Secara definitif Aborsi diartikan sebagai pengehentian kehamilan secara sengaja. Dikutip dari American Psicology Association, Aborsi adalah tindakan penghentian kehamilan embrio atau janin dari rahim sebelum dapat hidup secara mandiri. Dikutip dari Medical Dictionary Aborsi diartikan sebagai pengehentian kehamilan sebelum janin dapat hidup, sejalan dengan itu istilah Keguguran juga mengacu pada pengehentian kehamilan. Tetapi dalam hal ini Aborsi lebih dimaknai sebagai penghentian kehamilan secara sengaja (menggugurkan) janin.
Aborsi menjadi satu isu yang dibahas dalam kehidupan masyarakat dilatar belakangi oleh pandangan agama, moral, politik, hak asasi dan kesehatan publik (public health grounded). Hal inilah yang saya temukan dalam kasus Dr. Jane Hodson Vs Negara Bagian Minnesota, duduk perkaranya sebagai berukut:
Dr. Jane Hodson, lahir di kota Crookston, negara bagian Minnesota pada 1915 dari dua orang tua ibunya seoarng guru sekolah menengah dan ayah seorang dokter. Ia memulai pendidikan dasar dan menengah di Kota Crookston kemudian melanjutkan pendidikan tinggi Carleton Collage mengambil bidang studi kimia dan matematika. Ia melanjutkan pendidikan tinggi keduanya di Fakultas Kedokteran Universitas of Minnesota.
Karir kedokteran dimulai sebuah klinik di New Jersey kemudian dilanjutkan bekerja di Rochester di Klinik Mayo berjarak 90 Mil dari Minnesota. Setelah bekerja kurang lebih setahun, ia kemudian diminta untuk beralih ke bagian obstetrik dan genkologi (kandungan), ia kemudian menekuni bidang ginekologi. Setelah itu ia meninggalkan Klinik Mayo dan membuka praktek umum selama satu tahun setengah di negara bagian Florida bertemu dengan Dr. Hendry seorang dokter yang berusia delapan puluh tahun di New Syimrina Beach. Akhirnya ia melanjutakan pekerjaan di St. Paul kemudian membuka praktek kedokteran di sana.
Keterlibatan Dr. Jane dengan masalah aborsi dimulai pada dasawarsa 1960-an berdasarkan pada realita undang-undang yang melarang aborsi selama melakukan praktek Ia menyadari bahwa undang-undang anti-aborsi adalah obat yang buruk bagi pasien, terlebih bagi mereka yang mengalami kehamilan usia remaja dan dari kalangan miskin. Dr. Jane melakukan studi kasus aborsi di Minnesota terungkap bahwa hampir 100-150 orang wanita setiap minggunya untuk mencari pelayanan kesehatan (aborsi) di luar Minnesota untuk menghindari undang-undang pelanggaran aborsi yang berlaku.
Realita ini menjadi sebab Dr. Jane Hodson mengajukan gugatan undang-undang anti-aborsi di Minnesota. Ia membutuhkan bahan untuk menguatkan realita ini sebagai bahan pengujian, oleh sebab itu Ia mencari seorang wanita yang bersedia menjadi bahan untuk mengajukan perkara pengujian ini. Kemudian ada seorang wanita bernama Ny. Nancy Widmeyer mengungjungi tempat Dr. Jane Hodson meminta untuk diaborsi karena Ia (Ny. Nancy) telah menderita rubella di awal kehamilannya, tiga orang anaknya menderita rubella ia panik melihat munculnya penyakit ini. Ia kemudian berdiskusi dengan Dr. Jane dan akhirnya ia memutuskan untuk melakukan aborsi.
Sebelum aborsi dilakukan Dr Jane Hodson kemudian menguhubungi Clesgy Counseling Service bahwa Ia telah menemukan orang yang bersedia menjadi bahan pengujian, mereka kemudian mencarikan seorang pengacara yang bersedia menangani perkara tersebut secara gratis. Dr. Jane Hodson bersama-sama kemudian langsung megajukan gugatan di pengadilan federal meminta pernyataan deklarasi bahwa undang-undang anti-aborsi tidak konstitusional dan memberikan hak kepada Dr. Jane Hodson untuk melanjutkan tindakan yang telah diambil dan melakukan aborsi. Dr. Jane juga mendesak pengadilan bahwa waktu merupakan pertimbangan utama dalam kasus ini, karena pasiennya Ny. Nancy sudah memasuki minggu kedua belas dari kehamilannya yang akan menimbulkan resiko lebih besar kalau kehamilannya semakin tua digugurkan.
