Mohon tunggu...
Kalasok
Kalasok Mohon Tunggu... -

Melihat dari sisi lain yang berbeda

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Hati-hati, Media Memanipulasi Pikiran dengan 10 Cara Ini

4 Februari 2018   00:01 Diperbarui: 4 Februari 2018   00:10 2088
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Begitu juga dengan  krisis di Myanmar. Media-media berita negara Muslim mengumbar foto-foto yang  mengundang emosi dari etnis Benggala yang mengklaim diri sebagai  Rohingya, tapi tidak pernah menampilkan kelompok etnis Myanmar lain yang  menderita. Lucunya, terpengaruh media, Mehmet Simsek (Wakil Perdana Menteri  Turki) dan Tifatul Sembiring (mantan Menkoinfo Indonesia) sempat  ikut-ikutan menggunakan foto-foto hoax di media sosial dalam menangapi  krisis Myanmar.

Lagi, dalam perang Suriah, semua media berita arus utama khususnya yang mengusung kepentingan dunia Barat dengan sekutunya di Timur Tengah terus-menerus memberitakan jatuhnya korban, seperti anak-anak dan wanita yang mereka klaim akibat serangan pemerintah Bashar al-Assad, tapi tidak pernah memberitakan korbat akibat serangan pemberontak Suriah.

Masyarakat dunia seakan-akan  dibuat seperti ketagihan opium dengan menggunakan emosi.

getty images
getty images
[Foto penderitaan etnis Rakhine yang berada dipengungsian sementara akibat serangan teroris Rohingya ini tidak menjual karena dianggap kurang menimbulkan emosi sehingga tidak menjadi viral. Sumber: gettyimages - AFP]

7. Jaga agar masyarakat tidak tahu
Strategi ini adalah untuk membuat masyarakat tidak mampu mengetahui apa yang terjadi sebenarnya sehingga bersikap biasa-biasa saja.  Hal ini bertujuan agar pemikiran masyarakat tidak beralih kepada kebenaran yang merugikan kelompok atau negara tertentu, dan termasuk media itu sendiri. 

Media dan pemerintah bisa memanipulasi masyarakat jika masyarakat tidak mendapatkan informasi karena tidak mengetahui caranya. Strateginya cukup dengan tidak memberitakan apa yang terjadi. Di era digital saat ini memang memberi kita kesempatan untuk menemukan informasi yang kita butuhkan, tapi tidak semua informasi tersebut dapat diakses, sebut saja karena perbedaan bahasa.

Sebagai contoh, krisis Myanmar Agustus 2017, terjadi diawali dengan serangan terorganisir teroris Rohingya (ARSA) terhadap 30 pos keamanan, yang menyebabkan warga berbagai etnis menghuni termasuk mereka yang megklaim diri sebagai Rohingya. Namun, media berita arus utama (khususnya di Indonesia) tidak memberitakan luas dan gencar penyebab awal peristiwa ini. Media hanya gencar memberitakan dampak dan hasil dari serangan itu yang berupa mengungsinya warga, dan itu hanya tertuju pada satu komunitas etnis saja.  Tujuannya jelas, mempertahankan emosi masyarakat (komunitas tertentu) agar tetap setia membaca/menonton media. 

Media tahu apa yang ingin didengar atau dibaca oleh masyarakat. Faktanya, masyarakat lebih tertarik dengan berita jatuhnya korban dari kelompok yang sama (suku, agama, ras, antar golongan) dengan mereka dibanding dengan berita dari pelaku kejahatan yang berasal dari kelompok yang sama dengan mereka. Kultur yang sama dengan Bangaldesh atau Arab Saudi, membuat media di Indonesia tidak gencar (bahkan diam) dalam memberitakan penganiayaan dan pemerkosaan minoritas di Bangladesh atau diskriminasi agama di Arab Saudi. Tapi perilaku media di Indonesia berbeda saat kultur negaranya berbeda dengan Indonesia.

8. Mendorong untuk menyukai produk berkualitas abal-abal 
Strategi lainnya adalah mendorong masyarakat menyukai sesuatu yang tidak bermutu. Media benar-benar menikmati untuk mengatakan secara terselubung kepada masyarakat bahwa menjadi bodoh, vulgar, dan kasar itu adalah sesuatu yang keren. Inilah sebabnya mengapa kita memiliki begitu banyak acara TV, komedi situasi, film yang berserial, tabloid, dan sebagainya.

Banyak tayangan-tayangan TV di Indonesia yang menyajikan  yang mengedepankan emosi, kasar, tidak mendidik, bersifat hayal, seperti "Katakan Anu", "Rumah si Anu", "Pemburuan Hantu", dsb. Mereka bukan hanya untuk tujuan rekreasi tapi juga bisa mengalihkan perhatian dari masalah yang benar-benar serius.

9. Strategi menyalahkan diri sendiri
Strategi ini bertujuan untuk membuat masyarakat atau kelompok tertentu menyalahkan diri mereka sendiri atas masalah lokal dan global. Pemberitaan yang menyudutkan masyarakat atau kelompok tertentu dengan tujuan masyarakat atau kelompok tersebut menyalahkan diri mereka sendiri atas perang yang dimulai oleh pemerintah atau oleh kelompok lain, dan bukannya oleh mereka. Strategi ini biasa digunakan untuk menekan kelompok minoritas di suatu negara agar tidak terjadi pergolakan dan di bawah kendali mayoritas.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun