aku akan membuka butik dan membuat brand pakaianku sendiri," suara wanita yang mengatakan itu dengan nada antusias selalu melintas di benakku. Aku bahkan mulai menangis meraung-raung setiap kali hujan turun dengan sangat deras. Aku bahkan tidak tahu sejak kapan aku jadi lelaki secengeng itu.

"Paris?" gumamku ketika beberapa minggu yang lalu menemukan sebuah jurnal di atas meja di kamarku. Di dalam jurnal itu, aku menuliskan banyak kenangan dengan seorang wanita yang aku cintai yang bahkan tidak aku ingat wajah dan namanya. Banyak kenangan akan Kota Paris di dalam jurnal itu. "Aku bahkan tidak ingat aku pernah ke Paris," gumamku lagi.

"Alex?" aku membuka mataku tiba-tiba ketika sebuah bisikan lembut terdengar dari hadapanku. Tidak ada siapapun di sana. Aku tidak mengerti, apa yang aku cari di tempat itu. Setetes air mata terjatuh di pipiku tanpa tertahankan. Aku tidak tahu mengapa, apakah Paris atau hujan yang mengguyur malam itu sementara aku duduk seorang diri di negeri asing tanpa merasa terasing ataukah secangkir cappuccino yang terasa pahit dan manis. Aku hanya merasa teramat rindu tanpa tahu kemana atau kepada siapa rindu itu tertuju.

Ah aku ingat.

Ketika itu, ibuku berkata, "Calon istrinya yang bersekolah di Perancis meninggal dalam kecelakaan pesawat ketika menuju ke Jakarta."

Calon istri yang tidak kuingat nama maupun wajahnya. Hanya saja, aku tetap merasa rindu dan sendu.

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun