Mohon tunggu...
De Kalimana
De Kalimana Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Lima Akar Permasalahan Bangsa

11 Februari 2018   10:56 Diperbarui: 2 Oktober 2018   14:22 13433
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Berdasarkan survei lembaga keuangan Swiss, Credit Suisse, 10 persen orang kaya menguasai sekitar 77 persen dari seluruh kekayaan aset dan keuangan di negara ini. Kalau dipersempit lagi, 1 persen orang terkaya di Indonesia menguasai 49,3 persen kekayaan nasional .  Bisa dibayangkan,  segelintir (1 persen) orang terkaya di Indonesia menghimpun separuh total aset negara ini.

3. Pemberantasan Korupsi yang tidak serius

Kasus korupsi di negeri kita terus terjadi dan bahkan bertambah dari tahun ke tahun, seolah para pelaku tidak ada jeranya. Padahal korupsi bukan sekedar merugikan Negara secara ekonomi, tetapi lebih parah lagi yaitu merusak tatanan berbangsa dan bernegara. Melihat kenyataan ini pemerintah dinilai tidak serius dalam memberantas korupsi. Meski memperkuat KPK, upaya itu dipandang tidak akan bisa optimal.

Sejauh ini KPK hanya berhasil menangkap tidak lebih dari 5 % pelaku korupsi, selebihnya dengan modus yang tidak dijangkau KPK mereka berhasil menikmati hasil korupsi. Buktinya, begitu banyak pejabat negara dan pegawai negeri kita yang mempunyai rekening gendut alias harta kekayaannya tidak sebanding dengan kemungkinan penghasilan dari jabatannya.

Kalau mau serius memberantas korupsi, semetinya negeri ini memberlakukan Asas Pembuktian Terbalik (Burden Shifting of Proof Principle) seperti yang telah dilakukan oleh Malaysia, Singapura dan Hongkong.  Sistem pembuktian terbalik dinilai sangat efektif mencegah korupsi, karena beban pembuktian tidak lagi berada pada aparat pengak hukum, tetapi beban pembuktian dibebankan kepada terlapor dalam hal ini para pejabat yang dilaporkan oleh masyarakat kepada aparat penegak hukum bahwa ia diduga telah melakukan tindak pidana korupsi.

Malaysia telah memberlakukan Sistem Pembuktian Terbalik terhadap semua pejabat negara dan pegawai negeri yang dicurigai harta kekayaannya jauh melampoi kemungkinan penghasilan dari jabatannya. Meski Lembaga Anti Rasuah (KPK Malaysia) tidak pernah terdengar melakukan OTT (operasi tangkap tangan) terhadap terduga korupsi, namun negeri ini terbilang sukses menekan kejahan korupsi.   Menurut survei Lembaga Transparency International (TI)  tingkat  indeks persepsi korupsi Malaysia naik ke peringkat 49, jauh lebih baik ketimbang Indonesia yang berada di peringkat 90 dunia.

4. Kesalahan Sistem Pendidikan

Hasil survei yang dilakukan oleh  United Nations Development Programme(UNDP) bahwa  Indeks Pembangunan Manusia  (IPM) Indonesia masuk kategori sangat rendah di dunia, berada di peringkat 113 dari 188 negara di dunia, dengan nilai sebesar 0,689. IPM merupakan indikator penting untuk mengukur keberhasilan sebuah negara dalam upaya membangun kualitas hidup manusia.

Menurut Munif Chatib, seorang praktisi pendidikan humanis, bahwa rendahnya kualitas hidup bangsa Indonesia disebabkan karena "kesalahan" sistem pendidikan kita. Pola dan metode pendidikan yang tidak tepat, ditambah dengan kurikulum padat dan melelahkan menjadikan pelajar kita seperti robot. Kurikulum kita berorientasi pada kemampuan kognitif dan  mengabaikan kemampuan afektif maupun psikomotoris. Padahal negara2 maju telah menerapkan pola Multiple Intelligence (kecerdaan majemuk), yang lebih berorientasi pada aspek afektif dan psikomotoris. Salah satu contoh adalah Finlandia, sistem pendidikannya dinilai terbaik di dunia.

Sejak dari dulu (meskipun kurikulum sering berganti-ganti seiring dengan pergantian kebijakan menteri pendidikan), kurikulum pendidikan di Indonesia selalu berorientasi pada aspek kognitif (kemampuan berfikir dan mengingat), dengan mengecilkan aspek afektif (sikap mental, moralitas, dan nilai), dan aspek psikomotoris (ketrampilan, karya, produktifitas, dsb). Hal ini berbeda dengan sistem pendidikan di negara-negara maju yang titik berat kurikulumnya justru pada aspek afektif dan psikomotorik, bukan aspek kognitif.

Sistem pendidikan di Indonesia memaksa siswa belajar sesuai kurikulum yang begitu padat dan melelahkan,  sehingga menjadikan pelajar kita seperti robot. Padahal pelajar adalah manusia dengan potensi yang berbeda satu sama lain. Masing-masing mempunyai kelebihan di satu sisi, dan kekurangan di sisi yang lain.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun