Mohon tunggu...
Kalasok
Kalasok Mohon Tunggu... -

Melihat dari sisi lain yang berbeda

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Hati-hati, Media Memanipulasi Pikiran dengan 10 Cara Ini

4 Februari 2018   00:01 Diperbarui: 4 Februari 2018   00:10 2088
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Indonesia - Tahukah Anda jika sejumlah media termasuk media berita berusaha memanipulasi pikiran dan penilaian masyarakat untuk tujuan tertentu?

Masyarakat, disadari atau tidak telah menjadi korban dari manipulasi pikiran yang dilakukan sejumlah media termasuk media berita arus utama (mainstream).  Manipulasi sendiri adalah upaya untuk memengaruhi perilaku, sikap, dan pendapat orang lain tanpa orang itu menyadarinya.

Dua tujuan umum yang menjadi alasan di balik manipulasi pikiran oleh media adalah politik dan ekonomi - kemungkinan juga ada tujuan lainnya.

Perang Suriah, konflik Israel-Palestina, hingga krisis di Myanmar tidak luput dari kepentingan politik dan ekonomi kelompok atau negara tertentu dengan menggunakan media untuk memanipulasi pikiran masyarakat dunia .

Di sisi lain, di era digital yang kompetitif ini, media berita berlomba-lomba menarik banyak pembaca agar dapat menarik keuntungan dari iklan yang ditayangkan. Untuk itu sesuatu yang menarik harus disuguhkan, apa pun caranya termasuk dengan memanipulasi pikiran agar konsumen mau terus setia membaca apa yang mereka suguhkan.  

Menurut Noam Chomsky, seorang profesor linguistik dari Institut Teknologi Massachusetts, Amerika Serikat, yang hampir 30 tahun lalu menulis tentang strategi manipulasi yang digunakan media,  ada 10 cara atau strategi bagaimana media memanipulasi pikiran masyarakat.

Apa saja 10 strategi tersebut?

1. Membuat pengalihan
Strategi dasar pengendalian sosial adalah strategi pengalihan yang mengalihkan perhatian publik dari isu penting dan perubahan penting yang ditentukan oleh elit politik dan ekonomi, dengan cara membanjiri masyarakat dengan informasi dan berita-berita yang tidak penting secara terus menerus. Cara ini juga mencegah masyarakat untuk tertarik dengan pengetahuan penting seperti, sains, ekonomi, psikologi, neurobiologi, dan sibernetik.

Media arus utama ternama yang menjadi "boneka" dari kelompok, organisasi, negara tertentu, akan berusaha mengalihkan perhatian masyarakat dunia terhadap masalah serius yang sedang mereka hadapi dengan menyajikan lebih berita dari negara lain, membahas hal remeh-temeh hingga beropini dan ikut campur urusan dalam negeri negara lain . 

2. Buat masalah, lalu ajukan solusi

Cara ini disebut "masalah-reaksi-solusi". Strategi ini dilakukan untuk membuat sebuah masalah, sebuah “situasi” yang bertujuan untuk menyebabkan reaksi masyarakat, kemudian mengajukan solusi yang harus mau tidak mau diterima oleh masyarakat.  Sebagai contoh: atur sebuah demo terhadap penutupan jalan, kemudian berikan solusi lain kepada pendemo sehingga berkesan pendemo menyetujuinya sehingga penutupan jalan tesebut tetap dilanjutkan tanpa ada protes lagi dari masyarakat lain. 

Contoh lain, umbar kekerasan dalam masyarakat atau atur sebuah serangan berdarah terselubung yang bertujuan agar masyarakat mau menerima undang-undang dan kebijakan kemananan yang merugikan kebebasan.

3.  Strategi bertahap
Untuk membentuk opini tertentu, memanipulasi pemikiran, media menerbitkan materi secara bertahap. Strategi ini digunakan untuk membentuk citra seseorang, produk, atau acara. Agar sesuatu diterima di kalangan tertentu, cukup menerapkannya secara bertahap, setetes demi setetes, selama bertahun-tahun berturut-turut. 

Misalnya, di media negara yang berbeda, hanya merek makanan tertentu yang disebutkan. Contoh paling jelas dari penggunaan media promosi mungkin adalah mempopulerkan merokok di pertengahan abad ke-20. Contoh di masa sekarang, media-media berita memberitakan topik yang berkaitan dengan peristiwa yang sama tiap hari – berbeda tapi sama intinya.  

4. Strategi menunda

Strategi ini adalah cara agar masyarakat menerima kebijakan yang tidak populis dengan mengatakan bahwa "kebijakan ini menyakitkan tapi perlu dilakukan di masa depan".  Strategi  ini digunakan berdasarkan kecenderungan masyarakat yang selalu lebih mudah menerima untuk mengorbankan kepentingan hari esok daripada mengorbankan kepentingan hari ini. 

Hal ini memberi  masyarakat lebih banyak waktu untuk terbiasa dengan kebijakan  tersebut dan menerimanya dengan pasrah saat waktunya tiba. Contohnya termasuk dalam referendum kemerdekaan atau kediktatoran di negara-negara berkembang, berdasarkan propaganda dan otoritarianisme.

5. Strategi tak berdosa
Sebagian besar periklanan untuk masyarakat umum menggunakan bahasa, argumen, intonasi anak-anak, seringkali mendekati hal-hal yang lemah, seolah-olah itu adalah penampilan anak kecil atau orang dengan keterbelakangan mental.  Dengan memberi kesan seperti itu maka masyarakat menjadi tidak kritis terhadap apa yang disampaikan.

Media berita memiliki  nada suara atau kalimat yang berkesan melindungi (seperti bapak atau ibu yang bijaksana) karena mengklaim diri mereka  pasti tahu lebih banyak dari kita. Sekali lagi agar masyarakat menjadi tidak kritis terhadap apa yang disampaikan.

6. Strategi gunakan emosi daripada logika
Menggunakan aspek emosi adalah teknik klasik yang menyebabkan tumpulnya pemikiran kritis individu. Berita dan emosi selalu berjalan bersama, dan tidak ada yang bagus dari itu. Emosi tidak membiarkan masyarakat melihat fakta secara kritis dan obyektif.  Emosi menghalangi  bagian rasional dari pikiran masyarakat. Hal ini sering menyebabkan distorsi  realitas. Semakin menggugah emosi semakin banyak masyarakat mengakses  media tersebut, semakin media mendapat keuntungan dari iklan yang ditayangkan.

Sebagai contoh, banyak tayangan TV berkesan "realita" seperti "Rumah si Anu" yang menawarkan solusi hubungan kekasih dengan mengeksploitasi emosi sehingga banyak masyarakat khususnya kaum perempuan yang menyukainya.

Contoh lain, dalam konflik Israel-Palestina, banyak  media berita yang menggunakan banyak judul-judul dan foto-foto korban  warga Palestina yang mengundang emosi, tapi tidak banyak judul dan foto  yang mengundang emosi dari korban warga Israel di tampilkan media arus utama yang beraliansi dengan negara-negara mayoritas berpenduduk Muslim. 

Begitu juga dengan  krisis di Myanmar. Media-media berita negara Muslim mengumbar foto-foto yang  mengundang emosi dari etnis Benggala yang mengklaim diri sebagai  Rohingya, tapi tidak pernah menampilkan kelompok etnis Myanmar lain yang  menderita. Lucunya, terpengaruh media, Mehmet Simsek (Wakil Perdana Menteri  Turki) dan Tifatul Sembiring (mantan Menkoinfo Indonesia) sempat  ikut-ikutan menggunakan foto-foto hoax di media sosial dalam menangapi  krisis Myanmar.

Lagi, dalam perang Suriah, semua media berita arus utama khususnya yang mengusung kepentingan dunia Barat dengan sekutunya di Timur Tengah terus-menerus memberitakan jatuhnya korban, seperti anak-anak dan wanita yang mereka klaim akibat serangan pemerintah Bashar al-Assad, tapi tidak pernah memberitakan korbat akibat serangan pemberontak Suriah.

Masyarakat dunia seakan-akan  dibuat seperti ketagihan opium dengan menggunakan emosi.

getty images
getty images
[Foto penderitaan etnis Rakhine yang berada dipengungsian sementara akibat serangan teroris Rohingya ini tidak menjual karena dianggap kurang menimbulkan emosi sehingga tidak menjadi viral. Sumber: gettyimages - AFP]

7. Jaga agar masyarakat tidak tahu
Strategi ini adalah untuk membuat masyarakat tidak mampu mengetahui apa yang terjadi sebenarnya sehingga bersikap biasa-biasa saja.  Hal ini bertujuan agar pemikiran masyarakat tidak beralih kepada kebenaran yang merugikan kelompok atau negara tertentu, dan termasuk media itu sendiri. 

Media dan pemerintah bisa memanipulasi masyarakat jika masyarakat tidak mendapatkan informasi karena tidak mengetahui caranya. Strateginya cukup dengan tidak memberitakan apa yang terjadi. Di era digital saat ini memang memberi kita kesempatan untuk menemukan informasi yang kita butuhkan, tapi tidak semua informasi tersebut dapat diakses, sebut saja karena perbedaan bahasa.

