Mohon tunggu...
Panji Joko Satrio
Panji Joko Satrio Mohon Tunggu... Koki - Pekerja swasta, . Lahir di Purbalingga. Tinggal di Kota Lunpia.

Email: kali.dondong@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Healthy Artikel Utama

Mengapa Masih Banyak Dokter Gadungan di Zaman Modern?

4 Maret 2016   13:47 Diperbarui: 4 Maret 2016   17:03 303
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption caption="Sumber: tribunnews.com"][/caption]Dokter masih dianggap sebagai profesi menggiurkan bagi sebagian masyarakat. Alih-alih sebagai wahana mulia untuk menolong sesama, dokter dianggap pekerjaan yang menjanjikan keberlimpahan harta atau ketinggian derajat sosial. Maka tak heran, sejumlah orang yang memilih jalan pintas untuk meraih titel sebagai juru sembuh.

Ironisnya, jalan pintas yang dipilih acapkali buntu atau sesat. Maka bukannya untung malah buntung. Seperti yang dialami seorang calon mahasiswa kedokteran Universitas Brawijaya, baru-baru ini. Calon mahasiswa bernisial M itu tertipu hingga Rp 700 juta. Uang sebanyak itu disetorkan secara bertahap kepada seseorang yang mengaku sebagai dosen dan bisa melicinkan jalan bagi korban untuk masuk ke fakultas kedokteran di PTN di Jawa Timur itu. Kasus penipuan ini sudah memasuki tahap persidangan di PN Malang (sumber).

Tidak disebutkan identitas korban secara lengkap. Media daring hanya menyebut inisialnya. Adapun yang aktif membayar uang pelicin itu adalah ayah dari si calon mahasiswa, yang juga tidak disebut jati dirinya.

Tetapi dengan melihat besarnya uang sogokan yang diberikan, bisa dipastikan korban berasal dari kelompok masyarakat berada.

Sejauh ini pihak kampus (Unibraw) tidak terindikasi terlibat. Pelaku penipuan berinisial NN menyaru sebagai dosen dan kenal dekat dengan rektor. Tetapi NN bukan tenaga pendidik, melainkan residivis yang pernah tersangkut kasus kriminal. Entah bagaimana ceritanya sehingga pelaku bisa meyakinkan korban untuk memberi uang dalam jumlah tidak sedikit itu.

Korban menyadari telah tertipu setelah anaknya tidak lolos padahal sudah menyetor uang. Setelah diselidiki, ternyata NN bukan dosen setempat dan kemudian ditangkap polisi.

Di satu sisi, kasus penipuan ini juga memiliki hikmah bagi masyarakat. Untungnya, korban batal diterima di fakultas kedokteran. Coba kalau dia diterima, nanti dia yang akan jadi penipu alias jadi dokter gadungan. Karena proses seleksinya tidak memenuhi standar dan kualifikasi yang berlaku.

Standarisasi Pendidikan
Dokter merupakan profesi yang membutuhkan standar kompetensi yang ketat. Tetapi muncul indikasi, ada celah yang bisa diterabas oleh oknum nakal. Di antaranya proses seleksi masuk fakultas kedokteran yang tidak standar.

Beberapa waktu lalu sempat heboh skandal pemalsuan ijasah SLTA fakultas kedokteran di sebuah perguruan tinggi. Beberapa mahasiswa di kampus tersebut ternyata ijasah SLTA-nya tidak "paralel", yakni dari jurusan IPS. Ini bertentangan dengan persyaratan harus dari jurusan IPA. Kasus ini disebut skandal karena diduga melibatkan orang dalam.

Kerentanan juga muncul dari seleksi masuk perguruan tinggi melalui jalur ujian tulis (dulu namanya SNMPTN kemudian namanya berganti-ganti sehingga membingungkan). Celah dalam sistem ini adalah penggunaan joki untuk mengikuti seleksi ujian.

Beberapa kasus perjokian pernah diungkap. Di antaranya di UI, UMM, Unair, dan Unnes (untuk masuk FK Undip). Menurut pemberitaan, tarif joki bervariasi. Dari puluhan juta hingga tertinggi mencapai Rp 1,3 miliar. Sejumlah kasus perjokian memang berhasil diungkap, tetapi apakah kita yakin tidak ada yang lolos?

Kini seleksi masuk PTN menggunakan sistem nilai rapor sekolah dengan sejumlah parameter. Sistem ini bertujuan baik, tetapi membuka celah kerawanan karena tidak mengacu standar penilaian yang konsisten dan jelas (setidaknya di mata awam seperti saya). Jika pun standarnya jelas, sejauh ini belum ada transparansi, misalnya dengan mengunggah hasil penilaian ke publik.

Tentu hal ini tidak serta merta memberi alasan bagi masyarakat untuk curiga. Tetapi harus diakui, ada kemungkinan terdapat oknum, baik di sekolah maupun kampus, yang melakukan tindakan di luar prosedur atau standar untuk "membantu" siswa tertentu. Kecurangan seperti ini bisa terjadi, terutama untuk jurusan favorit.

Apalagi, banyak orangtua bersedia membayar besar, hingga ratusan juta rupiah. Pangsa pasarnya tersedia, ini bisa memicu lahirnya kecurangan. Pihak terkait mesti waspada dengan potensi kecurangan ini. Salah satu solusi, mungkin dengan membuka kran keterbukaan. Yakni dibukanya akses bagi publik untuk melihat nilai yang diunggah oleh pihak sekolah.

Dokter Gadungan
Sekira 20 tahun silam, ada dokter gadungan di kampung saya. Wajahnya ganteng, berjas putih bersih dan petantang-petenteng membawa stetoskop serta koper hitam. Dokter gadungan nan cabul itu berkeliling dari rumah-rumah untuk mencari mangsa.

Ada juga pasien yang "sembuh", mungkin diberi obat pereda rasa sakit. Banyak juga yang tidak terbantu. Kala itu, si dokter ganteng laris manis. Saya tahu betul dia abal-abal karena saya kenal orangnya. Itu kejadian 20 tahun silam. Di zaman digital seperti sekarang, apa dokter gadungan masih ada?

Di kawasan perkotaan kian marak pihak-pihak yang mengaku memiliki kompetensi di bidang penyembuhan. Sebut saja tabib, sinshe yang memang sudah lama dikenal sebagai juru sembuh. Atau dukun dan paranormal. Muncul pula istilah terapis, herbalis, dan istilah lain yang berasosiasi pada layanan kesehatan.

Saya tidak tahu, sejauh mana profesi itu diatur. Tetapi sepanjang tidak melakukan tindakan medis, barangkali tidak terlampau dikuatirkan (definisi "tindakan medis" mungkin berbeda antara awam dan tenaga kesehatan.)

Yang juga marak adalah keberadaan yayasan atau LSM yang konsen pada bidang kesehatan. Biasanya berkosentrasi pada isu kesehatan tertentu. Misalnya LSM yang mengaku peduli kanker serviks, wasir, ambien, dan lainnya.

LSM atau yayasan tersebut kerap mengadakan sosialisasi dan penyuluhan. Biasanya yang menjadi peserta sosialisasi adalah ibu-ibu PKK. Pemberi sosialisasi biasanya mengenakan jas berwarna putih.

Setahu saya tidak ada larangan seseorang mengenakan jas putih. Itu bukan seragam militer/terbatas. Tetapi, penggunaan busana itu kerap menimbulkan asosiasi di masyarakat bahwa orang tersebut dokter. Apalagi yang dibincangkan adalah isu kesehatan.

Selain sosialisasi, kerap dilakukan semacam diagnosa ringan. Untuk mengidentifikasi apakah seseorang berpotensi mengidap penyakit tertentu. Kemudian ada tawaran untuk mengikuti pemeriksaan lebih lanjut atau membeli obat (mungkin vitamin).

Apakah praktik sosialisasi semacam itu bisa dikategorikan melanggar aturan kesehatan? Saya kurang paham. Seyogyanya pihak terkait bisa lebih intens memberikan penyuluhan kepada masyarakat. Agar mereka memperoleh layanan kesehatan yang benar, tepat, akurat, serta mendapat pelayanan dari petugas yang memang memiliki kompetensi. ***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun