Mohon tunggu...
kalam jauhari
kalam jauhari Mohon Tunggu... -

pelajar sejarah

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Kanon Sejarah dan Historiografi Warisan Kolonial

7 September 2010   06:59 Diperbarui: 26 Juni 2015   13:23 824
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ketika Indonesia merdeka, pusat dan pemeran utama dalam historiografi yang tadinya ditempati Belanda oleh sejarawan Indonesia posisinya dibalik, dengan mengikuti pola-pola yang dibuat oleh sejarawan kolonial. Jika sebelumnya Belanda merupakan pemberadab, sekarang ditempatkan sebagai orang-orang biadab yang merampok, menjajah, dan mengeksploitasi Indonesia. Setiap penentang Belanda—baik untuk kepentingannya sendiri maupun orang banyak, demi hajat lokal atau nasional—dianggap sebagai pahlawan.

Setelah orde lama turun dan digantikan orde baru, pemeran utama dalam historiografi nasional menjadi bergeser lagi. Orde lama dianggap gagal mempertahankan bangsa dan negara, sedangkan Soeharto dan orde baru adalah juru selamatnya. Tradisi ini historiografi ini kemudian diteruskan hingga sekarang, setelah Orde Baru lengser. Orde baru hanya dilihat sebagai pecundang, musuh-musuh orde baru adalah korban, dan pahlawan-pahlawan baru diciptakan.

III

Mengapa penulisan sejarah nasional hingga kini cenderung merupakan format yang sama dalam versi yang berbeda dengan penulisan sejarah kolonial? Dengan kata lain, mengapa historiografi nasional hanya meneruskan atau mewarisi historiografi kolonial? Hal itu disebabkan, jika boleh menggunakan terminologi postkolonial disini, wilayah yang sekarang kita sebut Indonesia ini adalah sebuah colonial encounter; yaitu sebuah ruang di mana orang-orang—penjajah dan terjajah—yang secara geografis dan historis terpisah menjadi bertemu satu sama lain dan membangun relasi terus-menerus, kadang-kadang menyertakan kekerasan, ketidaksetaraan ras dan konflik (Bush, 2006: 117). Belanda sebagai pemenang—meski tidak dalam arti yang sepenuhnya—dalam colonial encounter jelas lebih leluasa untuk mendominasi dan menghegemoni bumiputra. Kemenangan Belanda sebagai penjajah akan mengakibatkan internalisasi dan penerimaan superioritas Eropa/Belanda dalam diri terjajah (Bush, 2006: 121). Dengan demikian untuk melawan dan menciptakan hegemoni dan dominasi baru, si terjajah cenderung meniru dan menggunakan cara-cara yang sama dengan penjajah, dan bukannya mencari cara-cara melawan, mendominasi, dan menghegemoni dari budayanya yang telah terkalahkan.

Sejak kolonialisasi Belanda, historiografi “lama”, seperti babad, hikayat, tambo, dan yang sejenisnya, dianggap sebagai produk “kuno” yang merepresentasikan percampuran unsur-unsur historis dan mitologis. Sedangkan historiografi yang dibawa penjajah adalah historiografi (Barat) modern yang merupakan hasil dari kesadaran intelektual yang “ilmiah” dan bebas mitos. Padahal historiografi modern itu, bahkan hingga saat ini, juga menciptakan mitos-mitos dengan memakai perspektif sejarah dalam rangka menumbuhkan loyalitas ideologis dan legitimasi, seperti yang terlihat dalam sejarah nasional Indonesia (Bambang, 2006: 66-67 dan 95-96). Sebagai sumber, babad dan kawan-kawan harus dikritisi dengan ketat, sedangkan laporan-laporan VOC dan Geschiedenis van de Nederlansch-Indie tidak.

Yang menjadi permasalahan di sini bukanlah soal persamaan dan perbedaan antara historiografi tradisional dan modern, melainkan, terutama, kurangnya sikap kritis dalam mewarisi historiografi kolonial yang anakronistis. Banyak sejarawan pasca-kolonial yang cenderung menerima bipolaritas yang menjadi tradisi dalam historiografi kolonial dan enggan melihat kompleksitas suatu peristiwa atau pelaku sejarah; menerima klaim-klaim sejarawan Barat masa kolonial bahwa no written document no history, meskipun mengakibatkan tidakadanya historiografi masyarakat yang tak memiliki tradisi menulis masa lalu mereka; mewarisi tradisi menulis (kanon) sejarah tentang peristiwa politik dan orang-orang besar saja dan mengesampingkan sejarah orang kecil dan sejarah kehidupan sehari-hari; mewarisi tradisi historiografi yang ideologis; yang menyudutkan historiografi tradisional; menolak relativitas kebenaran sejarah dan variasi historiografi; dan lain sebagainya.

IV

Sebagai penutup, saya ingin menyampaikan keyakinan para poskolonialis, bahwa hanya dengan menerima kenyataan bahwa masa lalu kita adalah terjajah, kita bisa melihat masa lalu kita (terutama sejak kehadiran penjajah) dengan lebih arif. Jika tidak, kita akan terus menerus terjebak dalam dilema atau situasi paradoksal dalam bahasa Chakrabarty (Ascroft & Tiffin (ed.), 1995: 429), yang, pada satu sisi, mengutuk habis-habisan negara penjajah dan orang-orangnya tetapi, di sisi lain, kita di hadapkan pada kenyataan bahwa lahirnya negara kita adalah juga akibat dari kolonialisme dan bahwa kita mewarisi historiografi dan banyak hal yang baik maupun yang buruk dari kolonialisme. Bahkan, ketika kita ingin menulis sejarah tentang masyarakat kita dengan memegang prinsip yang Indonesiasentris, kita berhadapan dengan kenyataan bahwa penyedia data (baca: pengetahuan)—seperti arsip, laporan-laporan perjalanan, hasil riset seorang ilmuwan, dan seterusnya—tentang diri kita adalah orang-orang Eropa, khususnya Belanda.

Namun perlu ditekankan, bahwa menerima kenyataan bahwa kita berada dalam posisi subaltern hanyalah sebuah awal. Setelah itu, masih banyak lagi hal-hal yang harus dilakukan. Dalam kaitannya dengan historiografi, hal itu berarti bahwa penulis sejarah seharusnya tidak mewarisi begitu saja tradisi kolonial, melainkan harus terus bersikap kritis, mendekonstruksi perspektif lama dan merekonstruksi perspektif baru dalam penulisan sejarah Indonesia, serta mempercanggih metodologi sejarah untuk mengembangkan kualitas historiografi pasca-kolonial.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun