Mohon tunggu...
De Kalimana
De Kalimana Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Negeri Kita Semakin (Tidak) Makmur?

11 Desember 2017   19:25 Diperbarui: 17 Agustus 2018   22:44 2248
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Koefisien Gini atau Gini Ratio merupakan indeks yang digunakan untuk mengukur ketimpangan pendapatan antara penduduk miskin dan penduk kaya pada sebuah negara.  Gini ratio dikembangkan oleh statistikus Italia, Corrado Gini, dan dipublikasikan pada tahun 1912 dalam karyanya, Variabilit e mutabilit. Perhitungan koefisien gini didasarkan pada kurva Lorenz, yaitu sebuah kurva pengeluaran kumulatif yang membandingkan distribusi dari suatu variable tertentu (misalnya pendapatan) dengan distribusi uniform (seragam) yang mewakili persentase kumulatif penduduk.

Besaran angka koefisien gini berkisar antara 0 hingga 1. Semakin besar angka koefisien gini maka semakin besar tingkat ketimpangan/kesenjangan kekayaan penduduk. Angka 0 berarti menunjukkan pemerataan sempurna, sedangkan angka 1 berarti menunjukkan ketimpangan yang sempurna. Di seluruh dunia, angka koefisien kesenjangan pendapatan ini bervariasi dari 0.25 (Denmark) hingga 0.70 (Namibia).

Berdasarkan laporan dari Badan Pusat Statistik (BPS) per Maret 2016, Indek Gini Ratio di Indonesia berada di angka 0,397. Proporsi masyarakat Indonesia dengan kekayaan kurang dari US$ 10.000 mencapai 84,30%, sedangkan kekayaan lebih dari US$ 1 juta hanya 0,1%.  Besarnya kesenjangan juga terlihat pada penguasaan orang-orang kaya di sektor perbankan. Dana bank di Indonesia didominasi oleh pemilik rekening di atas Rp 2 miliar. Hampir 98 persen jumlah rekening di bank dimiliki oleh nasabah dengan jumlah tabungan di bawah Rp 100 juta.

Ketimpangan kekayaan antara orang kaya dan miskin di Indonesia termasuk paling buruk di dunia. Berdasarkan survei lembaga keuangan Swiss, Credit Suisse, 10 persen orang kaya menguasai sekitar 77 persen dari seluruh kekayaan aset dan keuangan di negara ini. Kalau dipersempit lagi, 1 persen orang terkaya di Indonesia menguasai 49,3 persen kekayaan nasional .  Kondisi ini hanya lebih baik dibanding Rusia, India, dan Thailand.  Berdasar laporan Credit Suisse, kekayaan rata-rata orang dewasa Indonesia yang mencapai $10.772 dan menempati peringkat ke-4 kawasan ASEAN. Sedangkan peringkat tertinggi adalah Singapura ($276.885), dan terendah Myanmar yang hanya $2.221.

Namun dalam ketimpangan kekayaan di ASEAN, Indonesia menempati peringkat kedua dibawah Thailand. Thailand adalah negara paling tinggi ketimpangan kepemilikan kekayaannya. Sedangkan negara ASEAN paling merata kepemilikan kekayaannya adalah Brunei dengan Indeks Gini mencapai 68%.  Data Kementerian Keuangan menunjukkan, selama 10 tahun terakhir, ketimpangan pendapatan di indonesia berkisar antara 0,32 sampai dengan 0,41. Meski meningkat, ketimpangan pendapatan masyarakat ini masih berada pada tahap sedang (berada di rentang 0,3-0,5).

Secara teori ekonomi dalam sebuah negara berkembang, bahwa 80% kekayaan di seluruh negeri hanya dikuasai oleh tak lebih dari 20% penduduknya saja. sementara 20% kekayaan selebihnya harus dibagi-bagi ke sisanya yang 80% penduduk. Namun kenyataan di Indonesia menyimpang jauh. Menurut ketua MPR, Zulkifli Hasan kesenjangan sosial di Indonesia sangat tinggi sekali. Hal ini terjadi akibat distribusi kekayaan negara yang sangat timpang dan tidak adil di Indonesia. Separuh lebih (85%) kekayaan bangsa Indonesia hanya dikuasai dan dikendalikan oleh segelintir orang (23 konglomerat) yang masing-masing memiliki perusahaan raksasa di Indonesia.

Sedangkan Sekjen PBNU, Helmy Faishal Zaini juga mengungkapkan bahwa jumlah dana yang berputar di Indonesia sekitar 9 triliun. Namun perputaran uang terbesar (85%) hanya dikuasai oleh segelintir orang saja (35 konglomerat) yang masing-masing memiliki perusahaan raksasa di Indonesia. Terpuruknya ekonomi Indonesia pada 1998 karena hanya bertumpu pada segelintir pengusaha atau konglomerat.

3. Data Kemiskinan

Kemiskinan di Indonesia berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) sejak tahun 2007 hingga 2016 ditunjukkan dalam prosentase dari populasi sebagai berikut: Tahun 2007=16,6% ; 2008=15,4% ; 2009=14,2% ; 2010=13,3% ; 2011=12,5% ; 2012=11,7% ; 2013=11,5% ; 2014=11,0% ; 2015=11,1% ; dan 2016=10,9%.

Data di atas menunjukkan penurunan kemiskinan nasional secara perlahan dan konsisten. Namun beberapa pihak mengkritisi, pemerintah Indonesia menggunakan patokan yang sangat rendah mengenai definisi garis kemiskinan, sehingga yang tampak adalah gambaran yang lebih positif dari kenyataannya.

Tahun 2016 pemerintah Indonesia mendefinisikan garis kemiskinan dengan perdapatan per bulannya (per kapita) kurang dari Rp. 325.000,- (atau sekitar USD $25) yang dengan demikian berarti standar hidup sangat rendah, juga buat pengertian orang Indonesia sendiri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun