Masih ingat dengan video 15 Camat di Makassar yang diduga mengkampanyekan Jokowi pada masa pilpres? Kini ke 15 orang ASN dalam video itu harus rela dicopot dari jabatan terakhir mereka sebagai Sekcam, satu orang Camat dan dua orang Kabid.
Sebenarnya, sebelumnya, para mantan camat itu diputus tidak bersalah oleh Bawaslu Sulsel. Alasannya, bahwa adegan di video berdurasi 1 menit 27 detik yang sempat viral itu, dinilai tidak cukup untuk menjerat ke 15 orang itu dalam kasus pidana pemilihan umum, sehingga penyelidikan kasus itu dihentikan.
Sayangnya, pasca ke 15 orang itu diproses oleh KASN atas dugaan pelanggaran kode etik ASN, Kemendagri akhirnya mengeluarkan rekomendasi sanksi pelanggaran disiplin berat kepada ke 15 orang tersebut.
Pemkot Makassar pun kemudian menindaklanjuti rekomendasi Kemendagri No.806/6012/OTDA dengan memberikan sanksi pembebasan dari jabatan. Jadilah 13 orang kini "diparkir" di BKPSDM sebagai staf biasa. Dua orang kabid masih menunggu rekomendasi dari Kadis masing-masing.
Putusan Bawaslu dan KASN/Kemendagri berada diranah berbeda. Domain Bawaslu atau Sentra Gakkumdu adalah memeriksa potensi pelanggaran pidana pemilu seperti yang diatur pada pasal 280 Undang-undang Nomor 7 Tentang Pemilihan Umum.
Bawaslu menilai ke 15 pejabat itu tidak melakukan pelangggaran sehubungan dengan pemilu. Namun, Bawaslu merekomendasikan ke 15 Camat saat itu ke KASN, karena menduga mereka melanggar kode etik ASN. Lalu bawaslu mengeluarkan surat rekomendasi dengan Nomor 0059/SN/PM.00/03/2019 tanggal 11 Maret 2019. Rekomendasi itu kemudian menjadi salah satu dasar bagi KASN untuk memproses kasus ini.
Sedangkan domain KASN dan Kemendagri adalah soal etik ASN yang diatur di ketentuan Pasal 4 angka 11 Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010 Tentang Disiplin PNS.
Putusan lengkap KASN: https://www.kasn.go.id/details/item/458-melanggar-netralitas-15-camat-makassar-disanksi-disiplin-berat
Dengan keluarnya rekomendasi Dirjen Otonomi Daerah (Otda) itu kemudian dapat disimpulkan bahwa ke 15 ASN itu terbukti melanggar kode etik, karena tidak netral dalam momentum politik. Mereka ikut serta mengkampanyekan salah satu calon di Pilpres yang terlarang buat ASN.
Sebenarnya fenomena ketidaknetralan ASN dalam proses elektoral bukanlah hal yang baru. Di masa Orde Baru praktik itu sangat massif terjadi. Kita dapat jumpai secara telanjang mata, bagaimana ASN di masa itu dijadikan kekuatan politik untuk mempertahankan status quo penguasa.
Yang jadi soal adalah pasca reformasi hal tersebut masih belum bisa tinggalkan oleh pejabat di institusi pelayanan publik. Insitusi pemerintahan yang seharusnya profesional dalam bekerja untuk melayani rakyat, malah terjerembab dalam pusaran kepentingan penguasa.
Apa yang dilakukan oleh ke 15 orang mantan camat itu salah satu bukti bagaimana hasrat kepentingan politik para politisi  harus mengorbankan  para pelayan masyarakat. Mereka secara sukarela atau terpaksa bekerja untuk memenuhi hasrat dan posisi politik penguasa.
Alhasil, tidak sedikit pejabat publik mendapatkan sanksi baik yang ringan hingga berat, hanya karena berupaya melayani kepentingan politik atasannya. Padahal ASN yang telah mendapatkan sanksi akan berpengaruh pada jenjang karir. Baik dari segi kepangkatan dan jabatan.
Tentu, ini juga akan berimplikasi buruk pada citra insitusi birokrasi. Para pelayan publik yang seharusnya bebas dari kepentingan politik apapun, malah dijadikan mesin politik di masa pemilihan.
Belum lagi seabrek masalah kualitas pelayanan publik yang tak kunjung selesai. Pengurusan berbelit-belit, suap dan gratifikasi dalam proses pengurusan izin, serta kelambanan dalam pelayanan menjadi masalah yang tak kunjung dapat diperbaiki.
Semoga saja program reformasi birokrasi yang kini sudah jadi nama salah satu kementrian dapat memunculkan hasil, sehingga kejadian seperti tidak lagi kita dapatkan di masa depan.
Idealnya, bagaimanapun kondisi politik disuatu wilayah, para ASN harusnya tidak terpengaruh, atau malah jadi "tim sukses" untuk melanggengkan hasrat berkuasa penguasa. Sebab tugas utama mereka adalah pelayanan publik, bukan melayani atasan.
Tapi apa hendak dikata, praktik itu masih ada dan mungkin saja akan terus terjadi. Apalagi, menjelang Pilkada serentak pada tahun 2020 mendatang ini.
Situasi ini tentunya harus dirubah. Tidak bisa dilanggengkan, karena situasi ini sangat buruk bagi upaya pemerintah mengarah pada tata kelolah pemerintahan yang baik atau good governance. Kementrian yang bertugas membina ASN harus menjaga marwah ASN agar tidak lagi dimanfaatkan oleh penguasa untuk mensukseskan hasrat kekuasaan.
Pemimpin bisa silih berganti, tapi tugas aparatur birokrasi dalam melayani masyarakat tidak pernah berubah.
Pandangan Praktisi Hukum
Praktisi Hukum, Ahmad Rianto mengatakan, keputusan membebastugaskan ke-15 mantan camat dari jabatannya terakhirnya pasca dkembalikan jadi sekcam, camat dan kabid di bulan November ini adalah keputusan yang terlambat.
Seharusnya kata dia, rekomendasi  KASN  yang dikeluarkan pada 8 Agustus, dieksekusi paling lambat 14 hari pasca keluarnya rekomendasi tersebut.
"Pemberian sanksi itu hanya berlaku 14 hari setelah dikeluarkan rekomendasi, ini sudah bulan November. Ini entah alasan atau dalih apalagi yang akan terjadi," ujarnya pada diskusi di Kantor Inikata.com, Kamis (22/11).
"Saya kira itu keliru besar, kalau itu jadikan dasar oleh KASN untuk menetapkan sanksi itu. Sehingga menurut kami, ini adalah produk politik yang jauh dari kaidah-kaidah dan prinsip administasi pemerintahan yang baik," jelasnya. Â (**)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H