“Sekarang sungkeman cuman dilakuin kalau lagi kumpul sama keluarga Jawa yang tinggal di Bandung. Anak-anak saya gak ajarin soal sungkeman ini, mereka cuman lihat sungkeman kalau berkunjung ke rumah eyangnya yang kebetulan ada yang tinggal di Bandung.” Namun, tidak bisa dipungkiri bahwa melihat tradisi sungkeman ini membuatnya jadi rindu dengan keluarganya di Surakarta. Kristi juga merasa bahwa tradisi sungkeman ini memang terasa lebih sakral dan lebih emosional.
Saat ini, keluarga Jawa dari Kristi di Bandung masih melakukan tradisi sungkeman, tetapi tidak menggunakan Jawa kromo inggil dan hanya bersalaman dan berpelukan dengan anggota keluarga.
Menurutnya, tradisi sungkeman akan terasa lebih hikmat apabila dilakukan oleh keluarga dengan saudara yang banyak dan orang tua yang sudah memiliki cucu. Hal tersebut menjadi salah satu faktor mengapa keluarganya tidak menerapkan sungkeman saat lebaran.
“Sungkeman ini rasanya akan lebih seru dan lebih sakral ya kalau punya cucu, udah jadi eyang, dan punya menantu. Pastinya akan terasa lebih emosional dan lebih bermakna. Mungkin kalau saya nanti udah jadi eyang, saya mau terapin lagi tradisi sungkeman sama keluarga saya.” jelas Kristi.
Tradisi sungkeman ini menjadi momen mengharukan saat lebaran bagi keluarga Jawa. Momen sakral dan sarat akan makna ini menjadi alasan berpulangnya seluruh anggota keluarga kembali ke rumah sejauh apapun mereka merantau.
Tradisi ini menunjukkan penghormatan kepada orang tua sekaligus arti sebenarnya Idulfitri yaitu mengembalikan diri ke fitrah yang bersih, suci, dan lebur dari dosa-dosa di masa lalu. Tradisi ini perlu untuk diteruskan ke anak cucu sebagai bentuk menghargai budaya dan menghormati orang tua.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H