1. a. seorang pria yang telah kawin berbuat zina, padahal diketahuinya Pasal 27 BW berlaku baginya.
   b. seorang wanita yang telah kawin, berbuat zina
 2. a. seorang pria yang turut melakukan perbuatan itu, padahal diketahuinya bahwa yang turut melakukan itu telah kawin
   b. seorang wanita yang turut melakukan perbuatan itu, padahal diketahuinya, bahwa yang turut melakukannya itu telah kawin dan    Pasal 27 BW berlaku baginya
KUHP membatasi terjadinya selingkuh parameternya adalah Overspal, berbuat zina, atau berhubungan badan. Jika kita baca penjelasan pasal 284, berhubungan badan itu dilakukan oleh pria yang telah menikah, atau wanita yang telah menikah dilakukan atas dasar suka sama suka (tidak ada paksaan), penjelasan lebih lanjutnya adalah sampai pada tahap ejakulasi.
Persoalan yang muncul kemudian adalah bagaimana jika perselingkuhan itu tidak memenuhi parameter Pasal 284 KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana). Jawaban penulis, masih ada opsi lain dan ini menjadi parameter kedua yaitu ditinjau dari dampak perselingkuhan. Â Â Â Â Â Â
Penulis menggunakan pendekatan dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT). Dalam hal ini penulis mengasumsikan perselingkuhan sebagai alasan melakukan kekerasan. Perselingkuahn menjadi satu rangkaian (causa) dari dilakukannya kekerasan oleh pasangan (terutama pelaku selingkuh).
Penulis menyebutkan diatas pola kedua dilihat dari sudut pandang akibat. Menurut teori kausalitas, setiap akibat ada penyebabnya. Jadi, sebab-sebab terjadinya kekerasan karena perselingkuhan. Jika, perselingkuhan merubah perilaku pasangan, misalnya karena selingkuh pasangan melakukan kekerasan fisik, menelantarkan keluarga, atau karena perselingkuhan menyebabkan pasangan menderita psikis depresi, traumatis, atau deregulasi emosional lainya.
Parameter kekerasan di atur dalam Pasal 1 angka 1 "kekerasan dalam rumah tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologi, dan/atau penelantaran rumah tangga, termasuk ancaman melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.
Bentuk kekerasan diatur dalam Pasal 5 UUÂ PKDRT "setiap orang dilarang melakukan kekerasan dalam rumah tangga, dengan cara:
a. kekerasan fisik