Nah, di sinilah barangkali letak diskriminasinya. Pada perempuan, akseptor "dipaksa"Â untuk mengikuti program KB, sesaat setelah melahirkan. Dalam hal ini, tidak perlu izin suami.
Tetapi mengapa saat suami ingin ikut program KB harus meminta izin terlebih dahulu kepada istri? Mengapa ada perbedaan perlakuan?
Takut Selingkuh?
Okelah, saya kira kebijakan "izin istri" masuk akal. Mungkin agar suami tidak "tebar benih" di mana-mana setelah proses vasektomi.
Tetapi prosedur "Izin suami" juga harus diterapkan dalam KB untuk perempuan. Jangan ada diskriminasi.
Prosedur "perizinan" bisa dimintakan sebelum persalinan. Sehingga pasutri bisa mendiskusikan pilihannya atas alat kontrasepsi. Jangan sesaat istri melahirkan, baru "dipaksa" mengikuti program KB.
Atau jangan-jangan, ada kesengajaan pihak pemerintah untuk "merepresi" psikologis perempuan yang baru melahirkan agar mau ikut program KB? Karena perempuan kan biasanya.... Ah, pernyataannya bias gender nih he...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H