Mohon tunggu...
De Kalimana
De Kalimana Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Lima Akar Permasalahan Bangsa

11 Februari 2018   10:56 Diperbarui: 2 Oktober 2018   14:22 13433
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Berbagai permasalahan tengah melanda masyarakat bangsa ini, mulai dari pengangguran, kriminalitas, korupsi, prostitusi, perdagangan anak, genk motor,  penggusuran, narkoba, konflik horisontal,  terorisme, hingga bencana banjir dan longsor.

Para pakar dan ahli telah banyak mengupas masalah itu dengan sudut pandang yang beragam.  Hemat penulis, berbagai persoalan yang dihadapi oleh bangsa saat ini disebabkan oleh lima permasalahan yang menjadi akar pokok penyebab. 

Akar permasalahan tersebut harus segera dicarikan solusi oleh segenap komponen bangsa, agar tidak merembet pada berbagai permasalahan lain yang akan semakin sulit diatasi.  

Kelima akar permasalahan itu adalah sistem demokrasi, kesenjangan sosial, pemberantasan korupsi, sistem pendidikan dan pertumbuhan penduduk. 

1. Demokrasi berjalan sangat liberal

Demokrasi kita berjalan sangat liberal dan tidak terarah untuk kepentingan masyarakat luas.  Sistem pemilihan secara langsung oleh rakyat cenderung menghasilkan wakil rakyat (parlemen) dan pemimpin pemerintahan  yang terpilih karena popularitasnya, bukan kompetensi dan kridibilitasnya.

Hasilnya, para anggota parlemen lebih sibuk mengurus kepentingan partai dan pribadi daripada kepentingan masyarakat luas. Banyak undang-undang yang diperlukan, diperbaiki atau diganti tidak mendapatkan prioritas pembahasan dan perhatian yang serius. Parlemen bergerak hanya sekedarnya atau setelah ada desakan yang kuat dari masyarakat melalui unjuk rasa dan opini yang berkembang di media massa.

Selain itu, hanya sedikit Kepala Daerah yang benar-benar bekerja untuk rakyat dan memajukan daerahnya, selebihnya hanya memikirkan pribadi dan golongannya. Bahkan sudah demikian banyak Kepala Daerah yang tersangkut masalah hukum khususnya kasus korupsi. Menurut data ICW, sejak KPK didirikan tahun 2003 hingga saat ini sudah 392 Kepala Daerah (dari 549 Prov/Kab/Kodya) telah menjadi terpidana dan terdakwa kasus korupsi.

2. Ketidakadilan dan kesenjangan sosial yang semakin tajam

Pembagian hasil pembangunan tidak dirasakan oleh sebagian besar masyarakat, tapi lebih banyak oleh sekelompok elit tertentu. Pembangunan infrastruktur lebih banyak dinikmati oleh masyarakat kelas menengah keatas, sementara masyarakat bawah sebagai penonton pembangunan. Akibatnya timbul ketimpangan ekonomi dan kesenjangan sosial. Orang kaya semakin kaya, sementara orang miskin semakin sulit mendapatkan kehidupan yang layak.

Ketimpangan kekayaan antara orang kaya dan miskin di Indonesia termasuk paling buruk di dunia. Bank Dunia mencatat, tingkat ketimpangan kesejahteraan hidup orang Indonesia semakin tinggi dalam 15 tahun terakhir. Laju tingkat ketimpangannya pun paling cepat di antara negara-negara di kawasan Asia Timur.  Melebarnya ketimpangan kesejahteraan tecermin dari terpusatnya akumulasi kekayaan pada minoritas penduduk Indonesia. Kondisi ini bisa menimbulkan dampak negatif berupa perlambatan pertumbuhan ekonomi dan potensi konflik sosial.

Berdasarkan survei lembaga keuangan Swiss, Credit Suisse, 10 persen orang kaya menguasai sekitar 77 persen dari seluruh kekayaan aset dan keuangan di negara ini. Kalau dipersempit lagi, 1 persen orang terkaya di Indonesia menguasai 49,3 persen kekayaan nasional .  Bisa dibayangkan,  segelintir (1 persen) orang terkaya di Indonesia menghimpun separuh total aset negara ini.

3. Pemberantasan Korupsi yang tidak serius

Kasus korupsi di negeri kita terus terjadi dan bahkan bertambah dari tahun ke tahun, seolah para pelaku tidak ada jeranya. Padahal korupsi bukan sekedar merugikan Negara secara ekonomi, tetapi lebih parah lagi yaitu merusak tatanan berbangsa dan bernegara. Melihat kenyataan ini pemerintah dinilai tidak serius dalam memberantas korupsi. Meski memperkuat KPK, upaya itu dipandang tidak akan bisa optimal.

Sejauh ini KPK hanya berhasil menangkap tidak lebih dari 5 % pelaku korupsi, selebihnya dengan modus yang tidak dijangkau KPK mereka berhasil menikmati hasil korupsi. Buktinya, begitu banyak pejabat negara dan pegawai negeri kita yang mempunyai rekening gendut alias harta kekayaannya tidak sebanding dengan kemungkinan penghasilan dari jabatannya.

Kalau mau serius memberantas korupsi, semetinya negeri ini memberlakukan Asas Pembuktian Terbalik (Burden Shifting of Proof Principle) seperti yang telah dilakukan oleh Malaysia, Singapura dan Hongkong.  Sistem pembuktian terbalik dinilai sangat efektif mencegah korupsi, karena beban pembuktian tidak lagi berada pada aparat pengak hukum, tetapi beban pembuktian dibebankan kepada terlapor dalam hal ini para pejabat yang dilaporkan oleh masyarakat kepada aparat penegak hukum bahwa ia diduga telah melakukan tindak pidana korupsi.

Malaysia telah memberlakukan Sistem Pembuktian Terbalik terhadap semua pejabat negara dan pegawai negeri yang dicurigai harta kekayaannya jauh melampoi kemungkinan penghasilan dari jabatannya. Meski Lembaga Anti Rasuah (KPK Malaysia) tidak pernah terdengar melakukan OTT (operasi tangkap tangan) terhadap terduga korupsi, namun negeri ini terbilang sukses menekan kejahan korupsi.   Menurut survei Lembaga Transparency International (TI)  tingkat  indeks persepsi korupsi Malaysia naik ke peringkat 49, jauh lebih baik ketimbang Indonesia yang berada di peringkat 90 dunia.

4. Kesalahan Sistem Pendidikan

Hasil survei yang dilakukan oleh  United Nations Development Programme(UNDP) bahwa  Indeks Pembangunan Manusia  (IPM) Indonesia masuk kategori sangat rendah di dunia, berada di peringkat 113 dari 188 negara di dunia, dengan nilai sebesar 0,689. IPM merupakan indikator penting untuk mengukur keberhasilan sebuah negara dalam upaya membangun kualitas hidup manusia.

Menurut Munif Chatib, seorang praktisi pendidikan humanis, bahwa rendahnya kualitas hidup bangsa Indonesia disebabkan karena "kesalahan" sistem pendidikan kita. Pola dan metode pendidikan yang tidak tepat, ditambah dengan kurikulum padat dan melelahkan menjadikan pelajar kita seperti robot. Kurikulum kita berorientasi pada kemampuan kognitif dan  mengabaikan kemampuan afektif maupun psikomotoris. Padahal negara2 maju telah menerapkan pola Multiple Intelligence (kecerdaan majemuk), yang lebih berorientasi pada aspek afektif dan psikomotoris. Salah satu contoh adalah Finlandia, sistem pendidikannya dinilai terbaik di dunia.

Sejak dari dulu (meskipun kurikulum sering berganti-ganti seiring dengan pergantian kebijakan menteri pendidikan), kurikulum pendidikan di Indonesia selalu berorientasi pada aspek kognitif (kemampuan berfikir dan mengingat), dengan mengecilkan aspek afektif (sikap mental, moralitas, dan nilai), dan aspek psikomotoris (ketrampilan, karya, produktifitas, dsb). Hal ini berbeda dengan sistem pendidikan di negara-negara maju yang titik berat kurikulumnya justru pada aspek afektif dan psikomotorik, bukan aspek kognitif.

Sistem pendidikan di Indonesia memaksa siswa belajar sesuai kurikulum yang begitu padat dan melelahkan,  sehingga menjadikan pelajar kita seperti robot. Padahal pelajar adalah manusia dengan potensi yang berbeda satu sama lain. Masing-masing mempunyai kelebihan di satu sisi, dan kekurangan di sisi yang lain.

Sejumlah materi pelajaran pada kurikulum SMP/SMA dinilai masih banyak yang tidak memberi manfaat dikemudian hari. Apalagi materi itu (matematika, fisika, kimia, biologi, dsb) cukup susah dan dianggap sebagai materi utama. Apa tujuan dan manfaat belajar logaritma, integral, menghafal unsur kimia, dan nama sendi anatomi tubuh ? 90 persen lulusan pelajar kita merasa materi-materi tersebut tidak bermanfaat baginya, kecuali bagi sebagian kecil yang melanjutkan kuliah atau bekerja sesuai bidang yang spesifik.

Penyusun kurikulum pendidikan kita terpaku pada Output (hasil keluaran), tetapi tidak memperhatikan Outcome (dampak jangka panjang berupa manfaat atau harapan yang diinginkan). Anak didik kita tidak dibekali dengan ketrampilan yang memadai sehingga bisa berkarya dan produktif. Mereka kurang mendapat pembekalan nilai-nilai moralitas dan integritas. Maka tidak heran jika banyak pejabat kita yang korup.

5. Pertumbuhan Penduduk tak Terkendali

Data dari BKKBN menunjukkan rata-rata Laju Pertumbuhan Penduduk (LPP) negeri kita masih tergolong tinggi mencapai 1,49% per tahun, yang berarti setiap tahunnya penduduk Indonesia bertambah sekitar 4,5 juta (hampir sama dengan jumlah penduduk Singapura). Padahal idealnya pertumbuhan penduduk kita 0,5 persen. Hal ini mengindikasikan pemerintah tidak mampu mengendalikan pertumbuhan penduduk, yang berpotensi terjadi ledakan penduduk di masa mendatang.  Ledakan penduduk adalah salah satu ancaman paling serius bagi suatu bangsa.

Para ahli demografi mengemukakan bahwa peningkatan jumlah penduduk berpengaruh terhadap (1) berkurangnya lahan perumahan dan pertanian, (2) berkurangnya ketersediaan pangan, serta (3) meningkatnya jumlah pengangguran dan kemiskinan. Tingginya angka kemiskinan berpotensi menimbulkan terjadinya kriminalitas dan gejolak sosial.

Berbagai hasil pembangunan yang dicapai akan sia-sia apabila tidak dibarengi dengan keseimbangan populasi penduduk. Suatu wilayah yang mempunyai kepadatan penduduk tinggi selalu mempunyai berbagai permasalahan sosial yang membuat kenyamanan hidup masyarakat terganggu.

Kelima permasalahan tersebut yang menjadi akar dari berbagai permasalahan yang melanda bangsa ini harus segera dicarikan solusi oleh segenap komponen bangsa.  Kalau tidak, tentu akan menjalar pada berbagai permasalahan lain yang akan semakin sulit diatasi.  Semoga bangsa ini dapat mengatasi berbagai permasalahan yang ada. Amin

Salam dari Cibubur.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun