Mohon tunggu...
Arman Kalean
Arman Kalean Mohon Tunggu... Dosen - Akademisi

Nahdliyin Marhaenis

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Kesalehan Sosial Manusia Perahu Pos

2 Juni 2019   03:16 Diperbarui: 3 April 2020   22:16 176
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tulisan ini tidak bermaksud sedikitpun memberi pemahaman yang mumpuni tentang apa itu kesalehan sosial, apalagi bermaksud hanya berbangga hati dan angkuh dengan beberapa sosok dalam tulisan ini. 

Lebih sebagai bahan perenungan bagi saya pribadi tentang bagaimana berproses menjadi seorang saleh-sosial dalam menjalani aktivitas keseharian saya. Sudah tentu, pembaca akan jauh lebih terpuaskan dari berbagai literatu lain, selain tulisan ringan ini. 

Tulisan ini pun tidak memberi simpulan terhadap lonjakan tiap paragraf satu ke paragraf lainnya, sengaja saya biarkan begitu, dengan harapan selalu ada kalimat yang dapat direnungi dan dianggap pesan kesalehan sosial terkandung di dalamnya.

Tual, Ibu Kota Kabupaten Maluku Tenggara, 1950-1960an. Sebuah kota kecil yang turut melengkapi Republik Indonesia pada usia awal, dan hanya masih terdiri dari beberapa Provinsi. Sebelumnya, Tual memang sudah dikenal jauh lebih lama sebagai sebuah Afdeling[1], menurut beberapa sumber. Tual dengan geografisnya yang kecil memainkan peran sosial tersendiri pada zaman Perunggu, kerajaan Sriwijaya, Majapahit, kolonisasi Belanda, hingga Indonesia pada era Soekarno.

Berbagai hal menarik dan unik dalam lintasan sejarah dapat ditelusuri, telah banyak informasi mengenai keunikan Tual, mulai dari keindahan alam, adat-istiadat, toleransi keagamaan, sampai pada kontestasi perpolitikan. 

Ragam peristiwa yang ditampilkan suatu wilayah, dari masa ke masa memperlihatkan keunikan pola hidup bersosial yang berbeda-beda, termasuk Tual pada masa kepemimpinan Bung Karno.

Pola hidup bersosial antar manusia satu dengan yang lain, semakin hari akan menunjukkan penurunan tingkat kebersamaan seiring dengan menyerabutnya kapitalisme dari segala arah dengan berbagai metode. 

Kota akan sangat mungkin mengalami penurunan pola hidup komunal jika terlalu banyak wilayah urban baru yang tidak tersegregasi lagi seperti pada awal urbanisasi terjadi di wilayah itu, antara satu entitas lokal dan entitas lokal lainnya walaupun mereka sering bertemu di satu Masjid, Gereja, Wihara, Pura, Klenteng, atau tempat ibadah lainnya. 

Boleh jadi beberapa orang bersepakat untuk saling membantu, namun sensitivitas sosial di antara mereka hanya bertahan selama kepentingan bersama tetap terjaga keseimbangannya. Pemakluman seperti ini mulai terlihat dari kehidupan di dalam rumah reyot hingga konsensus temporer di antara parpol. Tual sebagai kota kecil pada rentang waktu itu, belum menunjukkan indikasi sebagaimana Jakarta atau kota besar lainnya di Indonesia hari ini. 

Pada interval tahun itu, jembatan yang menghubungkan pulau Dullah Darat dan pulau Kei Kecil belum sepenuhnya dibangun, saya sendiri pun belum memastikan kapan jembatan yang kemudian dikenal oleh masyarakat kota Tual sebagai jembatan Usdek[2] ini mulai dibangun hingga mengalami dua kali pergantian bentuk. 

Besar kemungkinan, Usdek mulai digagas dan diresmikan dengan model pertama pada masa pemerintahan Bung Karno, mengingat nama itu adalah akronim dari sekian bentuk ide politiknya. 

Jembatan yang menghubungkan kedua pulau dari selat Rosenberg[3] menjadi hal paling vital saat ini, jembatan Usdek menjadi simbol perbatasan eksplisit sekaligus implisit sebelum dan sesudah pemekaran Tual dan Langgur sebagai dua wilayah administrasi yang berbeda. 

Sebelum dibangunnya jembatan, aktivitas sosial, baik ekonomi, politik, pendidikan, atau urusan lainnya, masyarakat menggunakan jasa transportasi berupa Perahu-Pos[4]. Sejenis sampan yang diberi layar, tanpa penyeimbang di kiri dan kanan badan perahu, di beberapa daerah Maluku dan Papua disebut Kole-kole. Terdapat jenis perahu lain yakni Perahu-Bot[5], sepintas terlihat seperti kapal angkut kecil di era Yunani Kuno, namun bentang layarnya tidak dari tengah seperti bentangan petaka, tetapi model layarnya mengikuti bentangan Pinisi dengan segitiga yang menjulang tinggi. Sewaktu SMP, perahu-bot masih sering saya lihat digunakan oleh beberapa penduduk dari Pulau Kur, salah satu cakupan wilayah kota Tual. Penduduk dari pulau Kur yang datang menjual hasil bumi mereka, termasuk panganan khas lokal di pulau itu yakni Lut-lutak[6]. 

Dibutuhkan waktu berhari-hari, bahkan berminggu-minggu untuk sampai ke Tual, cepat dan lambatnya perahu-bot tergantung pada kondisi alam. Dalam perjalanan panjang dan melelahkan itu, perahu-bot juga dilengkapi dengan tungku untuk memasak bekal persediaan yang dibawa. Terkadang, sebelum sampai di Tual, hasil bumi yang hendak dijual sudah lenyap setengah akibat lamanya perjalanan. 

Bermodalkan navigator alami dan peralatan biji mata pada letak bintang, para pelayar ini tetap menikmati perjalanan mereka, di tengah laut biru di antara mereka tetap melaksanakan sholat fardhu. Bahkan dzikir menjadi wajib saat kapal-kapal Yunani Kuno milik mereka mulai berkejaran dengan ganasnya ombak Tanjung Burang, mati di depan mata atau hidup lebih lama lagi sudah tentu diatur oleh Allah SWT, begitulah kira-kira keyakinan mereka.

Sementara itu, perahu-bot dengan model yang sama juga saya lihat ketika jembatan yang menghubungkan desa Dian Darat dan desa Dian Pulau belum terhubung, bedanya di saat itu penduduk di sana selain menggunakan layar, juga telah menggunakan motor ketinting[7] sebagai pengganti tenaga angin. 

Dermaga berukuran kecil di desa Debut dan desa Tetoat digunakan sebagai rute aktif perahu-bot masih dengan layar, para petani dan nelayan yang pada saat itu belum terbiasa dengan tengkulak, membawa sendiri hasil bumi dan hasil laut mereka menyebrangi teluk Sorbay[8] ke Debut, selanjutnya melewati selat Rosenberg untuk ke Tual, dimana pusat keramaian permanen ada di sana.

Karena kebanyakan dari mereka menempuh perjalanan dengan berjalan kaki, maka hasil yang dapat mereka andalkan untuk dijual di pasar adalah hasil bumi dan ikan yang sudah dikeringkan. Perjalanan yang cukup lama, baik dari sebelah Timur ataupun Barat Kei Kecil membutuhkan energi yang tidak sedikit pula. 

Besar keyakinan saya, pada masa itu banyak orang yang berprofesi sebagai petani dan nelayan, sehingga kehidupan komunal masih sangat terasa sekali, amat sangat wajar jika mereka begitu menikmati perjalanan mereka, saling membagi bekal, dan saling curhat tentang akan seperti apa nanti masa depan anak-anaknya kelak. Mungkin saja di tengah perjalanan ketika masuk waktu sholat fardhu, yang Bergama Islam di antara mereka akan berhenti sejenak untuk melaksanakan kewajiban seorang muslim. 

Sesampainya mereka di Watdek, salah satu lokasi di pulau Kei Kecil yang berdekatan dengan pulau Dullah, mereka lalu menyeberang menggunakan jasa perahu-pos menuju titik terdekat yakni Kiom Bawah. 

Dari Kiom Bawah ini, mereka terus mengayunkan langkah kaki menuju ke pasar Tual. Tidak sedikit pula dari mereka yang datang ke Tual dengan persiapan seadanya, mungkin karena kondisi atau entahlah, di antara mereka ada yang menggunakan jasa perahu-pos tanpa membayar di perjalanan penyebrangan ke Tual, nanti setelah kembali baru diselesaikan urusan itu dengan para pendayung perahu-pos.

Di antara sekian pendayung perahu-pos, ada yang memahami benar beratnya perjalanan yang memakan waktu dan tenaga cukup lama tersebut, salah satunya adalah Tete Tobelo[9]. 

Dipanggil seperti itu karena laki-laki pendayung perahu-pos tersebut menikahi isteri pertamanya yang berasal dari Tobelo, salah satu daerah di bagian Maluku Utara. Tete Tobelo selalu mengiyakan siapa pun yang hendak menggunakan jasa perahu-posnya tanpa membayar lebih dulu, bukan hanya petani yang membawa enbal[10], sagu, ubi-ubian, atau kayu bakar, tetapi pada siapa saja. 

Rasa saya, barangkali Tete Tobelo selalu berprasangka baik pada siapa pun yang menggunakan jasa perahu-posnya hendak menyelesaikan urusan penting yang berkaitan dengan putus sambungnya urusan hidup mereka. Bayar, tidak bayar, atau cukup dengan ucapan "Ulil O e"[11], ataupun nanti saja hingga lupa, bagi Tete Tobela itu lumrah-lumrah saja, yang terpenting adalah ikhlas. 

Profesi perahu-pos pun tidak selamanya dilakukan setiap waktu oleh para penduduk yang berada di sekitar Watdek atau Kiom Bawah, di sela-sela aktivitas mendayung pun mereka berkebun di sekitar pulau Dullah Darat, atau di pulau-pulau yang berdekatan, misalnya di pulau Fair yang jaraknya memang berdekatan dengan Kiom Bawah dan juga Watdek. 

Tete Tobelo sendiri memilih berkebun di lokasi yang tidak begitu jauh dari lokasi Polres Tual saat ini, masih berada di wilayah pulau Dullah Darat. Setelah isteri pertamanya meninggal dunia, Tete Tobelo kemudian menikah dengan perempuan peranakan Hindustany (India), mertua laki-laki dari Tete Tobelo ini dikabarkan masuk ke Maluku untuk berdagang sebelum Indonesia merdeka, kemudian menetap hingga akhir hayatnya di Tual. 

Setelah menikah dengan isteri keduanya, Tete Tobelo tetap dikenal dengan panggilan yang sama. Bersama isteri keduanya yang bermarga Nanat[12], bertempat di Kiom Bawah, Tete Tobelo mendirikan sebuah rumah kecil dengan dua petakan. Petakan sebelahnya dengan maksud disewakan, lainnya ditinggali bersama isteri keduanya. 

Pada aktivitas berkebun, jika tiba jam sholat fardhu, misalnya dzuhur, maka dengan sigap Tete Tobelo kembali ke rumahnya yang berada di Kiom Bawah untuk menunaikan sholat dzuhur. Setelah itu, Tete Tobelo balik lagi ke kebun untuk menyelesaikan beberapa pekerjaan yang belum selesai. 

Aktivitas ini telah menjadi siklus tersendiri bagi Tete Tobelo di setiap musim tanam yang baik untuk berkebun, begitu seterusnya hingga tiba jam sholat ashar, Tete Tobelo bergegas lagi kembali menuju rumah. Kehidupan terus berjalan hingga Tete Tobelo dikaruniai anak keduanya, seorang laki-laki.

Suatu ketika, Tete Tobelo sedang menjalankan sholat fardhu, dalam posisi berdiri dan membacakan ayat-ayat suci al-Qur'an, Tete Tobelo mendengar anak kecil laki-lakinya yang sudah mulai paham pembicaraan orang lain itu memanggil-manggilnya,

"Bapa, Bapa, ada tamu." (melangkah di dekat dinding tanpa melihat Ayahnya yang sedang sholat).

Dengan spontan Tete Tobelo menyahut di tengah sholatnya, "Bilang Bapa ada sholat, tunggu sadiki." (menjawab dengan datar sembari tetap pada posisi berdiri, tidak mengurangi sedikitpun gerakan kecuali mulut).

Di lain waktu, Tete Tobelo tetap memilih melaksanakan sholat di rumahnya. Namun kali ini berbeda, Tete Tobelo memilih sholat tepat berhadapan di balik pintu depan rumah, kebetulan pintu depan rumahnya searah kiblat. Dengan maksud jika ada yang mencari Tete Tobelo pada waktu-waktu sholat fardhunya, langsung ketahuan, baik oleh Tete Tobelo sendiri ataupun oleh tamu, mengingat jarak pintu dan posisi sholat Tete Tobela ketika berdiri begitu dekat. Lebih dekat lagi saat sujud, daun pintu tepat di hujung kepala Tete Tobelo.

Makna kekhusyu'an dari Tete Tobelo inilah yang selalu menjadi renungan wajib saya, manakala saya diperhadapkan dengan pilihan-pilihan terhadap pertanyaan bagaimana mendahulukan kepentingan orang lain, bagaimana menjadi abdi bagi banyak orang, bagaimana menjadi ahli manfaat bagi kebaikan siapa saja, dan sekaligus menjadi kerinduan tersendiri bagi saya pribadi pada sosok Tete Tobelo yang tidak lain adalah Kalbahar, Kakek saya yang meninggal dunia di saat Ayah saya masih berusia sangat belia.

al-Fatihah.

Surabaya, 20 April 2016.

Catatan kaki:

[1] Sebutan Belanda untuk menyatakan Kota administratif setingkat Kabupaten yang dipimpin oleh Asisten Residen.

[2] USDEK akronim yang terdiri dari Undang-Undang Dasar 1945, Sosialisme Indonesia, Demokrasi Terpimpin, Ekonomi Terpimpin, dan Kepribadian Indonesia.

[3] Nama selat antara pulau Dullah Darat dan pulau Kei Kecil,  diambil dari nama seorang ahli kartografi Belanda, Carl Benjamin Hermann von Rosenberg.

[4] Perahu ukuran kecil yang digunakan sebagai jasa angkutan penyebrangan antar selat atau pulau yang berdekatan.

[5] Kapal ukuran kecil yang digunakan untuk mengangkut hasil bumi ataupun sebagai angkutan penyebrangan antar pulau di Kepulauan Kei pada saat itu.

[6] Sejenis Sereal lokal yang diolah menggunakan kenari dan enbal, dibungkus menggunakan daun pisang kering.

[7] Mesin motor temple berukuran kecil.

[8] Nama ini menurut tuturan berarti Surabaya, mengingat beberapa leluhur Kei berasal dari Bali. 

[9] Tete adalah panggilan Kakek yang lazim di wilayah Indonesia Timur. 

[10] Enbal, En berarti Ubi, dan Bal berarti Bali. Panganan lokal khas Kepulauan Kei yang dibuat dari tepung olahan singkong racun.

[11] dalam Bahasa Kei, dapat berarti terimakasih.

[12] Merujuk pada Nanak, sebuah kawasan yang sekarang masuk wilayah Pakistan. Memiliki kehidupan sosial-religius seperti Ampel. Mertua Tete Tobelo bernama Abdul Qodir bin Muhammad Assegaf (keturunan ke-41 dari Baginda Rasulullah SAW), karena satu dan lain hal beliau lebih dikenal dengan nama Abdul Qodir Hindustany.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun