Mohon tunggu...
Kalila Shessa Krisadiva Basara
Kalila Shessa Krisadiva Basara Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa program studi Jurnalistik tahun 2022

Keen to explore and learn new perspective.

Selanjutnya

Tutup

Ramadan Pilihan

Tak Lekang Oleh Waktu, Tradisi Sungkeman Jawa Kromo Saat Lebaran Masih Eksis di Masa Kini

16 April 2024   00:40 Diperbarui: 16 April 2024   00:44 980
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Novita merasakan perasaan yang berbeda ketika melakukan sungkeman. Menurutnya, sungkeman menjadi pengalaman yang membekas di lebaran tahun ini. Sungkeman terasa sangat sakral dan terdapat perbedaan yang signifikan apabila dibandingkan dengan bersalaman maaf-maafan biasa. 

“Sungkeman lebih terasa kena ke hati dan jadi bermakna permohonan maafnya, apalagi sungkemannya pakai bahasa Jawa kromo inggil, jadinya lebih terasa spesial gitu dan kalau di sungkeman, kami antara cucu dan eyang saling mendoakan dan doanya panjang gak cuman doa yang singkat selewat aja. Jadi, sungkeman terasa lebih sakral dan lebih diberkati.” tutur Novita. 

Pengalaman pertama Novita melakukan sungkeman ini menyadarkan Novita betapa pentingnya prosesi sungkeman dilakukan saat lebaran. 

Prosesi sungkeman terasa lebih sakral dan dapat membangun hubungan keluarga lebih erat karena adanya interaksi saling mendoakan dan memaafkan antara anggota keluarga. Novita berharap tradisi sungkeman ini bisa diteruskan oleh anak cucunya kelak nanti.

Tradisi yang Sudah Pudar Namun Dirindukan

Bagi Kristi (52), tradisi sungkeman saat ini sudah jarang diterapkan di keluarganya meskipun dirinya merupakan seorang keturunan Jawa keraton. Saat masa kecilnya tinggal di Surakarta, Kristi dan keluarga besarnya selalu mengunjungi rumah eyang setiap lebaran. 

Setelah seluruh keluarga selesai makan pagi setelah salat id, eyangnya langsung memberikan arahan untuk berkumpul di aula keluarga untuk melakukan sungkeman. 

Keluarga Kristi memiliki banyak sekali anak dan cucu sehingga aula keluarga dipenuhi oleh banyak orang dan antrean untuk sungkeman mengular panjang mengitari aula keluarga. Selama menunggu giliran sungkeman ke eyang, seluruh anak dan cucu harus mlaku ndhodhok yaitu berjalan jongkok saat mengantre sungkeman. Hal ini yang membuat Kristi dan saudara-saudaranya harus bersabar dan menahan kaki pegal selama mengantre. 

Pengalaman sungkeman yang dirasakan Kristi saat kecil inilah yang membuatnya merasa bahwa tradisi sungkeman terlalu kuno sehingga dirinya kurang menyukai sungkeman saat lebaran. 

Setelah puluhan tahun Kristi tinggal di Bandung dan menikah dengan suami bersuku Sunda, Kristi sudah jarang melakukan tradisi sungkeman setiap lebaran bersama keluarganya. 

Menurutnya, keluarganya tidak perlu melakukan sungkeman Jawa kromo seperti dulu saat dia masih kecil. Selain karena suaminya tidak melakukan sungkeman saat lebaran bersama keluarganya, Kristi juga menganggap bahwa tradisi sungkeman tidak perlu dilakukan dan prosesi minta maaf cukup dilakukan dengan bersalaman dan maaf-maafan biasa seperti kebiasaan keluarga suaminya di Bandung. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ramadan Selengkapnya
Lihat Ramadan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun