Waktu! Pengikat!
Sabarlah, jangan engkau membatu
Tak ingin aku lihat, lihat!
Wah, kita mulai memasuki masa psychedelic-nya Kala. Puisi 16. Bunga adalah puisi kedua (yang pertama adalah 12. Mereka yang Tertinggal) yang bentuknya tidak dapat sempurna karena keterbatasan media penyampaian. Tapi tidak seperti 12. Mereka yang Tertinggal yang sebenarnya hanyalah puisi yang diulang-ulang, 16. Bunga agak spesial karena dia bukanlah puisi visual biasa.
Harusnya, puisi ini disampaikan dengan cara yang mungkin masih mustahil untuk zaman sekarang. Puisi ini harus disampaikan secara langsung ke otak, sebagai fragmen imaji penuh warna yang hilang-muncul di otak. Seakan-akan seperti sedang memakai narkoba, 16.Â
Bunga muncul dalam benakku layaknya kembang api warna. Tapi lucunya, dari letusan warna-warna tersebut, aku dapat menginterpretasikannya ke dalam kata-kata yang kemudian tersusun menjadi puisi.Â
Begitu pula seharusnya penyampaian puisi ini ke orang-orang: langsung ke otak sebagai imaji, berupa ledakan-ledakan warna yang dapat diartikan menjadi kata-kata yang sama persis seperti yang ada di puisi ini. Ya, Kala suka mengada-ngada, dan bahkan kadang kala Kala suka bingung apakah ia masih waras atau tidak.
Secara struktur, 16. Bunga pun sudah enak seperti puisi-puisiku yang dibuat di Rusia. Tiga bait dengan empat baris, dengan rima ABAB. Seperti biasa, Kala pun memperhitungkan jumlah suku kata, dan per baitnya, pola suku kata adalah 2-5-10-9, yang mungkin tidak serapih yang diekspektasikan, tetapi setidaknya berulang dalam tiga bait tersebut.
 Omong-omong, siap-siap bahwa beberapa puisi kedepan sifatnya akan sedikit...mengada-ngada. Maafkan Kala kala periode awalnya di Rusia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H