Dikuasai Negara
Langkah pemerintah "meliberalisasi" harga BBM sebenarnya bukan kebijakan pokok. Melainkan hanya bagian dari "langkah besar" untuk melakukan perubahan di bidang industri minyak dan gas.
Sebenarnya, istilah liberalisasi itu masih bisa diperdebatkan. Pencabutan subsidi BBM belum bisa disebut sebagai "liberalisasi". Jika konteksnya adalah, industri migas akan menjadi pasar bebas serta sumber-sumber kekayaan alam tidak lagi dikuasai negara (dan digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat). Lantaran pada situasi ini, industri migas masih dikuasai negara. Adapun frase "digunakan sebesar-besarnya untuk kesejahteraan rakyat", bagi sebagian masyarakat barangkali masih debatabel.
Bukan hanya pada penjualan yang akan diubah, bidang produksi pun akan ditata ulang. Baik pada industri hilir maupun hulu. Langkah ini terbaca dari langkah rezim Jokowi mengajukan rancangan undang-undang (RUU) minyak dan gas (RUU Migas).
Rancangan undang-undang baru ini sudah masuk program legislasi nasional (prolegnas) 2015. Jika disetujui DPR, maka akan menjadi amandemen dari Undang Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi. Meskipun, revisi ini bukan "murni" ide Jokowi tetapi juga merupakan amanat dari Keputusan Mahkamah KOnstitusi yang membatalkan sebagian pasal dalam undang-undang lama.
Salah satu poin penting dalam undang-undang tersebut adalah, seluruh produksi minyak dan gas wajib dijual kepada badan usaha milik negara (BUMN) khusus hilir. Harga jual dari pihak ketiga tersebut sebesar harga plant of development (POD).
Dengan demikian, pihak ketiga tidak memiliki hak menjual minyak dan gas kepada konsumen. Baik kepada konsumen dalam negeri apalagi ekspor. Harga jual pun tidak sama dengan harga pasar, melainkan harga produksi. Adapun keuntungan dari penjualan (selisih harga jual dengan harga produksi) akan menjadi milik negara.
Konsep ini selaras dengan frase "dikuasai negara". Negara (yang dalam hal ini diwakili pemerintah/BUMN) merupakan pemilik dari kekayaan alam berupa migas. Pihak ketiga boleh saja ikut melakukan produksi atau ekspolorasi, namun hanya subordinat dari pemerintah. Ini berbeda dengan sebelumnya yang menggunakan sistem kontrak karya dengan model production sharing contract (PSC) atau bagi hasil.
Dari sini terlihat bahwa, kebijakan baru itu bukan liberalisasi. Malah sebaliknya, "deliberalisasi" karena semakin memperkokoh cengkeraman negara terhadap kekayaan berupa sumber daya alam.
Undang-undang baru ini ini akan membuat pembuatan garis demarkasi yang tebal antara regulator dengan operator. Bidang regulasi akan digawangi penuh oleh pemerintah, dalam hal ini Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).
Adapun Pertamina (dan sejumlah BUMN lain yang akan dibentuk kemudian), bertugas sebagai operator. Posisi Pertamina di sektor hulu akan lebih kuat. Karena badan usaha ini mendapat kesempatan pertama untuk mengelola industri ini. Jika tidak "diambil", baru bisa diserahkan kepada pihak lain.
Dalam pengelolaannya, Pertamina bisa menggandeng pihak ketiga untuk melakukan eksplorasi migas. Pihak ketiga ini bisa badan usaha milik daerah (BUMD), koperasi, usaha kecil, maupun swasta. Konsep ini akan memperluas kesempatan bagi masyarakat untuk ikut melakukan eksplorasi minyak dan gas. Masyarakat mendapat kesempatan seluas-luasnya menikmatik kekayaan alam, bukan hanya dari sisi membeli BBM dengan harga bersubsidi, tetapi juga turut berinvestasi untuk mengolah kekayaan tersebut. Ini akan memperkuat frase "sebesar-besar kemakmuran rakyat."