Kemudian pengadilan federal menolak melakukan apapun atas gugatan Dr. Jane dengan alasan bahwa Ia berada dalam keadaan bahaya diancam oleh undang-undang yang selama ini belum diterapkan sepanjang dokter terlibat didalamnya. Dengan kata lain, setiap orang belum mendukung tindakan aborsi yang Ia ajukan. Alasan itu dapat dimengerti oleh Dr. Jane mengingat hakim yang menolak gugatan itu berasal dari latar belakang agama yang ketat. Dalam suasan bimbang Dr. Jane memutuskan untuk mulai melakukan aborsi tidak lupa Ia berkonsultasi terlebih dahulu dokter di Klinik kesehatan Mayo. Aborsi terhadap Ny. Nancy sukses dan bisa pulang kerumah dalam keadaan sehat wal-afiat.
Sekitar akhir bulan April Dr. Jane dituduh melakukan tindakan aborsi ilegal, Polisi mendatangi rumahnya melakukan sesuai dengan prosedur tersangka. Tuduhan ini kemudian disidangkan pada bulan Oktober 1970. Persidangan dipimpin oleh Hakim Plungkett tanpa dihadiri oleh dewan juri. Dr. Jane kemudian dihukum bersalah dan divonis tiga puluh hari penjara, dan hukuman percobaan selama satu tahun, keputusan ini kemudian diajukan banding. Pengadilan banding Minnesota kemudian memutuskan mencabut hukuman yang dijatuhkan oleh pengadilan distrik atas Dr. Jane.
Bahwa dari kasus Dr. Jane kita dapat mengambila suatu gambaran tentang isu Aborsi cenderung dibahas dari segi tinjauan hukum alih-alih medis, mengarah pada penalisasi atau pendekatan pemidanaan atas tindakan aborsi. Sistem hukum yang ketat membuat aborsi banyak dilakukan secara ilegal setidaknya dari kasus Dr. Jane karena secara normatif undang-undang menentukan aborsi dalam bentuk dan alasan apapun adalah ilegal.
Indonesia sendiri awalnya merespon isu aborsi dengan menggunakan pendekatan pemidanaan, hal ini dapat dilihat dari aturan-aturan ketat tentang aborsi dalam beberapa undang-undang antara lain
Pada Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
                                                          Pasal 346
Seorang wanita dengan sengaja menggugurkan atau mematikan kandungannya atau menyuruh orang lain mematikan itu, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun.
                                                          Pasal 347
(1)  Barang siapa menggugurkan atau mematikan kandungan seorang wanita tanpa persetejuannya diancam dengan pidana penjara          paling lama dua belas tahun;
(2) Â Jika perbuatan itu menyebabkan matinya wanita tersebut diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun.
                                                          Pasal 348
(1)  Barang siapa dengan sengaja menggugurkan atau mematikan kandungan seorang wanita dengan persetujuannya, diancam dengan       pidana penjara paling lama lima tahun enam bulan.
(2) Â Jika perbuatan itu menyebabkan matinya wanita tersebut, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun.
                                                         Pasal 349
Jika seorang dokter, bidan atau juru obat membantu melakukan kejahatan berdasarkan Pasal 346, ataupun melakukan atau membatu melakukan salah satu kejahatan yang diterangkan dalam Pasal 347 dan 348, maka pidana yang ditentukan dalam Pasal itu dapat ditambah dengan sepertiga dan dapat dicabut hak untuk menjalankan pencarian dalam mana kejahatan dilakukan.
Pendekatan yang dibangun dalam KUHP Lama (Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946) masih berpegang pada kebijakan penalisasi tanpa memberikan ruang atau pengecualian pada tindakan aborsi, dengan demikian apapun yang menjadi motif melakukan aborsi dikenakan pidana baik terhadap wanita yang menghentikan kehamilannya, pihak yang terlibat seperti menyuruh, membantu melakukan aborsi baik tenaga medis seperti dokter, bidan, apoteker, atau melalui metode tradisional dengan persetujuan wanita tersebut atau tidak dengan persetujuannya.
Suatu realita bahwa aborsi tidak hanya berpola pada diskursus normatif tetapi perdebatannya sangat kompleks meliputi aspek agama, moralitas, politik, hak asasi manusia, dan kesehatan publik. Problematika ini berdampak pada kebijakan hukum terkait legalitas aborsi, seperti pada kasus yang telah disebutkan diawal.
Di indonesia legalisasi aborsi (dibolehkan) Â baru dapat terlihat melalui kebijakan hukum pada Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan yaitu legal hanya karena dua alasan diatur dalam Pasal 75
1.  Indikasi kedaruratan medis yang dideteksi sejak usia dini kehamilan, baik yang mengacam nyawa ibu dan/atau janin, yang menderita    penyakit genetik berat dan/atau cacat bawaan, maupun yang tidak dapat diperbaiki sehingga menyulitkan bayi tersebut hidup diluar     kandungan; atau
2. Â Kehamilan karena pemerkosaan yang dapat menyebabkan trauma psikologis bagi korban pemerkosaan.
Untuk menentukan adanya indikasi kedaruratan medis dilakukan oleh tim kelayakan aborsi yang terdiri paling sedikit dua orang tenaga kesehatan yang diketuai oleh seorang dokter yang memiliki kompetensi dan kewenangan diatur dalam Pasal 33 ayat (1) dan (2). Sementara aborsi kehamilan karena pemerkosaan dibuktikan dengan keterangan dokter, keterangan penyidik dan keterangan psikolog, dan/atau ahli lain mengenai adanya duganaan pemerkosaan.
Apabila kita cermati maka pola yang terbaca pada kebijakan hukum aborsi dalam sistem regulasi di Indonesia sebagai berikut
1. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
   "aborsi merupakan tindakan ilegal, tidak ada pengecualian"
2. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan
  "dikecualiakan pada dua hal yaitu; (1) indikasi darurat medis, (2) kehamilan akibat pemerkosaan"
3. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan
  "disesuaikan dengan ketentuan dalam KUHP"
4. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang KUHP
   "mengikuti pola dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009, legal karena dua kondisi yaitu; (1) indikasi darurat medis, (2) korban     pemerkosaan atau tindak pidana kekerasan seksual lainnya"
Menurut penulis ini merupakan respon yang positif atas realita tindakan aborsi dalam kehidupan masyarakat, yang mana awalnya aborsi merupakan tindakan ilegal apapun motifnya, hal ini menjadi tekanan bagi perempuan yang memerlukan tindakan aborsi sebab itu mereka akan lari ke tempat aborsi yang berbahaya bagi keselamatan perempuan itu. Fakta lain adalah banyak kehamilan yang tidak diinginkan seperti korban pemerkosaan yang berakhir pada pemaksaan perkawinan dengan dalil tanggung jawab dan nama baik keluarga dimata masyarakat, menempatkan perempuan dalam posisi yang merugi dalam hal ini. Akhirnya penulis menegaskan bahwa secara yuridis aborsi dilarang dan diancam dengan pidana baik pelaku, pihak yang menyuruh, dan pihak yang membantu melakukan aborsi. Tapi, terdapat pengecualian dimana aborsi adalah legal dan tidak dapat dipidana dengan alasan, karena indikasi darurat medis yang mengancam nyawa ibu dan/atau janin, yang menderita penyakit genetik berat, dan/atau cacat bawaan maupun yang tidak dapat diperbaiki sehingga menyulitkan bayi itu hidup diluar kandungan, ambil kasus dari Dr. Jane Hodson karena alasan penyakit menular rubella. Atau karena pemerkosaan atau kekerasan seksual lainnya menyebabkan kehamilan yang tidak diingikan oleh korban (perempuan) secara yuridis dikecualikan aborsi legal dilakukan dengan catatan dilakukan melalui fasilitas pelayanan kesehatan yang memenuhi syarat, dilakukan oleh tenaga medis dibantu dengan tenaga kesehatan yang memiliki kompetensi dan kewenangan, serta syarat lain yang ditentukan oleh undang-undang. Dengan keluesan hukum yang tersedia diharapkan aborsi secara legal dan aman serta menghindari aborsi ilegal tidak aman yang memiliki resiko terhadap keselamatan.
Referensi:
Peter Irons. Enam Belas Warga Amerika Yang Memperjuangkan Perkara Hingga Ke Mahkamah Agung. Bandung. Angksa. 1996.
American Association Psicology. https://dictionary.apa.org/abortion.
MedicalDictionary.https://medicaldictionary.thefreedictionary.com/abortion.
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang KUHP
Noted: Artikel ini sewaktu-waktu dapat direvisi apabila ada kebaruan atau kritik dan saran dari pembaca.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H