Hujan yang mulai turun baru-baru ini membuat saya merasa galau. Terlebih ketika banyak foto tempat wisata yang dikunjungi teman-teman saya melintas di sosial media. "Kurang Piknik," gumam saya sambil membuang nafas panjang. Tiba-tiba saya teringat akan satu-satunya tempat wisata luar kota yang pernah saya datangi dalam beberapa tahun ini, Gunung Puntang. Saya teringat perjalanan panjang yang saya lalui menuju ke tempat itu pada tanggal 5 Mei 2016 lalu.Â
"Pak. Bapak kan orang Bandung. Tau jalan ke Gunung Puntang enggak? Saya mau ke sana pakai mobil pribadi nih," tanya saya suatu hari kepada supervisor di tempat saya bekerja sebelumnya.
"Gunung Puntang? Emang ada ya? Bandung mana itu?"Â mendengar jawaban seperti itu saya melongo. Saya lantas segera mengetik pesan singkat yang akan saya kirim kepada ayah saya yang tinggal di sana sejak beberapa bulan sebelumnya, "Be, kata temen aku masa enggak tau Gunung Puntang. Emang pedalaman banget ya? Bandung daerah mana sih? Trus kalo aku mau ke sana arahnya ke mana donk?"
"Bandung Selatan, mbak. Kalo orang Bandung Kota mah jarang ada yang tau. Kamu cari aja dulu jalan ke Banjaran."
Benar saja, tempat tujuan saya itu memang tergolong padalaman. Selain akibat kepadatan tol yang membuat frustasi lantaran tanggal tersebut tergolong pada masa long weekend, untuk menjangkaunya saja butuh perjalanan yang sangat panjang. Kira-kira lebih dari 140 km dari Bekasi jaraknya. Saya dan teman istimewa yang ingin saya kenalkan kepada ayah saya, yang berangkat sekitar pukul 10.00 pagi hari itu memilih untuk memasuki tol Grand Wisata lantaran terkendala jalan non tol yang cukup padat hari itu. Perjalanan panjang itu membuat kami memutuskan untuk berhenti di salah satu rest area ketika kami sudah cukup dekat dengan kota tujuan kami sementara saya menelepon ayah saya untuk menunjukan jalan kepada kami.
Berdasarkan petunjuk ayah saya, kami keluar di pintu tol Kopo kemudian berbelok menyusuri Jl. Soekarno Hatta hingga sampai pada persimpangan Jl. Mohammad Toha dan lagi, mobil yang teman saya kendarai itu berbelok ke kanan hingga kami tiba di daerah Dayeuh Kolot lalu masuk ke sebuah SPBU untuk mengisi bahan bakar dan menanyakan arah.
"Oh, Banjaran mah masih lurus lagi. Mentok nanti ujang belok kanan. Nah, itu teh udah daerah terminal Banjaran,"Â jawab petugas SPBU dengan logat Sundanya yang khas. Sesuai petunjuk petugas SPBU tersebut kami menyusuri jalan yang panjang itu untuk menemukan ujungnya. Di luar dugaan, jalan "lurus" itu masih sangat panjang dari SPBU tersebut. Ketika mobil kami sudah menemukan ujung jalan tersebut dan berbelok kanan, kami langsung disambut dengan jalan padat di sekitar terminal Banjaran tersebut.
Saya kembali menelepon ayah saya, "Be, aku udah di daerah terminal Banjaran nih."
"Lurus aja terus sampe ketemu pertigaan itu ada tugu. Trus kamu belok kiri terus sampe pertigaan Cimaung."
Saya kemudian menatap pria di balik kemudi di samping saya dan mengarahkannya ke tugu tersebut untuk kemudian belok ke kiri, "Masih jauh, dek?" komentarnya.
"Katanya sih enggak. Pokoknya lurus aja sampe ketemu papan arah Cimaung."
Jika dibandingkan dengan perjalanan dari Dayeuh Kolot ke Banjaran, Banjaran-Cimaung memang tidak terlalu jauh. Namun tetap saja cukup panjang. Udara yang dingin mulai menerpa wajah kami melalui jendela mobil yang sedang dibuka. Langit yang semakin gelap karena matahari yang mulai tenggelam membuat jarak pandang kami semakin pendek.
"Mas, depan belok kiri tuh. Itu papannya ke Cimaung," kataku antusias.
"Trus kemana lagi?" tanyanya setelah belok dan menemui jalan menanjak dan meminggirkan mobilnya di depan halaman sekolah yang sudah pasti gelap.
Saya kembali menelepon ayah saya dan berdasarkan petunjuknya, perjalanan kami sudah dekat. Kami hanya perlu menyusuri jalan menanjak itu hingga ke paling atas karena ayah saya tinggal tidak jauh dari tempat wisata Gunung Puntang itu. Jalan yang menanjak dan minim penerangan itu hanyalah sebuah jalan kecil yang hanya muat dilalui dua mobil yang harus berdempetan. Jalan yang berkelok-kelok itu membuat perjalanan yang katanya sudah dekat itu menjadi panjang. Masih banyak sawah di sana. Rumah satu dengan yang lainnya pun tidak berhimpitan seperti di Bekasi. Tempat itu cukup sunyi seiring dengan langit yang semakin gelap hingga tibalah kami di hadapan sebuah villa tempat ayah saya menunggu.
Tidak, villa itu bukan milik ayah saya melainkan milik teman ayah saya. Ayah saya hanya seorang petani kopi yang gubuknya tidak jauh dari villa itu sehingga kami diperbolehkan menitipkan mobil kami malam itu di sana sementara kami melanjutkan perjalanan kami dengan berjalan kaki sedikit lebih ke atas lagi sambil menggendong tas kami. Lalu setibanya kami di gubuk ayah saya yang terbuat dari bambu dan anyaman, kami disuguhkan kopi yang telah diracik sendiri dari dipetik hingga menjadi bubuk kopi. Kopi itu terasa asam, tidak seperti kopi hitam kemasan yang dijual di pasaran.
Pagi hari, kami disambut dengan udara yang masih sama dinginnya dengan malam sebelumnya hanya saja ketika kami duduk di luar untuk makan, cahaya matahari membantu menghangatkan kami. Isteri ayah saya (baca: Ibu Sambung) kemudian menawarkan diri untuk menjadi tour guide kami hingga ke pintu masuk Tempat Wisata Gunung Puntang. Kami tidak lantas menuju ke tempat wisata tujuan kami pagi itu, melainkan diajak untuk berolahraga dengan menyusuri undakan tanah menuju kebun kopi yang letaknya lebih ke atas lagi daripada tempat tinggal ayah saya.
Namun ternyata kebun kopi yang ada di hadapan kami tidak seperti yang ada di benak saya selama ini. Saya selalu membayangkan jika sebuah kebun kopi yang akan kami datangi seperti kebun teh yang menghampar di pegunungan namun kenyataannya, kebun kopi di daerah itu berada di antara hutan pinus yang dilindungi pemerintah. Kebun kopi milik masyarakat sekitar yang merupakan salah satu sumber penghasilan ternyata bukan berada di tanah pribadi melainkan tanah pinjaman.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H