Mohon tunggu...
kalam jauhari
kalam jauhari Mohon Tunggu... -

pelajar sejarah

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Abangan dan Putihan

7 September 2010   06:14 Diperbarui: 26 Juni 2015   13:23 1482
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pada titik itu, kita bisa mengatakan bahwa Riclefs telah memberikan wacana baru atau paling kurang memperbaiki apa yang telah ditulis Geertz mengenai santri dan abangan. Terutama petunjuk bahwa pengklasifikasian masyarakat Jawa ke dalam santri dan abangan bukan sesuatu yang telah berakar mendalam di masa kuno, tetapi baru muncul pada pertengahan abad ke-19. Akan tetapi karangan Riclefs ini, The birth of abangan, masih belum menjawab beberapa pertanyaan yang muncul di sekitar persoalan santri atau putihan dan abangan, dan untuk menjawabnya diperlukan penelitian lebih lanjut. Pertama, apakah abangan bisa disamakan dengan profan dan sekuler, seperti yang dinyatakan para misionaris yang dikutip Riclefs di atas? Sebab, bangsa abangan sering menganggap beberapa bagian dari budaya warisan leluhur mereka sebagai sesuatu yang sakral (tidak profan!), misalnya upacara-upacara adat—yang membuat mereka dikatakan tidak taat beragama dan musrik. Abangan juga tidak bisa disebut sekuler sebagai suatu konsep yang digunakan dalam sejarah Barat.

Kedua, apakah abangan merupakan reaksi atau respon bagi modernisasi? Atau, apakah abangan merupakan penjaga tradisionalitas? Pertanyaan ini muncul karena, seperti sempat disinggung di atas, ternyata kalangan abangan mempunyai keterikatan—dan lebih tertarik—dengan leluhur dan budaya leluhur, dari pada agama. Jika benar demikian, maka poin utama yang menyebabkan kemunculan abangan bukanlah untuk membedakannya dengan yang alim—jadi terutama bukan soal keilahian—tetapi sebagai reaksi atas modernitas itu sendiri.

Ketiga, barangkali ada benarnya kalau Riclefs menyatakan bahwa istilah putihan lebih tepat dari pada istilah santri, untuk menunjuk orang-orang saleh atau alim. Sebab, jika santri hanya berarti orang-orang yang belajar di pesantren, maka kata santri tidak bisa mewakili orang-orang alim, untuk menjadi alim orang tidak harus menjadi pelajar di pesantren. Dengan kata lain, santri hanyalah satu bagian dari orang-orang alim. Akan tetapi, kata putihan di dalam tradisi Jawa juga melekat pada birokrat-birokrat kerajaan. Padahal, para birokrat ini adalah dasar dari tradisi seperti garebeg, yang oleh orang-orang Islam dianggap syirik. Jika benar demikian, kita bisa mengatakan bahwa istilah putihan ini juga masih kurang tepat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun