"Kebahagiaan tidak selalu berada pada orang yang hidupnya penuh dengan kemudahan tanpa masalah, tetapi justru kebahagiaan seringkali dirasakan oleh orang yang selalu berhasil dalam mengatasi berbagai persoalan hidup". Itulah pandangan Prof. William James (1842-1910), Â tokoh pragmatisme yang telah memberi kontribusi besar pada pemikiran filsafat dunia Barat.
Menurut William, orang yang mempunyai banyak persoalan hidup tetapi ia selalu dapat mengatasinya itulah orang yang senantiasa bahagia. Sedangkan orang yang tidak pernah mempunyai persoalan hidup, yang perjalanan hidupnya adem ayem dan mulus-mulus saja, maka dia tak akan merasakan kebahagiaan. Ia hanya merasakan kehidupan yang datar, hambar, tidak dinamis dan menjemukan. Sebuah kehidupan yang "tidak hidup".
Prof. William, penulis buku Pragmatism (1907) dan TheMeaning of Truth (1909) itu menambahkan bahwa kebahagiaan itu dibangun oleh pikiran, "Engkau bukanlah yang engkau kira, tetapi apa yang engkau pikirkan.Â
Kalau engkau memikirkan kebahagiaan, engkau akan bahagia. Kalau engkau berpikiran sedih, engkau menjadi sedih. Dan kalau engkau berpikiran takut, engkau akan menjadi takut".Â
Pendapat  itu senada dengan pandangan DR. Dale Carnegie, pakar psikologi dan motivator terkemuka di AS : "Hidup kita dibentuk oleh pikiran kita. Orang tidak terlalu terluka oleh apa yang terjadi, tetapi oleh pendapatnya (pikirannya) tentang apa yang terjadi".  Meski kehidupan seseorang nampak berat, tetapi jika ia berpikiran senang maka ia akan merasa bahagia.
Kebahagiaan dari Sikap Hati
Kekayaan, ketenaran, kecantikan dan kekuasaan bukan jaminan untuk memperoleh kebahagiaan. Â Buktinya, Adolf Merckle, orang terkaya dari Jerman mengakhiri hidup dengan cara menabrakkan tubuhnya ke kereta api. Michael Jackson, penyanyi terkenal dunia dari USA tewas setelah meminum obat penenang hingga overdosis. Â
Marilyn Monroe, artis cantik dari USA  juga  tewas akibat kebanyakan mengkonsumsi obat anti depresi.  Demikian pula Getulio Vargas, presiden Brazil yang begitu berkuasa bunuh diri dengan cara menembakan pistol ke jantungnya.
Ternyata bahagia atau tidaknya hidup seseorang itu, bukan ditentukan oleh seberapa kayanya, populernya, cantiknya, kuasanya, atau se-sukses apapun hidupnya. Â
Tapi yang bisa membuat seseorang itu bahagia adalah sikap hati orang itu sendiri.
Alkisah... Ada seorang Raja yang begitu berkuasa tengah termenung memikirkan hidupnya sambil memandang taman di depan istananya. Â Ia sering gelisah karena sulit menemukan ketenangan dan susah merasakan kebahagiaan. Ia susah tidur akibat banyaknya pikiran yang mengganggu. Padahal selama ini ia tidur di kamar mewah di atas kasur yang empuk.
Ketika sedang melamun, sang raja melihat seorang tukang kebunnya yang sedang bekerja sambil bernyanyi dan tertawa ria. Setiap hari ia datang dengan senyuman dan pulang dengan keceriaan.Â
Padahal gajinya pas-pasan dan rumahnya begitu sederhana. Tak pernah tampak kesedihan di wajahnya. Â Saat dia pulang keluarganya telah menunggu dengan hidangan makan seadanya dan keluarga kecil ini pun makan dengan bahagia.
