Hari raya Idulfitri merupakan hari besar dalam agama Islam yang dinanti-nanti oleh umatnya. Hari raya Idulfitri merupakan momen penting dimana saudara dan keluarga besar bisa berkumpul bersama untuk menjalin tali silaturahmi dengan saling bermaaf-maafan dan mengenal lebih dekat antara satu sama lain, apalagi kalau ada keluarga yang merantau, hari raya Idulfitri menjadi hari yang ditunggu-tunggu untuk bertemu kembali dengan keluarga melepas rindu dengan sanak saudara.
Indonesia memiliki banyak sekali budaya dan tradisi spesial dalam merayakan hari raya Idulfitri, salah satunya budaya bersalaman dan saling maaf-maafan di tanah Jawa yaitu tradisi sungkeman.
Prosesi Tradisi Sungkeman Saat Lebaran
Tradisi sungkeman merupakan prosesi bersalaman dan saling meminta maaf kepada anggota keluarga. Sungkeman berasal dari bahasa Jawa yang berarti tanda bakti.
Sungkeman ini menjadi bentuk bakti anak kepada orang tua sekaligus memberikan penghormatan kepada orang tua. Biasanya sungkeman dilakukan dengan cara berlutut bersimpuh diri di hadapan orang tua dan mengucapkan permintaan maaf atas kekhilafan dan kesalahan di masa lalu. Sungkeman dilakukan saat pagi hari setelah melakukan salat id.
Seluruh anggota keluarga berkumpul di ruang tengah keluarga dan melakukan sungkeman kepada orang tua lalu bergantian dengan anggota keluarga selanjutnya.
Momen hikmat dan perasaan tulus memohon maaf saat sungkeman ini menjadi momen yang mengharukan karena biasanya ada anggota keluarga yang terharu hingga mengeluarkan isak tangis saat sungkeman.
Sungkeman ini sekaligus menjadi momen kembalinya diri kita pada diri yang suci dengan saling ikhlas memaafkan kesalahan antara satu sama lain.
Meskipun tradisi ini sudah dilakukan sejak zaman dahulu, tradisi sungkeman ini menjadi tradisi yang spesial dalam perayaan Idulfitri, terutama bagi keluarga Jawa hingga saat ini.
Tentunya terdapat perbedaan dalam melakukan sungkeman dulu dan saat ini. Ada beberapa keluarga yang mempertahankan cara sungkeman seperti zaman dulu dan ada beberapa keluarga yang mulai meninggalkan cara sungkeman zaman dulu dan menyesuaikan dengan kebiasaan bersalaman dalam keluarga masing-masing.
Dulu, sungkeman dilakukan dengan cara mengapit tangan orang tua dengan tangan sang anak lalu mencium tangan orang tua, kemudian sang anak bersimpuh diri berdan menundukkan kepala sambil mengucapkan permintaan maaf di hadapan orang tua. Bahkan, ada beberapa orang yang sampai mencium kaki atau dengkul orang tua dalam melakukan sungkeman. Sekarang, sungkeman dilakukan cukup dengan bersalaman, mencium tangan kedua orang tua sembari mengucapkan permohonan maaf.
Sungkeman dalam tradisi Jawa tidak lepas dalam menggunakan bahasa Jawa kromo inggil sehingga hal tersebut menjadi tantangan tersendiri bagi anak-anak muda saat ini yang tidak familiar dalam menggunakan bahasa Jawa kromo inggil saat sungkeman.
Tradisi Sungkeman dari Pengalaman Wo Mamo
“Dulu, saya selalu melihat keluarga saya melakukan sungkeman menggunakan (bahasa) Jawa kromo inggil pada saat lebaran di Kasunanan. Sekarang, saya menjaga tradisi tersebut dan mengajarkannya kepada anak-anak saya meskipun sudah tidak tinggal di Solo”.
Begitulah penuturan dari RM. Priatmo Tirtodiningrat atau akrab disapa Wo Mamo, pria berumur 71 tahun kelahiran Surakarta ini hidup dekat dengan budaya Jawa Keraton Kasunanan, Surakarta.
Bapak kandung Wo Mamo, Kanjeng Raden Tumenggung H. Tirtodiningrat merupakan seorang Kepala Sekretariat Keraton Kasunanan Surakarta sebagai ahli sejarah Kepustakaan Keraton Solo.
Sedari kecil, Wo Mamo terbiasa hidup dalam budaya keraton dan giat mempelajari ajaran-ajaran toto kromo keraton Jawa. Tradisi sungkeman Jawa kromo ini sudah ada sejak zaman Keraton Kasunanan.
Tradisi ini bermula dari kebiasaan keluarga raja dan para abdi dalem melakukan penghormatan kepada raja pada saat perayaan Idulfitri.
