[15] Ibid., hlm. 602.
[16] T.N. Harper, op. cit., hlm. 516-517.
[17] Gunawan Moehammad memberi contoh yang baik mengenai hal ini. Orang-orang yang hidup di Bruges, kota Flam tak jauh dari Laut Utara, menganggap bahwa kota yang cantik seperti seperti benda museum itu adalah warisan dari nenek moyang orang-orang Belgia pada suatu masa yang jauh. Tetapi, Sebuah buku yang ditulis oleh sejarawan Roel Jacobs menunjukkan—dan mengagetkan banyak orang—bahwa kota Bruges secara arsitektural bukanlah benda tulen dari masa silam yang jauh. Balai Pasar dan mercu lonceng kota itu ternyata hanya tiruan yang dibuat di abad ke-19. Kanal Rozenhoedkai dengan airnya yang hijau itu, yang diarungi oleh para turis dengan terpesona di atas perahu motor, bahkan berasal dari tahun 1932. Dalam pemaparan Jacobs tentang Bruges, kita tahu bahwa yang terlibat penuh dalam menjaga citra tua kota itu adalah para pendatang Inggris, ketika sikap resmi orang Belgia sendiri sama halnya dengan acuh tak acuh. Goenawan Mohamad, op. cit., hlm., 15.
[18] Heather Sutherland, “Meneliti sejarah penulisan sejarah”, dalam Henk Schulte Nordholt, Bambang Purwanto, dan Ratna Saptari (ed.), Perspektif Baru Penulisan Sejarah Indonesia, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, KITLV-Jakarta, dan Pustaka Larasan, 2008), hlm. 48
[19] Maria Grever dan Siep Stuurman (ed.), Beyond the Canon: History for the Twenty-first Century (Hampshire: Palgrave Mcmillan, 2007), hlm. 1.
[20] Bambang Purwanto, Gagalnya Historiografi Indonesiasentris?! (Yogyakarta: Ombak, 2006) hlm. 228.
[21] Henk Schulte Nordholt, Bambang Purwanto, dan Ratna Saptari, “Memikir ulang historiografi Indonesia”, dalam Henk Schulte Nordholt, Bambang Purwanto, dan Ratna Saptari (ed.), op. cit., hlm., 48
[22] Bambang Purwanto, op. cit., hlm. 11. Hal ini juga terjadi di Malaysia. Bagi banyak sarjana Malaysia, sejarah Malaka adalah sebuah jembatan ke masa kini, sebuah titik-api dalam serangkaian kesatuan sejarah Malaysia. Kedaulatan negara-bangsa itu sendiri berasal dari tradisi Malaka. Dengan demikian pemerintah kolonial dianggap melulu sebagai sebuah gangguan dari sebuah proses yang lebih besar pembentukan negara. Cerita-cerita lain yang tidak mendukung gagasan penyatuan ini ditinggalkan karena duanggap tidak cocok. Lebih parah lagi, Athony Milner menunjukkan bahwa sejarah mengenai bangsa ini pada 1970-an dan 1980-an menyoroti loyalitas feodal dan membela ras Melayu sebagai penentu sejarah Malaysia. T.N. Harper, op. cit., hlm. 514-515
[23] Soekarno, “Kearah Persatuan! Menjambut Tulisan H. A. Salim”, dalam Soekarno, Dibawah Bendera Revolusi, jilid pertama, (Jakarta: Panitya Penerbit Dibawah Bendera Revolusi, 1964), hlm. 112.
[24] Daniel Dhakidae, “Memahami Rasa Kebangsaan dan Menyimak Bangsa Sebagai Komunitas-komunitas Terbayang”, dalam pengantar buku Benedict Anderson, op. cit., hlm. xxxix.
[25] John Pemberton, “Jawa” (Yogyakarta: Mata Bangsa, 2003), hlm. 334.