Bulan, bulan, bintang, bintang
malaikat, malaikat, bidadari, bidadari
dengarkan aku, dengarkan sayang
kaulah cintaku, oh hatiku berlari
Â
Malam, malam, angin, angin
tidur sayang, tidur cinta, tidur sayang, tidur cinta
ku 'kan menjaga, ku 'kan menjalin
benang yang tulus, oh walau tak kentara
Aku mengingat puisi ini dengan jelas. Ini puisi tahun 2008, yang kubuat pada ulang tahunku tanggal tiga Maret. Hingga Loka Loka disusun dan puisi-puisi baru yang lebih keren muncul dari buah pikiranku, 12. Mereka yang Tertinggal adalah puisi terbaikku sepanjang masa. Tidak hanya karena ada rima ABAB, tetapi judul puisi ini yang membuat puisi ini bukan puisi ninabobo ataupun puisi cinta. Puisi ini adalah puisi kematian.
Pertama, 12. Mereka yang Tertinggal mempunyai dua baris pertama yang diulang; bulan, bintang, malaikat, bidadari, malam, angin, tidur sayang, dan tidur cinta. Sebenarnya, konsep yang aku inginkan adalah bagaimana semua kata tersebut diulang terus menerus tanpa batas (dan jelas mengulang kata-kata tanpa batas akan membuat puisi ini menjadi puisi terpanjang di alam semesta). Malah sebenarnya, seluruh puisi ini, setelah kamu selesai membacanya, perlu dibaca lagi. Dua kali, tiga kali, empat kali, seratus kali, dan seterusnya. Karena sebenarnya, puisi ini adalah dzikir, yang diucapkan oleh mereka yang tertinggal.
Puisi ini adalah bentuk denial orang-orang yang ditinggalkan orang-orang tercinta mereka. Puisi ini adalah tahap pertama dari five stages of grief yang digagaskan oleh model dari seorang psikiater bernama Elisabeth Kbler-Ross (yang kemudian mendapat kritikan dahsyat dari Profesor Robert J. Kastenbaum karena modelnya mbak Elisabeth tidak mempunyai bukti empiris yang kuat maupun cukup). Bentuk asli puisi ini adalah pengulangan kata-kata kasih, cinta, sayang kepada orang-orang yang telah pergi. Bagaimana mereka dicintai, bagaimana mereka dijaga, bagaimana mereka masih terikat dengan orang-orang yang ditinggalkan dengan benang jiwa nan tulus, dan bagaimana sebenarnya mereka tidak mati melainkan hanya sekadar tidur.
 Tapi semua itu akan kosong tanpa judulnya, karena tanpa judul, puisi ini akan menjadi puisi cinta biasa. Jadi, terima kasih judul!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H