Dalam melakukan tradisi sungkeman, para anggota keluarga raja dan seluruh orang di dalam Keraton mengantre untuk melakukan sungkeman kemudian berjongkok bersimpuh diri dan menundukkan kepala di hadapan raja lalu mengucapkan permintaan maaf yang tulus menggunakan bahasa Jawa kromo inggil.
Bahasa Jawa kromo inggil merupakan tingkatan bahasa Jawa tertinggi yang hanya boleh diucapkan kepada orang terhormat seperti raja, dan tidak boleh sembarang digunakan kepada orang-orang yang bukan berasal dari keluarga bangsawan.
“Bapak/Ibu/Eyang, ing dinten riyoyo punika kulo ngaturakeun sugeng riyadi. Ugi dumateng sedoyo kalepatan ingkang kula sengaja lan ingkang mboten sengaja. Kula nyuwun mugi Bapak/Ibu/Eyang agenging samudro pangaksami.”
Ucapan bahasa jawa kromo inggil ini biasa digunakan dalam tradisi sungkeman, sejak zaman Keraton Jawa hingga masyarakat Jawa modern hari ini. Penggunaan ucapan bahasa Jawa kromo inggil ini merupakan salah satu ajaran toto kromo dalam tradisi sungkeman.
Hari ini, ucapan permintaan maaf menggunakan bahasa Jawa kromo inggil tidak lagi terbatas ditujukan untuk raja dan kalangan bangsawan, tetapi ditujukan untuk orang tua pada saat sungkeman. “Penggunaan bahasa Jawa kromo inggil sekarang buat orang tua saat lagi sungkeman.
Nah, ini awalnya ‘kan cuman boleh buat raja di lingkungan keraton, tapi sekarang digunakan oleh banyak masyarakat biasa karena zaman dulu, raja mau budaya ini gak cuman diterapin di lingkungan keraton aja, tapi buat semua orang Jawa yang bukan keraton. Oleh karena itu, saat ini tradisi sungkeman udah jadi budaya orang Jawa setiap lebaran.” jelas Wo Mamo.
Sama seperti orang-orang pada umumnya, Wo Mamo selalu antusias dalam menyambut lebaran hari raya Idulfitri. Selain karena bisa bertemu dengan saudara yang sudah jarang bertemu, menyantap hidangan lebaran khas Jawa bersama keluarga, berbagi cerita kehidupan terbaru, dan tradisi sungkeman yang masih dipelihara oleh keluarga Wo Mamo menjadi salah satu alasan mengapa Wo Mamo antusias merayakan hari raya Idulfitri.
“Saya setuju sekali tradisi sungkeman ini dipelihara dan diteruskan ke anak dan cucu. Meskipun saat ini keluarga gak pake sungkeman zaman dulu dan gak pake Jawa kromo inggil, setidaknya tradisi sungkeman ini masih ada dan digunakan”.
Tradisi Sakral Bagi yang Pertama Kali Melakukan
Tidak hanya keluarga Wo Mamo saja yang masih merawat tradisi sungkeman pada saat lebaran, Novita Ramadhanita (21) wanita yang tinggal di Bandung dan memiliki darah Jawa ini masih menggunakan tradisi sungkeman setiap perayaan Idulfitri saat berkunjung ke rumah eyangnya di Jawa Tengah.
Meskipun Novita lahir dan besar di Bandung, keluarganya masih menerapkan budaya Jawa, salah satunya tradisi sungkeman menggunakan bahasa Jawa kromo inggil. “Karena di wilayah rumah nenek aku (di Jateng) itu masih satu lingkungan sama keluarga di marga besar yang sama, jadi tradisi sungkeman ini terus menerus dilakukan setiap tahun dan udah saklek akan terus dilakukan.
Cara orang tua ngajarin dan ngenalin tradisi ini ke aku itu dari kecil aku selalu melihat orang tua sungkeman jadi udah gak asing sama sungkeman tiap beres salat id.
Nah, tahun ini aku pertama kali ikut sungkeman diajak mama buat sungkeman dan aku juga emang mau karena merasa sudah dewasa.” jelas Novita saat menceritakan tradisi sungkeman di keluarganya.
Novita merasakan perasaan yang berbeda ketika melakukan sungkeman. Menurutnya, sungkeman menjadi pengalaman yang membekas di lebaran tahun ini. Sungkeman terasa sangat sakral dan terdapat perbedaan yang signifikan apabila dibandingkan dengan bersalaman maaf-maafan biasa.
“Sungkeman lebih terasa kena ke hati dan jadi bermakna permohonan maafnya, apalagi sungkemannya pakai bahasa Jawa kromo inggil, jadinya lebih terasa spesial gitu dan kalau di sungkeman, kami antara cucu dan eyang saling mendoakan dan doanya panjang gak cuman doa yang singkat selewat aja. Jadi, sungkeman terasa lebih sakral dan lebih diberkati.” tutur Novita.
Pengalaman pertama Novita melakukan sungkeman ini menyadarkan Novita betapa pentingnya prosesi sungkeman dilakukan saat lebaran.
Prosesi sungkeman terasa lebih sakral dan dapat membangun hubungan keluarga lebih erat karena adanya interaksi saling mendoakan dan memaafkan antara anggota keluarga. Novita berharap tradisi sungkeman ini bisa diteruskan oleh anak cucunya kelak nanti.
Tradisi yang Sudah Pudar Namun Dirindukan
Bagi Kristi (52), tradisi sungkeman saat ini sudah jarang diterapkan di keluarganya meskipun dirinya merupakan seorang keturunan Jawa keraton. Saat masa kecilnya tinggal di Surakarta, Kristi dan keluarga besarnya selalu mengunjungi rumah eyang setiap lebaran.
Setelah seluruh keluarga selesai makan pagi setelah salat id, eyangnya langsung memberikan arahan untuk berkumpul di aula keluarga untuk melakukan sungkeman.
Keluarga Kristi memiliki banyak sekali anak dan cucu sehingga aula keluarga dipenuhi oleh banyak orang dan antrean untuk sungkeman mengular panjang mengitari aula keluarga. Selama menunggu giliran sungkeman ke eyang, seluruh anak dan cucu harus mlaku ndhodhok yaitu berjalan jongkok saat mengantre sungkeman. Hal ini yang membuat Kristi dan saudara-saudaranya harus bersabar dan menahan kaki pegal selama mengantre.
Pengalaman sungkeman yang dirasakan Kristi saat kecil inilah yang membuatnya merasa bahwa tradisi sungkeman terlalu kuno sehingga dirinya kurang menyukai sungkeman saat lebaran.
Setelah puluhan tahun Kristi tinggal di Bandung dan menikah dengan suami bersuku Sunda, Kristi sudah jarang melakukan tradisi sungkeman setiap lebaran bersama keluarganya.
Menurutnya, keluarganya tidak perlu melakukan sungkeman Jawa kromo seperti dulu saat dia masih kecil. Selain karena suaminya tidak melakukan sungkeman saat lebaran bersama keluarganya, Kristi juga menganggap bahwa tradisi sungkeman tidak perlu dilakukan dan prosesi minta maaf cukup dilakukan dengan bersalaman dan maaf-maafan biasa seperti kebiasaan keluarga suaminya di Bandung.
“Sekarang sungkeman cuman dilakuin kalau lagi kumpul sama keluarga Jawa yang tinggal di Bandung. Anak-anak saya gak ajarin soal sungkeman ini, mereka cuman lihat sungkeman kalau berkunjung ke rumah eyangnya yang kebetulan ada yang tinggal di Bandung.” Namun, tidak bisa dipungkiri bahwa melihat tradisi sungkeman ini membuatnya jadi rindu dengan keluarganya di Surakarta. Kristi juga merasa bahwa tradisi sungkeman ini memang terasa lebih sakral dan lebih emosional.
Saat ini, keluarga Jawa dari Kristi di Bandung masih melakukan tradisi sungkeman, tetapi tidak menggunakan Jawa kromo inggil dan hanya bersalaman dan berpelukan dengan anggota keluarga.
Menurutnya, tradisi sungkeman akan terasa lebih hikmat apabila dilakukan oleh keluarga dengan saudara yang banyak dan orang tua yang sudah memiliki cucu. Hal tersebut menjadi salah satu faktor mengapa keluarganya tidak menerapkan sungkeman saat lebaran.
“Sungkeman ini rasanya akan lebih seru dan lebih sakral ya kalau punya cucu, udah jadi eyang, dan punya menantu. Pastinya akan terasa lebih emosional dan lebih bermakna. Mungkin kalau saya nanti udah jadi eyang, saya mau terapin lagi tradisi sungkeman sama keluarga saya.” jelas Kristi.
Tradisi sungkeman ini menjadi momen mengharukan saat lebaran bagi keluarga Jawa. Momen sakral dan sarat akan makna ini menjadi alasan berpulangnya seluruh anggota keluarga kembali ke rumah sejauh apapun mereka merantau.
Tradisi ini menunjukkan penghormatan kepada orang tua sekaligus arti sebenarnya Idulfitri yaitu mengembalikan diri ke fitrah yang bersih, suci, dan lebur dari dosa-dosa di masa lalu. Tradisi ini perlu untuk diteruskan ke anak cucu sebagai bentuk menghargai budaya dan menghormati orang tua.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H