Mohon tunggu...
kalam jauhari
kalam jauhari Mohon Tunggu... -

pelajar sejarah

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Sejarah dan Identitas: Soal ‘Nilai-nilai Asia’

5 Oktober 2010   06:33 Diperbarui: 6 Juni 2024   17:15 967
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi: Melihat dunia dari "luar". (Sumber: KOMPAS/SPY)

Ia bukanlah nasionalisme jang timbul dari kesombongan bangsa belaka; ia adalah nasionalisme jang lebar,—nasionalisme jang timbul dari pada pengetahuan atas susunan dunia dan riwajat; ia bukanlah “jinggo-nationalism” atau chauvinisme, dan bukanlah suatu copie atau tiruan dari pada nasionalisme Barat. Nasionalisme kita ialah suatu nasionalisme,  jang menerima rasa-hidupnja sebagai suatu wahju, dan mendjalankan rasa-hidupnja itu sebagai suatu bakti. Nasionalisme kita adalah nasionalisme, jang di dalam kelebaran dan keluasannja memberi tempat tjinta pada lain-lain bangsa, sebagai lebar dan luasnja udara, jang memberi tempat pada segenap sesuatu jang perlu untuk hidupnja segala hal jang hidup. Nasionalisme kita ialah nasionalisme jang ke-Timur-an, dan sekali-sekali bukanlah nasionalisme ke-Barat-an, jang menurut perkataanja C. R. Das adalah “suatu nasionalisme jang menjerang-njerang, suatu nasionalisme jang mengedjar keperluannja sendiri, suatu nasionalisme p e r d a g a n g a n jang untung atau rugi” [23]

Akan tetapi orang itu harus segera kecewa, karena pernyataan Soekarno itu segera di batalkan oleh Orde Baru. Ketika Orde Baru melakukan invasi ke Timor Timur pada malam Natal 1975, maka nasionalisme bukan lagi nasionalisme “ke-Timur-an” yang “di dalam kelebaran dan keluasannja memberi tempat tjinta pada lain-lain bangsa”. Akan tetapi, nasionalisme yang bukan “ke-Timur-an” dan tidak “ke-Barat-an”, melainkan “nasionalisme-negara” yang “menjerang-njerang”. “Nasionalisme jang menjerang-njerang” memang bukan milik Barat dan bukan pula milik Timur, akan tetapi merupakan akibat eksesif suatu “negara-bangsa”.[24]

Saya tidak bermaksud mengatakan bahwa tidak ada “nilai-nilai Asia”—yang negatif maupun positif—yang bisa di dapat dari jejak-jejak sejarah—lisan maupun tulisan, audio maupun visual—dan narasi-narasi sejarah—kolonial maupun nasionalsentris, yang ditulis oleh orang asing maupun lokal—yang ada. Akan tetapi, sekali lagi, kita harus hati-hati dan bersikap kritis agar tidak tersesat. Bukan hanya karena nilai-nilai yang ditampilkan di sana itu bisa keliru, tetapi bahkan ada yang ada yang sengaja dikelirukan.

Di Jawa, misalnya, ada nilai yang menjunjung tinggi kesinambungan dan keamanan sebagaimana yang tampak dalam upacara slametan. Tetapi Jawa juga memiliki nilai yang menghargai persaingan, seperti terlihat pada upacara-upacara rebutan yang biasanya muncul beriringan dengan slametan. Akan tetapi Orde Baru yang doyan menghidupkan upacara, untuk mengukuhkan nilai-nilai-nya sendiri, berusaha memisahkan dan menyingkirkan nilai-nilai persaingan itu. Orde Baru, yang anti-perubahan dan fobia oposisi itu, melarang semua kegiatan yang dianggapnya mencerminkan persaingan. Termasuk upacara rebutan—yang sebenarnya sudah ada jauh sebelum Orde Bari dibentuk—tidak  diakui oleh pemerintah sebagai “tradisi”. Hal ini, salah satunya, bisa dilihat dalam upacara papar tunggak di Palur, Solo. Ketika salah satu proyek pembangunan rumah di sana selesai, para pejabat mengadakan upacara papar tunggak yang di dalamnya termasuk pagelaran wayang kulit dengan tema “Babad Wanamarta”. Ketika dalangnya mengatakan bahwa untuk menyelenggarakan acara itu harus ada acara rebutan, para pejabat itu menolaknya dan mengganti acara rebutan itu dengan pidato panjang tentang pentingnya keamanan, kegotongroyongan, dan penghindaran konflik.[25] Demikian juga dalam upacara perkawinan. Sebelum masa Orde Baru, orang yang datang bebas memilih tempat duduk (tanpa kursi) dan khalayak yang datang ke upacara perkawinan cenderung tidak dibatasi. Tetapi ketika zaman Orde Baru upacara perkawinan tanpa kursi itu di tinggalkan karena dianggap akan menimbulkan rebutan tempat, laki-laki dan perempuan bercampur, dan tidak teratur. Selain itu, keberadaan kursi ternyata dapat membuat para pola duduk undangan diatur berdasarkan hierarkinya.[26] Lagi pula, Orde Baru yang menjunjung tinggi nilai-nilai slametan itu sendiri kerap kali melakukan kekerasan dan rebutan, meskipun hal itu tidak muncul dalam narasi-narasinya.

Tak hanya dalam narasi yang ditulis “orang-orangnya” sendiri Orde Baru memanipulasi sejarah demi kepentingannya. Tetapi juga merekayasa narasi yang ditulis oleh orang lain. Seperti yang ditunjukkan Asvi Warman Adam, buku Penyambung Lidah Rakyat Indonesia yang ditulis oleh Cindy Adams dan diterjemahkan oleh Mayor Abdul Bar Salim—yang direstui oleh Menteri/Panglima Angkatan Darat Letnan Jendral Soeharto—mencontohkan rekayasa itu. Dalam terjemahan Indonesia buku itu disisipkan dua alinea yang tidak ada dalam edisi asli bahasa Inggris. Fatalnya, dua alinea itu justru menggambarkan Soekarno melecehkan dua tokoh besar Indonesia, yaitu Hatta dan Sjahrir. Padahal, kalau sisipan itu tidak ada, seperti dalam edisi aslinya, maka gambaran itu menjadi sebaliknya; bukan melecehkan, tetapi justru sangat menghargai.[27] Mengingat ketiga-tiganya adalah tokoh yang tidak disukai oleh Soeharto, karena, paling tidak, bisa menandingi popularitas atau kepahlawanannya dan memiliki gagasan dan nilai-nilai yang berbeda dengannya, maka alasan rekayasa itu mudah ditebak.

Orde Baru kerap mengadakan acara “pewarisan nilai-nilai” Angkatan 45 yang sebenarnya adalah nilai-nilai TNI yang militeristik seperti Sapta Marga dan nilai-nilai lain yang menekankan sumbangan, kewajiban, dan pengorbanan (terutama kepada penguasa). “Pewarisan nilai-nilai” itu tidak hanya ditujukan kepada generasi muda militer saja, melainkan untuk masyarakat Indonesia![28] Padahal, hal itu berarti pemaksaan nilai-nilai kepatuhan dan kesetiaan kepada warganya. Jika nilai-nilai itu tidak dipeluk atau dijalankan, maka sah-sah saja jika “ABRI tidak ragu-ragu dan tidak segan-segan” mengambil tindakan. Seperti Majapahit yang mengancam orang-orang yang menolak perintah Putra Mahkota: “mereka akan didatangi pasukan ekspedisi [jaladi mantry] dan ditiadakan sama sekali [di-wiçirna sahana-kan]”.[29]

***

Lalu, setelah mencari dengan hati-hati dan menemukan—atau merekonstruksi jika kata mencari dan menemukan dianggap tidak tepat—nilai-nilai yang “khas” Asia atau yang lebih kecil lagi cakupannya—misalnya, Indonesia, lokal, dan lain sebagainya—apa yang harus dilakukan? Jika seseorang atau sekelompok orang yang “menemukan” itu kemudian memeluknya untuk dirinya sendiri, sekadar mempublikasikan bahwa nilai itu sebenarnya nilai yang positif dan “khas” bagi sekelompok orang di wilayah tertentu, atau hanya menawarkan agar nilai-nilai itu dipeluk oleh orang lain, maka masalah-masalah yang krusial belum muncul. Akan tetapi, ketika seseorang atau sekelompok orang memaksa orang-orang di wilayah tertentu agar meyakini dan memeluk nilai-nilai tertentu, yang sangat mungkin terjadi adalah konflik—inilah yang dilakukan oleh pemerintahan atau penguasa tertentu untuk melegitimasi dirinya dan menuntut loyalitas warganya. Oleh sebab itu, jika memang perumusan nilai-nilai yang “khas” untuk dipeluk sekelompok orang di wilayah tertentu dianggap perlu, maka, menurut saya, yang harus dilakukan adalah mendiskursuskan nilai-nilai tersebut sampai mendapatkan suatu konsensus.

[1] Samuel P. Huntington, “Benturan Peradaban?”, dalam Francis Fukuyama dkk. Amerika dan Dunia (Jakarta: Kedutaan Besar Amerika Serikat Jakarta, Freedom Institute, dan Yayasan Obor Indonesia, 2005), hlm. 53-54.

[2] Ibid., hlm. 56-57 dan 68.

[3] Benedict Anderson, Imagined Communities: Komunitas-komunitas Terbayang (Yogyakarta: Insist dan Pustaka Pelajar, 2002), hlm. 2-3, dan pengantar untuk buku ini yang ditulis oleh Daniel Dhakidae, hlm. xlii.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun