Baru-baru ini ada pernyataan menarik dan ajaib yang dikeluarkan oleh Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Bencana Nasional Republik Indonesia (BKKBN), Hasto Wardoyo. Dilansir dari kompas.com, Ia menyebutkan angka kelahiran di Indonesia menurun dan penurunan tersebut progresif menyentuh angka 2,18 pada satu dekade terakhir.Â
Kemudian solusi yang Ia tawarkan adalah setiap pasangan suami istri melahirkan paling tidak satu anak perempuan agar regenerasi akan terus berjalan pada masa mendatang. Beliau juga menambahkan ada target yang ingin dicapai yaitu setidaknya satu perempuan melahirkan satu anak.Â
Pernyataan tersebut cukup mengundang kontroversi menyebabkan warganet heran dan marah. Solusi yang ditawarkan sangat dangkal dan menunjukkan bahwa perempuan menjadi permasalahan mengapa angka kelahiran menurun. Solusi tersebut juga melihat seolah-olah perempuan hanya sebatas "alat" regenerasi dan menggunakan tubuh perempuan sebagai "pabrik anak".Â
Ya, memang betul kodrat wanita melahirkan, namun seharusnya ada solusi lain yang dapat diterapkan oleh pemerintah ketimbang mengandalkan perempuan melahirkan anak untuk meningkatkan angka kelahiran. Seharusnya, pemerintah juga meneliti akar masalah mengapa angka kelahiran menurun, karena faktor perempuan tidak mau melahirkan bisa jadi hanya faktor kecil dari sekian banyak faktor penyebab lainnya.
Apabila pemerintah menginginkan solusi yaitu setiap perempuan setidaknya melahirkan satu anak perempuan, lalu apa yang pemerintah dapat jamin dengan kehidupan yang layak untuk setiap perempuan? Lalu, pemerintah mau memberikan jaminan apa saja agar perempuan mau melahirkan? Ada apa dengan penekanan perempuan setidaknya harus melahirkan satu perempuan? Perempuan tidak bisa kontrol nanti anaknya yang lahir akan perempuan atau laki-laki, jadi permintaan BKKBN untuk membuat perempuan melahirkan setidaknya satu perempuan itu sangat aneh.
Angka penurunan kelahiran tidak hanya terjadi di Indonesia, negara tetangga seperti Singapura juga sudah dihadapi oleh masalah angka kelahiran selama beberapa dekade. Singapura merupakan salah satu negara dengan angka kelahiran terendah di dunia.Â
Dilansir dari BBC Indonesia, Pemerintah Singapura memberikan insentif keuangan ke warganya pada saat pandemi. Insentif tersebut termasuk sistem bonus melahirkan anak. Singapura juga memberikan sistem bonus bayi dengan memberikan insentif mencapai S$ 10.000 atau sekitar Rp108 juta kepada orangtua yang memenuhi syarat.Â
Selain itu, Singapura juga melakukan upaya untuk memperlambat penurunan angka kelahiran dengan meningkatkan usia pensiun dan pelatihan kerja di usia paruh baya, dan mempekerjakan pekerja lansia. Singapura juga melakukan upaya memberikan setiap warga negara memiliki dokter untuk merawat dan memantau kondisi kesehatan agar setiap warga dapat terus sehat untuk memberikan kesempatan lansia bisa bekerja.Â
Selain Singapura, ada juga Finlandia, tepatnya kota Lestijrvi yang memberikan insentif bonus bayi bagi setiap penduduk yang melahirkan akan berhak mendapat 10.000 yang dibayar dalam kurun waktu 10 tahun. Dari kebijakan yang diterapkan oleh pemerintah Finlandia alhasil hampir lebih dari 50 anak lahir jika dibandingkan dengan tujuh tahun sebelumnya hanya ada 38 bayi lahir.Â
Jika melihat kebijakan dari negara-negara yang mengalami permasalahan angka kelahiran, negara-negara tersebut mendorong perempuan untuk melahirkan anak (terlepas akan melahirkan anak perempuan atau laki-laki) sekaligus memberikan insentif dan jaminan ekonomi serta hidup layak untuk keluarga. Hal ini cukup efektif untuk mendorong warga melahirkan bayi baru serta meningkatkan angka kelahiran anak.Â
