Bias gender dalam program KB menjadi laten. Eksis tetapi tidak disadari keberadaannya.
Disebut bias gender karena ada perbedaan perlakuan. Diskriminasi itu tidak disadari sehingga terus berlangsung. Atau disadari tetapi diabaikan.
Diskriminasi terjadi dalam hal persyaratan dan pelayanan untuk mengikuti program KB. Diskriminasi berawal dari hulu (perencanaan) yang otomatis mengalir ke muara (teknis pelaksanaan).
Seperti apa diskriminasi dalam program KB? Saya mengetahui bermula dari kisah kawan yang istrinya melahirkan di sebuah rumah sakit pemerintah. Kebetulan, sang suami tak menunggui kelahiran anak ketiganya itu. Dia bahkan berada di luar area rumah sakit. Kebetulan pula, persalinan dilakukan jelang dinihari.
Esok hari, sang istri bercerita kepada suami bahwa semalam pihak rumah sakit menawari pemasangan alat kontrasepsi. "Tetapi saya menolak," bebernya.
Meski sudah ditolak, pihak rumah sakit terkesan "memaksa" dengan ucapan-ucapan bernada menyindir. Di antaranya dengan pernyataan "oh, anaknya baru tiga ya. Oh, masih ingin punya anak lagi, ya?"
Kesan Memaksa
Mengapa pasien (perempuan) "dipaksa" untuk dipasangi alat kontrasepsi saat itu juga? Mengapa tidak menunggu besok misalnya, saat pasien dalam keadaan bugar. Sehingga bisa menentukan pilihan kontrasepsi yang paling tepat bagi dirinya?
Sebuah poster menjawab pertanyaan itu. "Waktu paling tepat untuk mengikuti program KB adalah sesaat setelah proses persalinan." Jadi, menurut poster itu, sebaiknya alat kontrasepsi dipasang seketika setelah proses persalinan. Meski poster itu tidak menjelaskan alasannya.
Laki-laki Beda
Untuk laki-laki, ada juga program KB. Di antaranya vasektomi. Cara kerjanya relatif sama, mencegah sperma bertemu dengan ovum. Caranya dengan mengikat saluran sperma.
Jika ingin ikut, bagaimana caranya? Gampang, datang saja ke lembaga kesehatan yang memberi pelayanan KB.
Tapi ada beberapa syarat untuk mengikuti vasektomi. Di antaranya, menandatangani beragam formulir persetujuan. Termasuk, formulir persetujuan dari istri.
Nah, di sinilah barangkali letak diskriminasinya. Pada perempuan, akseptor "dipaksa"Â untuk mengikuti program KB, sesaat setelah melahirkan. Dalam hal ini, tidak perlu izin suami.
Tetapi mengapa saat suami ingin ikut program KB harus meminta izin terlebih dahulu kepada istri? Mengapa ada perbedaan perlakuan?
Takut Selingkuh?
Okelah, saya kira kebijakan "izin istri" masuk akal. Mungkin agar suami tidak "tebar benih" di mana-mana setelah proses vasektomi.
Tetapi prosedur "Izin suami" juga harus diterapkan dalam KB untuk perempuan. Jangan ada diskriminasi.
Prosedur "perizinan" bisa dimintakan sebelum persalinan. Sehingga pasutri bisa mendiskusikan pilihannya atas alat kontrasepsi. Jangan sesaat istri melahirkan, baru "dipaksa" mengikuti program KB.
Atau jangan-jangan, ada kesengajaan pihak pemerintah untuk "merepresi" psikologis perempuan yang baru melahirkan agar mau ikut program KB? Karena perempuan kan biasanya.... Ah, pernyataannya bias gender nih he...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H