Dari dalam Asia, Lee Kuan Yew, mengatakan bahwa tanpa menerapkan demokrasi liberal a la Barat, Singapura mampu menjadi negara yang modern, maju, makmur dan praktik korupsi bisa diminimalisir.[9] Mahathir Muhammad mengatakan: “apa itu nilai-nilai Asia? Ini pertanyaan yang tidak perlu dijawab, sebab implikasinya adalah bahwa orang-orang Asia tidak akan bisa memahami hak asasi manusia, jika tidak ada dalam nilai-nilai mereka sendiri”. “Nilai-nilai Asia” sebagaimana dipahami Mahathir adalah tantangan bagi neo-imperialisme Barat. Dia berpendapat bahwa Barat buta terhadap kelemahan-kelemahan struktural sistem-sistem keras nilai mereka, menggunakan gambar-gambar tidak mirip yang terdistorsi pada stereotip-stereotip yang dikerjakan Huntington. Barat adalah lanskap yang menakutkan dari obat-obat terlarang, ibu (orangtua) tunggal, AIDS, dan inses. Di atas segalanya, “nilai-nilai Asia” adalah penolakan terhadap sejarah Barat: sebuah pengalaman industrialisasi yang membawa pada masyarakat yang jahat, kelemahan moral, dan individualisme yang menjadi-jadi.[10]
Dua sudut pandang itu, baik yang “Barat” maupun yang “Asia”, cenderung melihat Asia sebagai satu identitas yang hakiki, yang—kata Goenawan Mohammad—“dalam bahasa Indonesia mutakhir disebut sebagai ‘jati diri’, seakan-akan ada yang sejati dan benar secara kekal di sana”.[11] Sebab itu mereka mengesampingkan keragaman identitas di Asia. Yang masing-masing memiliki nilai-nilainya sendiri. Lagi pula, seperti dikatakan Amartya Sen, Nilai-nilai Asia bukanlah ciri yang selalu membedakan Asia dengan Barat. “Kebebasan, toleransi, dan kesetaraan telah berkembang dalam sejarah Asia, seperti halnya telah ada dalam sejarah Barat”.[12]
***
Namun, apakah merupakan suatu kesalahan jika negara-negara di Asia merumuskan suatu identitasnya yang “khas” (meskipun tidak 100%)? Dengan lain kata, apakah merupakan suatu kesalahan jika orang-orang di suatu kawasan yang biasanya diidentifikasi oleh orang lain, kemudian mengidentifikasi dirinya sendiri? Atau, apakah mereka salah jika, dalam bahasa Goenawan Mohammad, “merasa tak enak dan bahkan marah menemukan diri mereka dalam sebuah dunia yang dikonstruksikan dan dihakimi oleh orang lain”?[13] Jawabnya: tentu saja tidak. Yang menjadi masalah, selain yang telah dibahas sebelumnya (yaitu melihat identitas sebagai suatu yang tunggal dan ajek), adalah ketika identitas itu diteguhkan untuk memaklumi atau mendukung sebuah kekuasaan. Di samping itu, karena identitas adalah sebuah proses, maka ia mengada di dalam sejarah; maka kekeliruan-kekeliruan dalam mengidentifikasi pada dasarnya adalah kesalahan-kesalahan dalam melihat sejarah.
Dalam perdebatan mengenai “nilai-nilai Asia” hal yang paling banyak diperbincangkan, baik oleh orang luar maupun dalam Asia, adalah soal demokrasi liberal. Sebagian besar pendapat menyatakan bahwa di Asia, demokrasi liberal tidak cocok dan tidak dapat diterapkan, karena bertentangan dengan unsur-unsur lokal yang cenderung otoriter. Tetapi argumen itu bukan tanpa kritik. Sebab, selain karena bisa berarti mendukung dan mengesahkan pemerintahan-pemerintahan yang otoriter atau semi-otoriter, argumen itu juga dianggap menafikan sejarah Indonesia pada dekade 1950-an. Pada masa itu pemerintahan Indonesia menerapkan sistem demokrasi konstitusional yang mengambil model demokrasi liberal Barat. Sebuah sistem di mana, menurut Herbert Feith:
Civilian played a dominant role. Parties were of very great importance. The contender for power showed respect for “rules of the game” which were closely related to the existing constitution. Most members of the political elite had some sort of commitment to symbols connected with constitutional democracy. Civil liberties were rarely infringed. Finally, governments used coercion sparingly.[14]
Demokrasi liberal itu akhirnya runtuh pada pertengahan 1958.[15] Akan tetapi, keruntuhan yang disusul dengan kemunculan suatu sistem (semi) otoritarian itu, menurut Harper, bukan demokrasi gagal diterapkan di Indonesia, tetapi karena dibunuh oleh Soekarno dan militernya. Lebih jauh, Harper berpendapat bahwa “demokrasi, dengan demikian, mungkin memiliki akar yang lebih mendalam di masyarakat dan sejarah Indonesia daripada yang dikira lawan-lawannya”.[16]
Demikianlah contoh bahwa dalam usaha untuk mengidentifikasi “diri” atau mengetahui nilai-nilai yang “khas”, bagi Asia atau manapun, suka atau tidak, harus menengok sejarah. Jika tidak, yang terjadi hanyalah “main klaim” saja.[17] Akan tetapi, orang harus hati-hati dan tidak cenderung memutlakkan kebenarannya dalam melihat sejarah. Karena sejarah sendiri bukanlah suatu jalan yang mulus, lurus dan tanpa jebakan, sehingga ketika orang ingin menyusurinya ia dapat sampai ke masa lalu dengan pasti. Masa lalu sebagai mana ia terjadi itu telah hilang entah kemana. Yang tersisa—jika ada—hanyalah jejak-jejaknya yang tidak akan bisa mewakili realitas masa lalu sepenuhnya dan subjektivitas perekamnya—jika ia rekaman, dalam bentuk apapun—akan ikut masuk ke dalamnya. Sedangkan narasi sejarah, atau historiografi, adalah rekonstruksi yang tidak sempurna dari masa lalu yang disusun dari kepingan-kepingan bukti.[18] Sebab itu, suatu kejadian yang sama, jika ditulis oleh orang yang berbeda, akan menghasilkan sesuatu yang berbeda pula. Bias kepentingan dan simpati penulis sulit bahkan mustahil dihindari. Apalagi, jika rekonstruksi sejarah sengaja digunakan memperkokoh identitas kolektif, maka perbedaan itu bisa menjadi perdebatan panjang dan melelahkan. Seperti yang terjadi diberbagai belahan bumi yang lalu. Di Amerika, perdebatan menyangkut The National History Standard benar-benar berubah ke dalam perang budaya, yang melibatkan media massa dan politisi. Sedangkan di sebagian besar negara-negara Eropa, diskusi-diskusi mengenai hal ini memang kurang sengit, tetapi pertentangan pendapat mengenai sejarah macam apa yang perlu, atau yang tidak perlu, diajarkan di sekolah-sekolah dan universitas-universitas tidak kalah sengit.[19] Perdebatan yang sangat “panas” juga muncul di Indonesia pasca lengsernya Orde Baru. Perdebatan terutama berkaitan dengan upaya mendobrak kanon sejarah Orde Baru tentang peristiwa ‘65. Antara pihak pro dan kontra saling tuduh dan perdebatan yang penuh emosi terjadi di mana-mana.[20]
Jelaslah sudah, bahwa mengidentifikasi nilai-nilai di suatu wilayah ternyata bukan hal yang mudah. Menelusuri “masa lalu”, baik melalui bukti-bukti untuk direkonstruksi sendiri maupun hasil rekonstruksi sejarawan, juga sekaligus berarti menyingkirkan bias-bias yang ada di dalamnya semaksimal mungkin. Atau, dalam bahasa sejarawan, kita harus melakukan kritik sumber. Arsip-arsip dan historiografi kolonial, misalnya, sangat banyak menunjukkan bias kepentingan kolonial dan sering merendahkan pribumi. Sebab itu orang Indonesia, misalnya, akan sulit atau malah marah-marah ketika mencari tahu ragam nilai bangsanya yang “khas” melalui historiografi kolonial. Karena ketika ia mencari tahu apa nilai-nilai yang positif bangsanya, di sana ia justru menemukan ungkapan-ungkapan seperti “pemalas”, “sekelompok manusia yang tak mampu mengurus diri sendiri”, “barbar”, “biadab”, dan setumpuk keburukan lainnya.
Akan tetapi, ketika orang mencari tahu melalui historiografi yang di tulis oleh orang-orang sebangsanya, dan menekankan sentrisme nasionalnya, ia juga menemui masalah yang hampir sama. Hanya posisinya saja yang terbalik, jika historiografi kolonial menempatkan Belanda sebagai lakon utama, historiografi Indonesiasentris membalikkannya. Dalam menulis sejarah, keduanya kerap menggunakan prinsip yang sama: framing again the enemies. Keduanya sering membuang bukti-bukti yang tidak mendukung gagasannya atau memanipulasi bukti-bukti agar cocok dengan gagasannya. Keduanya tidak jarang menjauhi realitas demi identitas yang coba direkonstruksi. Di Indonesia, misalnya, asal-usul Indonesia dipancangkan pada Majapahit yang imperialis dan berpusat di Jawa, bukannya pada Sriwijaya yang telah ada sebelum Majapahit—karena wilayah pengaruh Sriwijaya tidak tumpang tindih dengan garis batas nasional Indonesia.[21] Mohammad Yamin bahkan mencoba meyakinkan bangsa Indonesia bahwa sejarah bendera nasional Indonesia telah ada sejak enam ribu tahun yang lalu.[22] Di samping itu, nilai-nilai Indonesia yang ia dapat dalam buku-buku sejarah yang nasionalsentris hanyalah yang berkaitan, atau dikaitkan, dengan perjuangan melawan penjajah saja.
Mungkin, ketika orang mencari tahu nilai-nilai itu melalui guratan pena Bapak Bangsanya, ia akan senang mendapati bahwa ada nilai-nilai nasionalisme Indonesia yang “ke-Timur-an”, yang berbeda dengan nasionalisme “ke-Barat-an”, sebagaimana dinyatakan Soekarno. Kata Bapak Bangsa itu, nasionalisme Indonesia itu bukanlah rasa kebangsaan Barat “jang a g r e s i f, rasa-kebangsaan jang m e n j e r a n g – n j e r a n g”: