Dulu, sungkeman dilakukan dengan cara mengapit tangan orang tua dengan tangan sang anak lalu mencium tangan orang tua, kemudian sang anak bersimpuh diri berdan menundukkan kepala sambil mengucapkan permintaan maaf di hadapan orang tua. Bahkan, ada beberapa orang yang sampai mencium kaki atau dengkul orang tua dalam melakukan sungkeman. Sekarang, sungkeman dilakukan cukup dengan bersalaman, mencium tangan kedua orang tua sembari mengucapkan permohonan maaf.
Sungkeman dalam tradisi Jawa tidak lepas dalam menggunakan bahasa Jawa kromo inggil sehingga hal tersebut menjadi tantangan tersendiri bagi anak-anak muda saat ini yang tidak familiar dalam menggunakan bahasa Jawa kromo inggil saat sungkeman.
Tradisi Sungkeman dari Pengalaman Wo Mamo
“Dulu, saya selalu melihat keluarga saya melakukan sungkeman menggunakan (bahasa) Jawa kromo inggil pada saat lebaran di Kasunanan. Sekarang, saya menjaga tradisi tersebut dan mengajarkannya kepada anak-anak saya meskipun sudah tidak tinggal di Solo”.
Begitulah penuturan dari RM. Priatmo Tirtodiningrat atau akrab disapa Wo Mamo, pria berumur 71 tahun kelahiran Surakarta ini hidup dekat dengan budaya Jawa Keraton Kasunanan, Surakarta.
Bapak kandung Wo Mamo, Kanjeng Raden Tumenggung H. Tirtodiningrat merupakan seorang Kepala Sekretariat Keraton Kasunanan Surakarta sebagai ahli sejarah Kepustakaan Keraton Solo.
Sedari kecil, Wo Mamo terbiasa hidup dalam budaya keraton dan giat mempelajari ajaran-ajaran toto kromo keraton Jawa. Tradisi sungkeman Jawa kromo ini sudah ada sejak zaman Keraton Kasunanan.
Tradisi ini bermula dari kebiasaan keluarga raja dan para abdi dalem melakukan penghormatan kepada raja pada saat perayaan Idulfitri.
Dalam melakukan tradisi sungkeman, para anggota keluarga raja dan seluruh orang di dalam Keraton mengantre untuk melakukan sungkeman kemudian berjongkok bersimpuh diri dan menundukkan kepala di hadapan raja lalu mengucapkan permintaan maaf yang tulus menggunakan bahasa Jawa kromo inggil.
Bahasa Jawa kromo inggil merupakan tingkatan bahasa Jawa tertinggi yang hanya boleh diucapkan kepada orang terhormat seperti raja, dan tidak boleh sembarang digunakan kepada orang-orang yang bukan berasal dari keluarga bangsawan.
“Bapak/Ibu/Eyang, ing dinten riyoyo punika kulo ngaturakeun sugeng riyadi. Ugi dumateng sedoyo kalepatan ingkang kula sengaja lan ingkang mboten sengaja. Kula nyuwun mugi Bapak/Ibu/Eyang agenging samudro pangaksami.”