Raja pun heran melihat orang ini. Ia memanggil penasihatnya dan bertanya, "Telah lama aku hidup di tengah kegelisahan, padahal aku memiliki segalanya. Tapi aku sungguh heran melihat si tukang kebun itu. Tak pernah tampak kesedihan di wajahnya. Kadang-kadang ia tertidur di bawah pohon, seperti tak ada beban dalam hidupnya. Padahal ia tidak memiliki apa-apa."
Sang penasehat memberi penjelasan, "Padukan raja, tukang kebun bisa hidup bahagia seperti itu karena ia mensyukuri apa yang telah ia peroleh. Ia ikhlas dengan keadaan yang telah ditakdirkan. Â Ia tidak berusaha mencari sesuatu di luar mimpinya"
Letak kebahagiaanÂ
Kalau kebahagiaan bisa dibeli, tentu orang-orang kaya akan membeli kebahagiaan itu dan orang miskin akan sulit mendapatkannya karena sudah diborong oleh mereka yang kaya. Â Dan kalau kebahagiaan itu ada di suatu tempat, pasti belahan lain di bumi ini akan kosong, karena semua orang akan ke sana untuk memdapatkan hidup bahagia. Â Untungnya kebahagiaan itu berada di dalam hati setiap manusia, sehingga kita tidak perlu membeli atau bersusah payah pergi mencari kebahagiaan itu.
Ungkapan bijak mengatakan, "Jika engkau ingin mencari kebahagiaan maka kebahagiaan itu ada di luar. Namun jika engkau ingin merasakan kebahagiaan maka kebahagiaan itu ada di dalam." Â Orang-orang berada di tempat-tempat hiburan malam, diskotik, berdansa ria seraya mengkonsumsi narkoba, sesungguhnya ia adalah orang yang sedang mencari kebahagiaan. Karena hidupnya yang tidak bahagia, maka ia mencari kebahagiaan di luar. Â Sedangkan orang yang menikmati teh hangat dan kue ringan bersama keluarga sambil bercanda ria, itulah orang yang bahagia. Mereka sedang merasakan kebahagiaan yang ada pada diri mereka.
Nabi Muhammad bersabda, "Hendaklah engkau berbahagia bila mempunyai hati yang bersyukur, lidah yang berzikir, dan istri (suami) yang membantunya dalam urusan akhirat" (HR. Ahmad, Tirmidzi dan Ibnu Majah).
Di sisi lain, Nabi Muhammad juga menyampaikan bahwa ada 4 hal yang membuat hidup seseorang bahagia, yaitu (1) istri yang salihah, (2) anak-anak yang menyenangkan, (3) lingkungan (sahabat-sahabat) yang baik, serta (4) mempunyai penghidupan yang diusahakan di negeri sendiri. (HR Dailami).
Memberi Itu Membahagiakan
Dikisahkan ada seorang gadis mengontrak rumah bersebelahan dengan rumah seorang ibu miskin dengan 2 anak. Â Pada satu malam tiba-tiba listrik padam, dan lampu peneranganpun mati. Dengan bantuan cahaya HP dia ke dapur mau mengambil lilin. Â Tiba-tiba ada yang mengetuk pintu. Ternyata anak miskin sebelah rumah.
Anak itu bertanya : "Kakak, punya lilin ?" Gadis itu berpikir: Jangan pinjamkan nanti jadi kebiasaan. Â Maka si gadis menjawab , "Tidak Ada!!".
Saat itulah si anak miskin berkata riang: "Saya sudah duga kakak tidak punya lilin, Ini ada 2 lilin untuk kakak. Kami khawatir karena kakak tinggal sendiri dan tidak punya lilin."
Hati anak miskin itu sangat bahagia. Sementara gadis itu merasa sangat bersalah, dalam linangan airmata, dia memeluk anak kecil itu erat-erat.
Sesungguhnya hakekat "orang kaya" adalah orang yang selalu merasa cukup, sehingga dia terus berbagi. Sedangkan "orang miskin" Â adalah orang yang selalu merasa kurang, sehingga dia terus mencari.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H