Jika dibandingkan dengan perjalanan dari Dayeuh Kolot ke Banjaran, Banjaran-Cimaung memang tidak terlalu jauh. Namun tetap saja cukup panjang. Udara yang dingin mulai menerpa wajah kami melalui jendela mobil yang sedang dibuka. Langit yang semakin gelap karena matahari yang mulai tenggelam membuat jarak pandang kami semakin pendek.
"Mas, depan belok kiri tuh. Itu papannya ke Cimaung," kataku antusias.
"Trus kemana lagi?" tanyanya setelah belok dan menemui jalan menanjak dan meminggirkan mobilnya di depan halaman sekolah yang sudah pasti gelap.
Saya kembali menelepon ayah saya dan berdasarkan petunjuknya, perjalanan kami sudah dekat. Kami hanya perlu menyusuri jalan menanjak itu hingga ke paling atas karena ayah saya tinggal tidak jauh dari tempat wisata Gunung Puntang itu. Jalan yang menanjak dan minim penerangan itu hanyalah sebuah jalan kecil yang hanya muat dilalui dua mobil yang harus berdempetan. Jalan yang berkelok-kelok itu membuat perjalanan yang katanya sudah dekat itu menjadi panjang. Masih banyak sawah di sana. Rumah satu dengan yang lainnya pun tidak berhimpitan seperti di Bekasi. Tempat itu cukup sunyi seiring dengan langit yang semakin gelap hingga tibalah kami di hadapan sebuah villa tempat ayah saya menunggu.
Tidak, villa itu bukan milik ayah saya melainkan milik teman ayah saya. Ayah saya hanya seorang petani kopi yang gubuknya tidak jauh dari villa itu sehingga kami diperbolehkan menitipkan mobil kami malam itu di sana sementara kami melanjutkan perjalanan kami dengan berjalan kaki sedikit lebih ke atas lagi sambil menggendong tas kami. Lalu setibanya kami di gubuk ayah saya yang terbuat dari bambu dan anyaman, kami disuguhkan kopi yang telah diracik sendiri dari dipetik hingga menjadi bubuk kopi. Kopi itu terasa asam, tidak seperti kopi hitam kemasan yang dijual di pasaran.
Pagi hari, kami disambut dengan udara yang masih sama dinginnya dengan malam sebelumnya hanya saja ketika kami duduk di luar untuk makan, cahaya matahari membantu menghangatkan kami. Isteri ayah saya (baca: Ibu Sambung) kemudian menawarkan diri untuk menjadi tour guide kami hingga ke pintu masuk Tempat Wisata Gunung Puntang. Kami tidak lantas menuju ke tempat wisata tujuan kami pagi itu, melainkan diajak untuk berolahraga dengan menyusuri undakan tanah menuju kebun kopi yang letaknya lebih ke atas lagi daripada tempat tinggal ayah saya.
Namun ternyata kebun kopi yang ada di hadapan kami tidak seperti yang ada di benak saya selama ini. Saya selalu membayangkan jika sebuah kebun kopi yang akan kami datangi seperti kebun teh yang menghampar di pegunungan namun kenyataannya, kebun kopi di daerah itu berada di antara hutan pinus yang dilindungi pemerintah. Kebun kopi milik masyarakat sekitar yang merupakan salah satu sumber penghasilan ternyata bukan berada di tanah pribadi melainkan tanah pinjaman.