Dilansir dari Liputan6.com, angka kelahiran di Indonesia menurun disebabkan oleh adanya perubahan persepsi pernikahan di masyarakat. Saat ini masyarakat memandang menikah sebagai tradisi yang tidak wajib dilakukan. Selain itu, menurut Deputi Statistik Sosial BPS, Ateng Hartono menyebutkan ada beberapa faktor angka kelahiran anak menurun yaitu, penanganan program Keluarga Berencana (KB) yang berhasil. Kedua, adanya kemungkinan persepsi generasi milenial yang relatif ingin punya 1--2 anak.Â
Selain itu, faktor menurunnya angka pernikahan di Indonesia juga berpengaruh terhadap penurunan angka kelahiran. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Linda (2014) dalam Ningtias (2022), terdapat beberapa faktor mengapa ada penurunan angka pernikahan, diantaranya yaitu saat ini wanita memiliki kebahagiaan hidup sendiri di usia muda, kesulitan ekonomi dapat mengancam rumah tangga, wanita tidak melihat adanya keuntungan dalam berumah tangga, dan posisi wanita apabila sudah menjadi ibu akan rentan kehilangan pekerjaan dan pernikahan membatasi kehidupan sosial wanita.Â
Melihat kompleksnya permasalahan sosial dan faktor-faktor lain yang menyebabkan angka penurunan kelahiran, pemerintah seharusnya dapat melakukan riset terlebih dahulu apa penyebab angka kelahiran mengalami penurunan secara progresif dan tidak membuat kebijakan asal-asalan meminta setiap perempuan untuk bisa melahirkan anak perempuan.
Ada beberapa penyebab yang menyebabkan keluarga menunda melahirkan anak, beberapa diantaranya seperti saat ini kondisi ekonomi yang tidak baik dan kehadiran anak membutuhkan biaya yang fantastis. Setidaknya setiap keluarga yang memiliki anak harus stabil dalam finansial untuk menjamin kehidupan sang anak mendapatkan pendidikan, kesehatan, dan fasilitas kehidupan yang layak.Â
Fasilitas kesehatan dan kondisi lingkungan yang kurang merata dan tidak sehat menyebabkan jaminan kesehatan dan kehidupan yang layak hanya menjadi angan-angan. Bagi keluarga yang ingin mendapatkan akses kesehatan yang mumpuni dan baik harus mengeluarkan sejumlah uang yang tidak sedikit.Â
Sedangkan nyatanya, kondisi ekonomi keluarga dan kesejahteraan masyarakat belum menunjukkan ada tanda-tanda baik. Anak kelak akan tumbuh besar dan pastinya membutuhkan pendidikan agar dapat menumbuhkan anak yang berkualitas, cerdas, dan mandiri. Namun nyatanya, akses pendidikan di Indonesia belum merata dan kualitas pendidikan belum bisa dibilang bagus.Â
Dari sekian permasalahan yang nampak terjadi, BKKBN mengusulkan solusi yang hanya dangkal dan tidak dapat menjamin kehidupan yang layak untuk perempuan dan anak. Pemerintah tidak boleh memperlakukan dan melihat wanita sebagai alat regenerasi saja, melainkan sebagai individu yang berhak mendapatkan jaminan hidup aman dan layak.Â
Bahkan, meskipun perempuan Indonesia berhasil melahirkan anak perempuan, apakah kemudian anak perempuan ini terjamin kemudian melahirkan anak lagi apabila hidup dan tinggal di Indonesia saja tidak terjamin keamanan, kelayakan, dan kesejahteraannya? Nyatanya, perempuan masih saja dianggap sebagai pabrik anak dan perlakuan di masyarakat yang tidak memandang perempuan sebagai manusia.Â
Jika ingin Indonesia tidak krisis anak, maka mulailah dengan memperlakukan perempuan sebagai manusia yang berhak hidup aman, nyaman, dan sejahtera tanpa adanya penekanan ataupun stigma bahwa perempuan hanyalah pabrik anak saja.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H