Sebagai contoh, krisis Myanmar Agustus 2017, terjadi diawali dengan serangan terorganisir teroris Rohingya (ARSA) terhadap 30 pos keamanan, yang menyebabkan warga berbagai etnis menghuni termasuk mereka yang megklaim diri sebagai Rohingya. Namun, media berita arus utama (khususnya di Indonesia) tidak memberitakan luas dan gencar penyebab awal peristiwa ini. Media hanya gencar memberitakan dampak dan hasil dari serangan itu yang berupa mengungsinya warga, dan itu hanya tertuju pada satu komunitas etnis saja.  Tujuannya jelas, mempertahankan emosi masyarakat (komunitas tertentu) agar tetap setia membaca/menonton media. 

Media tahu apa yang ingin didengar atau dibaca oleh masyarakat. Faktanya, masyarakat lebih tertarik dengan berita jatuhnya korban dari kelompok yang sama (suku, agama, ras, antar golongan) dengan mereka dibanding dengan berita dari pelaku kejahatan yang berasal dari kelompok yang sama dengan mereka. Kultur yang sama dengan Bangaldesh atau Arab Saudi, membuat media di Indonesia tidak gencar (bahkan diam) dalam memberitakan penganiayaan dan pemerkosaan minoritas di Bangladesh atau diskriminasi agama di Arab Saudi. Tapi perilaku media di Indonesia berbeda saat kultur negaranya berbeda dengan Indonesia.

8. Mendorong untuk menyukai produk berkualitas abal-abal 
Strategi lainnya adalah mendorong masyarakat menyukai sesuatu yang tidak bermutu. Media benar-benar menikmati untuk mengatakan secara terselubung kepada masyarakat bahwa menjadi bodoh, vulgar, dan kasar itu adalah sesuatu yang keren. Inilah sebabnya mengapa kita memiliki begitu banyak acara TV, komedi situasi, film yang berserial, tabloid, dan sebagainya.

Banyak tayangan-tayangan TV di Indonesia yang menyajikan  yang mengedepankan emosi, kasar, tidak mendidik, bersifat hayal, seperti "Katakan Anu", "Rumah si Anu", "Pemburuan Hantu", dsb. Mereka bukan hanya untuk tujuan rekreasi tapi juga bisa mengalihkan perhatian dari masalah yang benar-benar serius.

9. Strategi menyalahkan diri sendiri
Strategi ini bertujuan untuk membuat masyarakat atau kelompok tertentu menyalahkan diri mereka sendiri atas masalah lokal dan global. Pemberitaan yang menyudutkan masyarakat atau kelompok tertentu dengan tujuan masyarakat atau kelompok tersebut menyalahkan diri mereka sendiri atas perang yang dimulai oleh pemerintah atau oleh kelompok lain, dan bukannya oleh mereka. Strategi ini biasa digunakan untuk menekan kelompok minoritas di suatu negara agar tidak terjadi pergolakan dan di bawah kendali mayoritas.

Dengan berhasil membuat masyarakat menyalahkan diri mereka sendiri atas suatu peristiwa, mereka menjadi despresi, putus asa sehingga akhirnya menghambat aksi mereka. Dan tanpa aksi maka tidak ada revolusi.

10. Klaim serba tahu
Media memposisikan diri mereka sebagai yang paling tahu segalanya dan mereka sering keluar batas dari yang seharusnya. Sebagai contoh, pada 2017 terjadi perseteruan antara sejumlah media Amerika Serikat dengan Presiden AS Donald Trump. Sejumlah media seperti TIME, CNN, New York Time, dan ABC News menyebarkan berita yang salah mengenai Donald Trump. Salah satu contoh, CNN menyebarkan berita yang salah mengenai Anthony Scaramucci, yang saat itu menjadi Direktur Komunikasi Gedung Putih, yang berakhir dengan berhentinya 3 jurnalis CNN.  

Klaim serba tahu ini membuat media arus utama menjadi arogan. Sebagai contoh, BBC, perusahaan penyiaran asal Inggris ini memiliki sederetan kritikan untuk pemberitaannya yang bersifat rasis hingga bias informasi.

Strategi manipulasi pikiran di atas memiliki penanggulangannya yang dapat dipelajari dan digunakan oleh masyarakat sipil dan LSM.

---

Referensi:  
Sylvain Timsit, Top 10 Media Manipulation Strategies, Paris. 21 September 2010.
My24 - Informasi dan Tips Gaya Hidup Tanpa Hoax
Martin A. Lee, Unreliable Sources: A Guide to Detecting Bias in News Media, Carol Publishing Group, New York, 1990.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun