Contoh lain, umbar kekerasan dalam masyarakat atau atur sebuah serangan berdarah terselubung yang bertujuan agar masyarakat mau menerima undang-undang dan kebijakan kemananan yang merugikan kebebasan.
3. Â Strategi bertahap
Untuk membentuk opini tertentu, memanipulasi pemikiran, media menerbitkan materi secara bertahap. Strategi ini digunakan untuk membentuk citra seseorang, produk, atau acara. Agar sesuatu diterima di kalangan tertentu, cukup menerapkannya secara bertahap, setetes demi setetes, selama bertahun-tahun berturut-turut.Â
Misalnya, di media negara yang berbeda, hanya merek makanan tertentu yang disebutkan. Contoh paling jelas dari penggunaan media promosi mungkin adalah mempopulerkan merokok di pertengahan abad ke-20. Contoh di masa sekarang, media-media berita memberitakan topik yang berkaitan dengan peristiwa yang sama tiap hari – berbeda tapi sama intinya. Â
4. Strategi menunda
Strategi ini adalah cara agar masyarakat menerima kebijakan yang tidak populis dengan mengatakan bahwa "kebijakan ini menyakitkan tapi perlu dilakukan di masa depan".  Strategi  ini digunakan berdasarkan kecenderungan masyarakat yang selalu lebih mudah menerima untuk mengorbankan kepentingan hari esok daripada mengorbankan kepentingan hari ini.Â
Hal ini memberi  masyarakat lebih banyak waktu untuk terbiasa dengan kebijakan  tersebut dan menerimanya dengan pasrah saat waktunya tiba. Contohnya termasuk dalam referendum kemerdekaan atau kediktatoran di negara-negara berkembang, berdasarkan propaganda dan otoritarianisme.
5. Strategi tak berdosa
Sebagian besar periklanan untuk masyarakat umum menggunakan bahasa, argumen, intonasi anak-anak, seringkali mendekati hal-hal yang lemah, seolah-olah itu adalah penampilan anak kecil atau orang dengan keterbelakangan mental. Â Dengan memberi kesan seperti itu maka masyarakat menjadi tidak kritis terhadap apa yang disampaikan.
Media berita memiliki  nada suara atau kalimat yang berkesan melindungi (seperti bapak atau ibu yang bijaksana) karena mengklaim diri mereka  pasti tahu lebih banyak dari kita. Sekali lagi agar masyarakat menjadi tidak kritis terhadap apa yang disampaikan.
Menggunakan aspek emosi adalah teknik klasik yang menyebabkan tumpulnya pemikiran kritis individu. Berita dan emosi selalu berjalan bersama, dan tidak ada yang bagus dari itu. Emosi tidak membiarkan masyarakat melihat fakta secara kritis dan obyektif.  Emosi menghalangi  bagian rasional dari pikiran masyarakat. Hal ini sering menyebabkan distorsi  realitas. Semakin menggugah emosi semakin banyak masyarakat mengakses  media tersebut, semakin media mendapat keuntungan dari iklan yang ditayangkan.
Sebagai contoh, banyak tayangan TV berkesan "realita" seperti "Rumah si Anu" yang menawarkan solusi hubungan kekasih dengan mengeksploitasi emosi sehingga banyak masyarakat khususnya kaum perempuan yang menyukainya.
Contoh lain, dalam konflik Israel-Palestina, banyak  media berita yang menggunakan banyak judul-judul dan foto-foto korban  warga Palestina yang mengundang emosi, tapi tidak banyak judul dan foto  yang mengundang emosi dari korban warga Israel di tampilkan media arus utama yang beraliansi dengan negara-negara mayoritas berpenduduk Muslim.Â